Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Bernas! 200 Tokoh Nasional dan Aktivis Diskusi Khilafahisme vs Komunisme


PKAD—Kepopuleran Khilafah tampaknya menjadi rival ideologi lainnya. Lebih salah lagi ada yang menganggap khilafah sama bahayanya dengan komunisme. Alhasil, khilafah pun disebut Khilafahisme. Agar ada pemahaman utuh terkait Khilafah, FGD Online Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) ke-7 berlangsung hangat. Sabtu (18/7/2020) pukul 08.05 WIB, Presiden PKAD Slamet Sugianto membuka acara. Tema yang bernas, Khilafahisme Vs Komunisme, Ada Apa ?

Diawali oleh Keynote Speaker, KH. Muhyiddin Junaidi - Wakil Ketua Umum - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Beliau sangat antusias dan merasa bergembira hadir di Forum PKAD. Mengingat ini forum mencerdaskan dan mencerahkan.

“Ada upaya merekayasa dan hiden agenda, seakan-akan tiada hentinya dari satu RUU ke RUU yang lain. Semisal RUU HIP. Ini semua by design untuk mengalihkan isu sentral. Yang menyedihkan ialah seorang kriminal kelas kakap bisa menjadi konsultan. Very big shame on you,”kata pembuka KH Muhyiddin yang juga sebagai ulama internasional.


Berkaitan dengan Khilafah, KH Muhyidin yang sering mengisi ceramah di Maroko menukil pendapat Imam al-Mawardi, “Menegaskan bahwa tugas negara ialah menegakkan keadilan, menjaga nilai agama, dan mengurus agama ini sesuai dengan hukum yang diridhai Allah SWT. Dan itu ada dalam sistem pemerintahan khilafah, sebagaimana sejarah Islam telah membuktikan hal itu.”

Khilafah tidak bisa lepas dari pembahasan Al-Quran, As-Sunnah, dan sejarah. Beliau mengurai sejarah khilafah dengan mengambil keagungan Khilafah Turki Utsmani. Tahun 1479 Sultan Demak oleh Khilafah Islamiyah dijadikan sebagai salah satu khalifah dari cabang Ustmani di tanah Jawa. Termasuk Sultan Jogjakarta.

“Kalau sekarang ada yang bilang khilafah hanya ada di Timur Tengah itu tidak tahu sejarah. Karena itu menjadi tugas kita untuk memberi tahu agar tidak salah paham,”tukasnya.

Pemahaman sejarah KH Muhyidin sangat luas. Hal ini diceritakan beliau terkait Gold, Glory, dan Gospel yang dilakukan penjajah di Indonesia. Islam di Indonesia tidak hanya dipahami sebatas surat Yasin. Islam dan konsepnya bagus. Beda dengan komunisme yang anggap agama sebagai sampah.

Pesan beliau di akhir pemaparan awal menegaskan bahwa “Kita tidak hanya berkumpul dalam diskusi tapi juga melahirkan buku.”

Tampak hadir, pembicara nasional:
1. Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. - Pakar Sosiologi Hukum Masyarakat dan Filsafat Pancasila
2. Dr. Muhammad Azwar Kamaruddin, Lc., MA - Pakar Fikih Islam
3. Dr. Habib Zaenal Abidin Bil Faqih. M.Pd. - Forum Peduli Bangsa
4. K.H. 'Ainul Yaqin, S.Si., M.Si. - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur
5. K.H. Dr. Ir. Masri Sitanggang, M.P. - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Medan
6. K.H. Aam Wahib Wahab Hasbulloh - Khithoh 1926
7. KH Thoha Yusuf Zakaria, Lc., MA. - Ponpes Al Ishlah Bondowoso
8. Ustadz H. Muhammad Yunus Rizaldi - Gerakan Umat Islam Bersatu (GUIB) Jawa Timur
9. K.H. Muhammad Ismail Yusanto, M.M. - Pembina Media Umat

Sementara diskusi masih berlangsung hangat. Ratusan peserta hadir secara Zoom Meeting dan Live Streaming You Tube. Diskusi ini sangat menarik dan memberi pencerahan baru dari sudut pandang unik. Sisi kajian keislaman dan hukum kekinian.[hn]

Posting Komentar

0 Komentar