Momentum Hijrah, Tokoh dan Ulama Malang Raya Serukan Perubahan Komprehensif melalui Khilafah
Kota Malang (30/9) – Forum Tokoh dan Ulama Peduli Bangsa (FTU-PB) menyelenggarakan dialog bertajuk “Hijrah sebagai Momentum Perubahan Komprehensif” pada Ahad (29/9), dalam rangka menyikapi berbagai situasi aktual. Forum yang dihadiri tidak kurang dari 80 tokoh dan ulama Malang Raya tersebut menampilkan Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Guru Besar Universitas Diponegoro), Ahmad Khozinudin, S.H. (Ketua LBH Pelita Umat), Drs. Wahyudi Almaroky, M.Si (Direktur Pamong Institute), Gus Tamyis Saad, M.Pd (Forum Komunikasi Ulama Aswaja Kota Malang), dan KH. Muhammad Sya’roni, M.Si (Tokoh Intelektual Muslim Kota Malang) sebagai pembicara. Bertempat di salah satu aula di Kota Malang, dialog berlangsung mulai pagi hingga siang.
Ahmad Khozinudin, SH., dalam kesempatannya menjadi pembicara pembuka menyatakan, “Hijrah adalah pindah dari keadaan tertentu yang buruk berdasarkan sebuah ideologi tertentu menuju peradaban yang lebih baik berdasarkan ideologi tertentu. Penerapan ideologi Islam membawa kebaikan yang luar biasa baik, baik kesejahteraan ekonomi, keamanan dan lain-lain, Khalifah Umar bin Abdul Aziz memberi contoh yang luar biasa terkait dengan kesejahteraan sehingga sulit untuk membagikan zakat kepada yang berhak."
Bahwa modal perubahan saat ini dalam kerangka Hijrah memerlukan : 1) Penyadaran umat tentang kerusakan sistemik akibat tercerabutnya nilai nilai Islam. 2) Pemahaman kondisi ideal sesuai dengan standar syariat Islam. 3) Adanya kelompok politik yang berusaha menyadarkan umat menuju kondisi ideal yang dicita-citakan Islam.
Prof. Suteki sebagai pembicara selanjutnya menjelaskan, “Hijrah itu mengubah pola pemikiran manusia, yang sebelumnya hanya berlandaskan pada suku dan golongan, menjadi pola pikir yang berlandaskan pada aqidah Islam.”
Prof. Suteki memberikan catatan dari sudut pandang hukum bahwa karakter hukum dalam liberalisme utamanya untuk [1] melindungi kaum kapitalis dan investasi mereka, [2] mengutamakan HAM, menepiskan hak-hak kolektif, [3] di bidang bisnis hukum lebih melindungi pengusaha dibandingkan pekerja, [4] hukum pidana lebih diarahkan pada perlindungan dan pemenuhan hak-hak individu, [5] kebebasan individu dijamin mutlak oleh hukum, misalnya kehidupan seks, orientasi seks, dan lain-lain, [6] hukum persaingan bebas, siapa yang kuat dia yang menang, dan [7] negara cenderung hanya menjadi regulator dan “penjaga malam” saja. KUHP yang berlaku hingga sekarang tetap berjiwa liberal, jika melihat karakter hukum liberal tadi.
Menurutnya, negara hukum baru yang akan mampu menjamin terwujudnya tujuan nasional. Negara hukum dalam perspektif Islam menjamin terwujudnya 8 tujuan bernegara hukum yakni [1] menjaga agama, [2] menjaga Jiwa [3] menjaga akal, [4] menjaga keturunan, [5] menjaga harta, [6] menjaga kehormatan, [7] menjaga keamanan, [8] menjaga negara.
“Dengan demikian hukum di negara hukum tidak akan tegak tanpa moralitas, dan moralitas tidak bisa berdiri tanpa agama, sehingga perbuatan dzholim dalam penegakan hukum bisa dihindari, misalnya menegakkan hukum dengan prinsip SSK (suka-suka kami). SSK adalah simbol yang menunjukkan bahwa negara tidak dijalankan berdasarkan hukum tetapi berdasarkan kekuasaan,” terangnya.
Dialog dilanjutkan pemaparan yang disampaikan Drs. Wahyudi Almaroky, M.Si. Wahyudi menyatakan, “Hijrah itu terkait dengan peristiwa yang dialami umat Islam yang menjadi tonggak perjalanan dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu hijrah memindahkan seperangkat konteks kehidupan bernegara karena di Mekkah tidak mendukung penerapan hukum-hukum Islam.”
Menurut pembicara yang telah berkeliling Indonesia tersebut yang cukup lama memantau bidang pemerintahan ini, hijrah Rasulullah dalam kacamata politik pemerintahan adalah tonggak bersejarah peradaban manusia yang saat itu belum ada yakni konstitusi tertulis.
Wahyudi juga menjelaskan, “demokrasi lahir jauh sebelum Islam di zaman negara kota di Athena Yunani, kalau demokrasi sistem terbagus maka baginda Nabi SAW akan menyuruh kita menggunakan sistem itu, tetapi ternyata Rasulullah tidak menyuruh menggunakan sistem demokrasi, justru disuruh menggunakan sistem Islam yang khas. Sudah seharusnya kita mengambil apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW,” jelasnya.
Pembicara berikutnya, Gus Tamyis Saad, M.Pd., menyampaikan bahwa hijrahnya Rasul adalah puncak perjuangan.
“Hijrah yang pertama ke Habasyah atau Ethiopia kenapa tidak dijadikan momentum tahun baru tetapi justru dipilih ketika hijrah ke Madinah, karena merupakan puncak hasil pencarian untuk menegakkan Islam dan di sana didapat pertolongan dari orang-orang yang mau membela dan melindungi Islam, itulah strategi dakwah Nabi Muhammad yang luar biasa dalam menegakkan kekuasaan Islam,” ungkapnya.
KH. Drs. Muhammad Sya’roni sebagai pembicara terakhir memaparkan bahwa makna syar’ie hijrah adalah pindah keluar dari darul kufur menuju darul Islam.
Kyai Sya’roni mengibaratkan Indonesia hanya sekoci kecil yang melewati samudra luas di kanan-kirinya ada karang terjal ada medan magnet kapitalisme, komunisme dan liberalisme.
“Harus ada upaya dan cita-cita tinggi untuk menuju peradaban Islam, yaitu Kekhilafahan. Khilafah penting sehingga perlu dibahas dengan rinci, karena perkara ini ibarat jantungnya sehingga dibahas pula oleh para imam terdahulu,” paparnya.
Acara diakhiri dengan doa bersama yang dipimpin oleh KH. Masyhuri (pengasuh Majelis Ta’lim Salafiah Kedungkandang Malang) tepat menjelang adzan dzuhur berkumandang. []
0 Komentar