Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

TERKUAKNYA KASUS SAMBO ADALAH BUKTI KEGAGALAN SISTEM HUKUM PIDANA SEKULERISTIK



Oleh: Dr Muh. Sjaiful, SH. M.H.

Indonesia Justice Monitor

Kasus terkuaknya pembunuhan Brigadir Joshua, di rumah dinas mantan Propam Mabes Polri, Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, Jalan Duren III, telah menggemparkan publik. Apalagi kuat dugaan otak pelaku pembunuhan, jenderal berbintang dua, yaitu Sambo. Ada banyak cerita berseliweran dibalik motif pembunuhan Brigadir Joshua, mulai dari cerita dugaan perundungan paksa oleh Brigadir J kepada isteri Sambo Putri Candrawathi sampai pada kekhawatiran Sambo terhadap Brigadir J yang akan membocorkan rahasia keterlibatan Sambo dalam transaksi judi baik on-line maupun darat. Termasuk dalam bisnis haram lainnya, yang konon melibatkan hampir seratus perwira polisi, baik perwira tinggi, menengah, dan aparat kepolisian lainnya. 

Kasus penembakan hingga tewas Brigpol Nopryansah Yosua Hutabarat alias Brigadir Yosua menyisakan tanda tanya bagi publik. Dilansir hampir semua pemberitaan nasional, Brigadir Yosua tewas ditembak rekannya sesama polisi di rumah Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo pada Jumat 8 Agustus 2022. Masih dilangsir semua media sosial dan pemberitaan media online, tentang kejanggalan dibalik tewasnya Brigpol Nopriyansyah, sebagaimana diungkap keluarga mendiang. Jenazahnya, kata Samuel ayah Nopriyansyah, terdapat luka lebam, mata seperti ditusuk, dan ada sayatan luka di jari kelingking. Hal janggal lainnya, ketika Samuel meminta CCTV yang merekam kejadian untuk dibuka kembali, tetapi pihak kepolisian berdalih rusak dan mati total.

Publik akhirnya mempertanyakan kejanggalan tersebut, setelah pihak keluarga mendiang, membeberkan sejumlah misteri kejanggalan dibalik kematian Norpryansah. Dari titik pandang ini, semua orang akan terusik perasaan keadilannya, tentu saja proses penegakan hukum pidana harus berjalan sesuai koridor semua orang sama di depan hukum (equality before the law). Artinya, bila sebuah sistem hukum pidana memang menjamin semua orang sama di depan hukum, tentunya aparat penegak hukum, seharusnya bertindak cepat dan bersifat transparan guna menguak apa sesungguhnya dibalik peristiwa yang menjadi penyebab tewasnya Brigpol Nopryansah Yosua Hutabarat.

Terkuaknya kasus pembunuhan Brigadir Joshua, pada sisi lain semakin memperkuat dugaan kasus KM 50, tewasnya 6 laskar FPI, ada rekayasa aparat pihak kepolisian, sebab modus operandi wafatnya 6 laskar FPI tersebut hampir sama dengan tewasnya Brgadir J. Kasus tewasnya Brigadir J, seolah-olah membuka fakta carut-marutnya institusi kepolisian dalam penanganan beberapa kasus kriminal, terutama di beberapa daerah, yang terkesan menutup-nutupi jejak pelaku atau motif sebenarnya dari sebuah kasus kriminal, apalagi kasus tersebut ditenggarai melibatkan orang-orang tertentu yang harus dilindungi.

Sisi menarik lainnya, untuk menganalisis Kasus Sambo yang menghebohkan publik Indonesia, dapat disimpulkan dari rapuhnya sistem hukum pidana buatan manusia, yang nota bene berpotensi terjadinya obstruction of justice, menghalangi penyelidikan dan penyidikan perkara. Tentu saja, sebagai sistem hukum pidana yang lahir dari produk berpikir manusia meniscayakan ketidakadilan serta penegakan hukum yang tumpul keatas dan tajam kebawah. 


Sistem Hukum Pidana Produk Buatan Manusia Menciptakan Ketidakadilan

Manusia secara fitrah, tentu saja, tidak akan terima diperlakukan secara tidak adil ketika menjadi korban dari sebuah kejahatan yang berlangsung secara sistemik. Apalagi jika kejadian perkara pidana sengaja dipetiskan atau ditutupi dengan motif melindungi pihak-pihak tertentu. Mungkin yang mau lindungi adalah seorang petinggi yang ada dilingkaran kekuasaan atau pemangku kepentingan yang memiliki relasi begitu kuat terhadap skandal yang melibatkan oligarki dan geng elitis. Penegakan hukum pidana negeri ini pernah menyimpan catatan kelam. Salah satunya, adalah kisah seorang gadis berusia 17 tahun, penjual telur, dirudapaksa segerombolan pria diatas sebuah mobil, tepatnya di Kota Jogjakarta, 21 September 1970. Para pelakunya belum terkuak, masih misterius hingga kini. Ilustrasi kasus ini, sebetulnya merupakan fenomena gunung es, masih ada sejumlah besar kasus hukum yang belum terkuak hingga kini. Sebuah aksioma untuk menggambarkan begitu rapuhnya sistem hukum pidana hasil produk berpikir bebas manusia.

Sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia, sebagai produk warisan Kolonial Belanda, yang diadopsi dari Wetboek van Straftrecht juga dengan menerapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ternyata faktanya masih menyimpan problematika hukum mulai dari ketidakadilan, penegakan hukum yang tumpul, serta berbagai tindakan obstruction of justice. Dari pandangan inilah, maka sistem hukum pidana produk manusia, apapun modelnya, pasti menimbulkan ketidakadilan yang berpotensi hukum tumpul ke atas hanya tajam kebawah. Alasannya sebagai berikut:

1) Sistem hukum pidana buatan manusia melulu hasil kompromi politik dari para anggota elit politik baik yang ada di lembaga legislatif maupun eksekutif sehingga apapun yang dihasilkan dari sebuah kompromi politik tersebut maka ujung pangkalnya mencerminkan kepentingan politik dan kepentingan subjektif dari para pembuatnya.

2) Sistem hukum pidana buatan manusia, sangat lemah dan rapuh, karena akal manusia tidak akan mampu menjangkau hakikat keadilan sebenarnya. Fitrah manusia dengan potensi akalnya sangat terbatas. Belum lagi cara pandang dan berpikir manusia berbeda satu sama lain dalam mendefinisikan apa itu dimaksud adil.

3) Akuntabilitas hukum yang berkeadilan dan menjunjung equality before the law, hanya bersandarkan kepada opini publik. Jika tidak ada tekanan opini publik atau tekanan dari elit politik yang memiliki bargaining position maka akuntabiltas hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Belajar dari Kasus Sambo

Dari kasus Sambo semestinya umat Muslim Indonesia dapat menarik pelajaran bahwa sistem hukum pidana buatan manusia yang dilandasi oleh kapitalisme sekuleristik, tidak mampu memberikan persamaan hukum bagi semua orang. Tetap saja ada celah atau ruang terjadinya obstruction of justice. Sebenarnya banyak kasus di negeri ini, persis demikian, seperti maraknya mafia peradilan, jual beli hukum, dan lain-lain. Seandainya, bukan karena tekanan publik yang begitu masif, dapat dipasikan kasus Sambo akan menguap begitu saja, hilang tanpa jejak, sebagaimana kasus KM 50, wafatnya 6 laskar FPI, yang sampai saat ini belum terkuak tabir sesungguhnya, siapa dalangnya serta apa motifnya.


Sistem Sanksi Pidana Islam Lebih Baik

Sistem hukum pidana Islam atau yang dikenal dengan istilah sistem uqubat, sangat menjamin penegakan hukum lebih adil serta menempatkan status semua orang sama didepan hukum. Sistem ini berasal dari Sang Pencipta, Allah SWT, pasti memberikan keadilan serta persamaan hukum siapapun juga. Sebuah sistem pidana yang berciri transendental, sebab merupakan produk Wahyu Tuhan Sang maha pencipta, tidak ada satu ruang yang menyimpan cacat dan cela sedikitpun. Semua orang pasti merasa tentram dengan jaminan keadilan hukum pidana Islam. Para penegak hukum pidana Islam, dilandasi semangat ketakwaan bukan atas dasar sentimen kelompok atau melindungi oknum elitis tertentu.Inilah yang menjadi dasar sehingga Baginda Rasullullah, menolak memberikan amnesti pengampunan atas anak perempuan pembesar Quraisy yang terbukti mencuri dari sanksi potong tangan. Lisan mulia Baginda Nabi bahwa kehancuran suatu bangsa karena apabila yang mencuri adalah kaum bangsawan, hukum tidak ditegakkan, tetapi jika yang mencuri adalah kalangan lemah dan miskin, hukum baru ditegakkan. Beliau melanjutkan “Demi Allah seandainya putriku Fatimah binti Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya”. Keadilan hukum pidana Islam juga terpatri indah ketika hakim pengadilan (qadhi) menolak pengaduan Imam Ali, sebagai seorang kepala negara saat itu, atas tuduhan pencurian baju besi milik Ali oleh seorang laki-laki Yahudi sebab hakim menolak kesaksian yang diajukan sebagai barang bukti. Kata hakim, kesaksian yang diajukan sang khalifah, tertolak karena cacat secara formil. Sebabnya, yang diajukan sebagai saksi adalah anak dan pembantu Sang Khalifah.

Sistem sanksi pidana dalam Islam, tidak memungkinkan terjadinya obstruction of justice, sebab lembaga peradilan dalam sistem hukum pidana Islam, benar-benar dijamin independensinya, yang terlibat didalamnya adalah para penegak hukum yang kredibel, terpercaya, bertakwa kepada Allah SWT. Para penegak hukum itu menjalankan amanah penegakan hukum karena atas dasar pertanggungjawaban di akhirat nanti. Tidak hanya itu lembaga peradilan pidana dalam Islam, akan diawasi secara terus menerus oleh lembaga Majlis Ummah dimana sang khalifah akan melakukan tindakan tegas bila mana perlu jika ada upaya-upaya untuk melakukan obstruction of justice oleh sekelompok elit yang menghendaki kasus tersebut dipetieskan. 

Renungkan Firman Allah SWT dalam Quran Surah Al Maidah Ayat 50:


       

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?



Penerapan sistem hukum pidana Islam hanya bisa jika ada sistem politik kenegaraan yang menjaminnya. Sistem hukum pidana adalah bagian perangkat sistem sosial kemasyarakatan maka tanpa payung negara tidak akan mungkin sistem sosial itu diterapkan. Sistem hukum pidana Islam, tidak akan mungkin diterapkan dalam sistem kenegaraan diluar koridor sistem kenegaraan Islam, seperti negara republik, kerajaan, dan negara federal. Sebab sistem demikian tidak dikenal dalam khasanah perdaban Islam. Karena itu, sistem hukum pidana Islam, penerapannya hanya efektif dalam bingkai institusi politik kenegaraan, yang dicontohkan oleh Baginda Nabi SAW kemudian diteruskan oleh para Khulufaur Rasydin, dan para khalifah sesudahnya.

Posting Komentar

0 Komentar