Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Impor Beras Makin Deras, Kedaulatan Pangan Makin Kandas

Oleh Esnaini Sholikhah, S.Pd (Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial):


Jokowi mengungkapkan bahwa Indonesia membutuhkan impor beras karena sulit untuk mencapai swasembada. Terlebih, jumlah penduduk Indonesia terus bertambah dan membutuhkan pasokan beras. "Yang kita harapkan adalah kita ingin tidak lagi impor beras, tapi dalam prakteknya sangat sulit karena produksinya tidak mencukupi, dan setiap tahun jumlah penduduk yang harus diberi makan terus bertambah," kata Jokowi dalam acara Pembinaan Petani Jawa Tengah (CNBC, 2/1/2024).


Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa Indonesia masih akan melakukan impor beras tahun ini dengan jumlah komitmen impor sebesar 3 juta ton. Saat ini, sedang diproses impor secepatnya sebanyak 2 juta ton. "Tahun lalu kita sudah mengimpor sekitar 3,5 juta ton. Tahun ini, 2 juta ton sedang dalam proses, tapi kita siapkan 3 juta," ungkap Airlangga di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat (finance.detik.com, Selasa, 9/1/2024).


Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, mengatakan bahwa impor beras masih akan dilakukan pada awal 2024 atau sebelum panen raya. Hal ini dianggap sebagai langkah antisipatif terhadap defisit neraca beras bulanan, terutama karena produksi beras pada Januari-Februari 2024 diperkirakan masih di bawah kebutuhan nasional. Berdasarkan kerangka sampel area (KSA) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras nasional diperkirakan hanya sebesar 0,9 juta ton pada Januari 2024, dan 1,3 juta ton pada Februari 2024, yang masih di bawah rata-rata konsumsi beras nasional sebesar 2,5 juta ton (ekonomi.bisnis.com, 9/1/2014).


Impor beras dianggap sebagai solusi pragmatis terhadap persoalan beras, namun bukan sebagai solusi mendasar. Bahkan, kecenderungan impor ini dinilai sebagai cara praktis untuk memperoleh keuntungan. Seharusnya, negara berupaya mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan melalui langkah-langkah yang solutif dan antisipatif, termasuk dalam penyediaan lahan pertanian di tengah alih fungsi lahan, penurunan jumlah petani, dan kesulitan petani dalam mempertahankan lahan.


Hanya Islam yang memiliki tatanan yang sahih untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk pemenuhan pangan. Islam menjadikan negara bertanggung jawab dalam menyediakan kebutuhan pokok, termasuk makanan. Oleh karena itu, negara Islam akan mencari berbagai jalan untuk mencapai kedaulatan pangan. Politik pangan yang dijalankan oleh negara berlandaskan Islam memiliki arah yang sangat berbeda dengan kapitalisme neoliberal. Islam menetapkan bahwa politik pengaturan pangan harus ditujukan untuk melayani rakyat sepenuhnya, yaitu dengan menjamin pemenuhan pangan bagi setiap individu tanpa terkecuali. Kehadiran negara secara utuh dalam mengurusi pangan, mulai dari hulu hingga hilir, adalah hal yang mutlak untuk mewujudkan tanggung jawab tersebut.


Islam mengadopsi dua mekanisme, yaitu mekanisme harga dan non-harga. Mekanisme harga berlaku bagi anggota masyarakat yang memiliki penghasilan dan mampu membeli pangan, sedangkan mekanisme non-harga berlaku bagi masyarakat yang tidak mampu karena sakit, cacat, dan sebagainya, sehingga pemenuhan pangan mereka disediakan secara langsung oleh negara. Penerapan sistem ekonomi Islam mengatur status kepemilikan harta, mekanisme pendistribusian kekayaan, larangan riba, penerapan sistem mata uang emas dan perak untuk meminimalisir inflasi, dan sebagainya. Dengan penerapan sistem ekonomi ini, akan terjadi redistribusi ekonomi yang merata, sehingga kesejahteraan pun menjadi merata.


Islam juga melarang kepala negara (Khalifah) bergantung pada pihak lain yang dapat mengendalikan kedaulatan negara. Sebaliknya, negara Islam akan menjadi negara yang independen dan menutup semua pintu yang dapat digunakan oleh pihak lain untuk menguasai umat Muslim. Oleh karena itu, dalam pandangan Islam, kebergantungan pada impor pangan tidak boleh terjadi, meskipun impor tetap diperbolehkan. Khilafah Islam akan mengoptimalkan pasokan pangan dari dalam negeri dengan menerapkan konsep pertanian Islam.


Indonesia diakui telah gagal mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan. Hal ini terlihat dari dua hal, yaitu ketergantungan pada impor dan penggunaan impor sebagai penyelesaian masalah instabilitas harga pangan, yang menjauhkan negara dari upaya yang benar dalam pemenuhan pangan rakyat. Abdurrahman al-Maliki dalam bukunya "Politik Ekonomi Islam" menjelaskan bahwa pertanian merupakan salah satu sumber utama ekonomi. Permasalahan dalam pertanian yang tidak teratasi dapat mengguncang perekonomian, bahkan membuat negara menjadi lemah dan bergantung pada negara lain.


Menurut pengamat kebijakan publik, Emilda Tanjung, Islam menetapkan bahwa politik pengaturan pangan ditujukan untuk melayani masyarakat dengan menjamin pemenuhan pangan bagi setiap individu tanpa terkecuali. Dalam hal ini, Khilafah akan mengoptimalkan pasokan pangan dari dalam negeri dengan menerapkan konsep pertanian Islam. Khilafah juga akan memaksimakan potensi pertanian dalam negeri dengan memanfaatkan infrastruktur yang ada dan melakukan modernisasi pertanian serta sinergisitas antar wilayah, sehingga impor tidak lagi diperlukan. Jika Indonesia kembali mengadopsi syariat Islam sebagai patokan kebijakan, maka negara akan sejahtera dan memiliki kedaulatan pangan. Wallahu a’lam bisshowab.

Posting Komentar

0 Komentar