Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Gagal Penuhi Gizi Rakyat, Sudah Saatnya Mengadopsi Sistem Islam


Kapitalisme Gagal Lindungi Gizi Rakyat, Khilafah Hadir Sebagai Solusi

Oleh: Indha Tri Permatasari, S.Keb., Bd. (Aktifis Muslimah)


Kasus dugaan keracunan akibat konsumsi makanan bergizi gratis (MBG) kembali terjadi. Hingga 9 Mei 2025, tercatat 210 orang di Kota Bogor mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi makanan dari program MBG. Korban berasal dari delapan sekolah, dengan rincian: 34 orang dirawat inap, 47 menjalani rawat jalan, dan 129 orang mengeluhkan gejala ringan.


Sejak Januari 2025, sejumlah kasus serupa terus bermunculan, mencoreng pelaksanaan program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Pada 16 Januari, 40 siswa SDN Dukuh 03 di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, mengalami gejala keracunan. Lalu pada 18 Februari, delapan siswa sekolah dasar di Kabupaten Empat Lawang, Sumatra Selatan, juga mengalami hal serupa.


Berikutnya, pada 14 April, sebanyak 60 pelajar dari delapan sekolah di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, dari jenjang TK hingga SMP, mengalami gejala keracunan. Kemudian, pada 21 April, 78 siswa dari MAN 1 Cianjur dan SMP PGRI 1 Cianjur, Jawa Barat, mengalami muntah, pusing, dan diare. Pemerintah Kabupaten Cianjur menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) dua hari kemudian setelah 177 warga tercatat mengalami keracunan.


Pada tanggal yang sama, 13 siswa sekolah dasar di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, juga mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi ayam goreng tepung dari menu MBG yang diduga basi. Mayoritas kasus tersebut disebabkan oleh makanan yang kurang higienis atau sudah tidak layak konsumsi.


Program MBG dirancang untuk mengatasi masalah stunting dan meningkatkan kualitas gizi anak-anak. Pemerintah menargetkan 82,9 juta penerima manfaat dengan anggaran sebesar Rp171 triliun. Per Maret 2025, program ini telah menjangkau 2 juta penerima di 38 provinsi melalui 722 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Pemerintah juga menargetkan 32.000 SPPG beroperasi hingga akhir 2025, dengan dukungan 90.000 tenaga kerja lulusan sarjana.


Namun, di balik besarnya anggaran dan ambisi yang diklaim mulia, muncul persoalan krusial: keamanan dan kualitas makanan yang disediakan. Berulangnya kasus keracunan menunjukkan bahwa aspek ini belum menjadi perhatian serius pemerintah.


Gagasan untuk mengasuransikan program MBG pun mengemuka. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan bahwa Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) dan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) tengah menyusun mekanisme asuransi untuk program ini. Langkah ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah negara mulai melepaskan tanggung jawabnya dalam menjamin keselamatan dan kesehatan penerima MBG?


Kadin Indonesia bahkan telah membentuk Satgas MBG Gotong Royong. Ketua Satgas, Handojo S. Muljadi, menyatakan bahwa SPPG tidak hanya menjamin gizi anak-anak, tetapi juga menjadi peluang industrialisasi agrikultur nasional. Ini semakin memperkuat dugaan bahwa program MBG mulai bergeser ke arah proyek bisnis besar yang melibatkan banyak pihak.


Masalahnya, apakah pemerintah telah menyiapkan sistem pengawasan ketat untuk ribuan SPPG tersebut? Apakah telah ada standar bahan baku, metode memasak, higienitas, hingga pemenuhan nilai gizi? Kenyataannya, banyak makanan yang ditemukan sudah basi dan kurang higienis. Terlebih, keluhan dari staf SPPG soal gaji yang belum dibayar sejak Januari 2025 memperparah kondisi ini. Jika hak mereka saja terabaikan, bagaimana bisa kualitas pelayanan tetap terjaga?


Usulan asuransi MBG pun tampak sebagai upaya negara mengalihkan tanggung jawabnya kepada pihak ketiga. Negara hanya menjadi regulator, sementara pihak asuransi mendapat keuntungan dari premi yang dibayar lewat dana publik. Artinya, saat terjadi keracunan massal, bukan negara yang menanggung risikonya, melainkan perusahaan asuransi.


Situasi ini mencerminkan hubungan saling menguntungkan antara penguasa dan pihak swasta, namun mengorbankan kepentingan rakyat. Dana program MBG berasal dari APBN, yang pada akhirnya juga berasal dari rakyat. Ketika pelayanan publik menurun demi efisiensi anggaran, rakyatlah yang kembali dirugikan.


Program MBG yang awalnya dimaksudkan untuk meningkatkan gizi justru membuka ruang besar bagi bisnis. Industrialisasi pangan dan gizi dilegalkan dalam kebijakan, sementara kualitas makanan, pengawasan, dan keselamatan konsumen menjadi terabaikan. Dalam sistem kapitalisme, negara tidak mampu menjalankan fungsi pengurus rakyat karena kebijakan mudah disetir kepentingan pemilik modal.


Program ini juga digadang-gadang menciptakan lapangan kerja. Namun, sejauh mana negara telah menjamin status dan hak para pekerja, terutama staf SPPG? Jika gaji mereka saja tidak dibayarkan selama berbulan-bulan, ini menunjukkan perencanaan yang tidak matang dan pelaksanaan yang tergesa-gesa, hanya untuk memenuhi janji politik.


Masalah gizi buruk dan stunting sebenarnya berakar dari ketidakmampuan rakyat memenuhi kebutuhan dasarnya. Ini adalah dampak langsung dari kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang semakin lebar. Selama pendapatan rakyat lebih rendah dari pengeluaran, dan akses kebutuhan dasar terus memburuk, maka masalah gizi tak akan selesai hanya dengan program makan gratis.


Solusi yang lebih fundamental adalah menata kembali sistem ekonomi dan pemerintahan yang benar-benar berpihak kepada rakyat. Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, mulai dari pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, hingga keamanan. Pelayanan ini diberikan secara adil, merata, dan tanpa embel-embel komersialisasi.


Pada masa Kekhalifahan Utsmaniyah, dapur umum berbasis wakaf (imaret) telah menyediakan makanan bergizi gratis bagi siapa saja yang membutuhkan. Negara mengalokasikan sumber daya dan anggaran sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat. Tidak ada ruang bagi swasta untuk mencari untung dari program kebutuhan dasar rakyat.


Negara juga harus membuka lapangan kerja seluas-luasnya melalui pengelolaan sumber daya alam dan pengembangan sektor produktif. Industri berat dibangun, modal disediakan, pelatihan kerja dilakukan—semua untuk memastikan rakyat dapat hidup layak dan mandiri.


Dengan sistem dan kebijakan yang berlandaskan pada kemaslahatan, rakyat tak hanya mendapatkan makanan gratis sesaat, tetapi benar-benar terjamin kehidupan dan masa depannya.

Posting Komentar

0 Komentar