Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

DIALOGIKA SPESIAL: Quo Vadis Gerakan Mahasiswa Pasca Reformasi (Dikorupsi)?


REPORTASE:
DIALOGIKA SPESIAL: Quo Vadis Gerakan Mahasiswa Pasca Reformasi (Dikorupsi)?

GP Press, Surabaya - Sabtu (5/10/2019) Gerakan Mahasiswa (Gema) Pembebasan Komisariat Universitas Airlangga Surabaya menggelar Forum Diskusi DIALOGIKA dengan tema Quo Vadis Gerakan Mahasiswa Indonesia Pasca Reformasi (Dikorupsi)? Forum yang dimaksudkan untuk menanggapi bangkit kembali gerakan mahasiswa di berbagai daerah ini dihadiri oleh puluhan mahasiswa dari berbagai Lembaga Dakwah Kampus dan Organisasi Mahasiswa di perguruan tinggi Surabaya. Hadir sebagai pemateri Januar Shaleh Kaimuddin, ST, MT (Ketua Cabang HMI Surabaya Periode 2012-2013), Dwi Agus Widodo, S.Pd (Divisi Dakwah Pengurus Daerah Syabab Hidayatullah Surabaya), Choirul Anam S.IP, M.Si (Dosen FISIP Universitas Darul Ulum Jombang dan Aktivis Front Pembela Islam (FPI) Nganjuk), dan Akif Rahmatillah, ST, MT (Dosen FST UNAIR dan Aktivis Senior Gema Pembebasan UGM Yogyakarta).

Januar berpendapat, bahwa gerakan demonstrasi mahasiswa bukanlah fenomena yang unik dan baru dalam kehidupan mahasiswa. Justru ketika mahasiswa tidak turun ke jalan dan sibuk dengan urusannya pribadi, perlu dipertanyakan kemahasiswaannya. Meskipun demikian, mantan ketua organisasi mahasiswa tertua di Indonesia ini menyayangkan karena gerakan mahasiswa selama ini masih egosentris yang mementingkan kepentingan organisasinya sehingga tidak muncul adanya kesatuan visi gerakan yang mampu memberikan solusi yang mendasar.

"Mahasiswa harus melepaskan jas-jas almamaternya dan kepentingan organisasinya, dan mengedepankan konteks intelektual sebagai mahasiswa", tegas pemuda yang juga sebagai Wakil Ketua Masika ICMI Jawa Timur ini.

Selaras dengan pendapat ini, Dwi Agus juga menyoroti hal yang sama bahwa kecenderungan pergerakan mahasiswa hanya terpantik apabila ada yang menggerakkan, bukan muncul atas kesadaran politik mahasiswanya.

"Saya sependapat dengan Bung Januar, bahwa mahasiswa harus melepaskan jas almamaternya. Di samping harus dibangun literasi serta kesadaran politik untuk bergerak secara mandiri”, gagasnya.


Kesadaran ini disamping muncul dari internal mahasiswa perlu adanya dukungan institusi pendidikan dalam membangun daya kritis mahasiswa dalam menyikapi konstelasi politik yang ada. Namun sangat disayangkan tidak banyak institusi yang berorientasi akan hal tersebut karena dikhawatirkan menyebarkan pemikiran anti-pancasila. Hal ini pun diakui Choirul Anam yang bersinggungan langsung dengan kampus, sebagai dosen. Menurutnya, untuk mengerdilkan peran mahasiswa, pemerintah berperan layaknya 'bidak kuda' dalam permainan catur, memakan atau menghalangi bidak lain.

"Ini teori saya, saya menyebut teori bidak kuda. Kuda ini kalau nggak makan ya mematikan gerak bidak lain. Seperti pemerintah saat ini, mereka tidak memakan tapi menghalangi mahasiswa. Caranya dengan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap mahasiswa dengan memainkan framing bahwa mahasiswa tidak memahami permasalahan yang ada", bebernya.

Bukan saatnya lagi mahasiswa hanya meneriakkan tuntutan tapi nihil solusi. Akif menjelaskan berdasarkan pengamatannya selama menjadi mahasiswa, bahwa di pandangan masyarakat, mahasiswa hanya sebagai gerakan moral. Maka, mahasiswa harus 'naik kelas'. Maksudnya tidak hanya bisa teriak 'naikkan' atau 'turunkan' saja, namun juga harus menawarkan solusi yang dapat diterima masyarakat.

"Untuk menjawab gerakan mahasiswa hanya sebagai gerakan moral, maka mahasiswa harus memiliki solusi dan mengartikulasikan solusinya di tengah-tengah masyarakat. Karena kita semua muslim, maka solusinya harus dengan Islam. Makanya, literasi dan diskusi itu penting, khususnya terkait Islam yang disampaikan di masyarakat", jelasnya.

Menyolusi permasalahan saat ini sudah seharusnya menggunakan Islam karena Islam sejatinya telah mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Tinggal bagaimana umatnya menggali dan menawarkan solusi tersebut untuk memecahkan keruwetan permasalahan yang melilit kehidupan global saat ini.

Diskusi di masa depan tidak boleh hanya membatasi diri pada perspektif kenasionalan semata tetapi sudah harus internasionalisme. Solusi yang ditawarkan harus mencakup keumatan global seluruh dunia. Tatanan Islam bersifat internasionalistik, yakni sistem khilafah yang mencakup seluruh negeri kaum muslim di dunia. Maka, mahasiswa sebagai tulang punggung perubahan harus terus berproses dengan meningkatkan literasi Islam dan memahamkan masyarakat bahwa Islam merupakan solusi hakiki dari Sang Pencipta yang mampu menyelesaikan akar permasalahan dan berbagai permasalahan cabang yang ditumbuhkannya. [ESP]

Posting Komentar

0 Komentar