Oleh: Indha Tri Permatasari, S.Keb., Bd. ( Aktifis Muslimah)
Krisis di Sudan kembali membara. Ribuan warga terpaksa mengungsi, sementara pembunuhan massal dan pemerkosaan terjadi secara masif, menambah penderitaan rakyat yang sudah bertahun-tahun hidup dalam ketidakpastian. Ironisnya, Sudan merupakan negara terbesar ketiga di Afrika, mayoritas penduduknya Muslim, memiliki piramida lebih banyak dan Sungai Nil lebih panjang dari Mesir, serta kaya akan sumber daya alam, termasuk emas, minyak, dan mineral lainnya. Namun, semua kekayaan itu tidak mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya. Sebaliknya, negeri ini tetap terjebak dalam krisis kemanusiaan yang berkepanjangan.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa masalah Sudan bukan sekadar konflik etnis atau pertikaian internal. Ada faktor eksternal yang mempengaruhi situasi secara signifikan. Amerika Serikat dan Inggris, sebagai negara adidaya, memainkan peran dalam menciptakan ketidakstabilan untuk menjaga kepentingan politik dan ekonominya di kawasan. Negara-negara boneka seperti Israel dan Uni Emirat Arab juga terlibat, masing-masing dengan motif geopolitik dan akses terhadap sumber daya alam Sudan. Kekayaan yang melimpah justru menjadi alasan negara-negara adidaya ini memanfaatkan dan menekan Sudan, alih-alih mendukung pembangunan dan kedaulatan rakyatnya.
Fenomena ini juga terlihat dalam lembaga-lembaga internasional dan aturan global yang ada. Seringkali, lembaga-lembaga seperti PBB atau badan keuangan internasional dikritik karena lebih memihak negara-negara kuat dibandingkan melindungi rakyat di negara berkembang. Sistem global ini mempertahankan hegemoni Barat dan memastikan bahwa negara-negara kaya sumber daya seperti Sudan tetap menjadi objek perebutan, bukan subjek yang memiliki kontrol atas nasibnya sendiri. Dengan kata lain, penderitaan Sudan adalah produk dari permainan kekuatan global yang sistematis.
Dari perspektif umat Islam, kondisi ini mengingatkan kita pentingnya menaikkan level berpikir dan kesadaran ideologis. Umat perlu melihat persoalan dunia bukan hanya sebagai konflik lokal atau perbedaan etnis, tetapi sebagai bagian dari “perang peradaban” yang melibatkan nilai-nilai Islam dan ideologi non-Islam yang mendominasi dunia. Kesadaran ini membuka mata bahwa hanya sistem Islam yang bisa menjadi solusi menyeluruh: tidak hanya menyelesaikan krisis politik dan ekonomi, tetapi juga menghadirkan keadilan dan rahmat bagi seluruh manusia. Sistem yang dibangun atas nilai iman ini menjadikan rakyat subjek, bukan objek, dari pengambilan keputusan dan kebijakan.
Persatuan negeri-negeri Muslim di bawah naungan Khilafah menjadi keniscayaan dalam konteks ini. Dengan bersatu, umat Islam dapat melawan hegemoni negara-negara Barat yang selama ini membuat umat terpecah, tertindas, dan menderita. Persatuan ini bukan hanya strategi politik, melainkan juga amanah iman untuk melindungi dan menegakkan hak-hak seluruh umat. Kesadaran akan hal ini seharusnya memotivasi setiap Muslim untuk berkontribusi, bukan semata demi kekuasaan atau kepentingan pribadi, tetapi karena dorongan iman dan tanggung jawab terhadap sesama.
Sudan hari ini adalah cermin dari penderitaan banyak negeri Muslim yang kaya akan sumber daya tetapi tetap terjajah secara politik dan ekonomi. Dari Sudan, kita belajar bahwa kemerdekaan sejati tidak hanya ditentukan oleh batas wilayah atau pemerintahan nominal, tetapi oleh kemampuan umat untuk mengelola nasibnya sendiri, menjaga persatuan, dan menerapkan sistem yang adil. Hanya dengan kesadaran ideologis, persatuan, dan implementasi sistem yang benar, penderitaan yang melanda Sudan dan negeri-negeri Muslim lainnya dapat dihentikan, dan rahmat Allah dapat dirasakan secara nyata.
Krisis Sudan bukan hanya tragedi kemanusiaan; ia adalah peringatan bagi umat Islam di seluruh dunia. Bahwa tanpa persatuan dan sistem yang menegakkan keadilan, kekayaan sumber daya akan terus dieksploitasi, rakyat akan terus menderita, dan musuh-musuh ideologi Islam akan terus menguasai negeri-negeri Muslim. Kesadaran ini harus diterjemahkan menjadi tindakan nyata, sehingga tragedi seperti yang terjadi di Sudan tidak lagi terulang.


0 Komentar