Oleh: Dwi Agus Widodo, M.Pd.
Akademisi Pendidikan dan Filsafat Sosial, Wakil Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Sedati, alumni S-2 Pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya
Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mewacanakan vasektomi sebagai syarat menerima bantuan sosial (bansos) telah menimbulkan keprihatinan mendalam di tengah masyarakat. Lebih dari sekadar polemik administratif, wacana ini menyingkap arah berpikir negara yang kian bergeser dari prinsip keadilan dan etika demokrasi ke wilayah kontrol biologis atas warga miskin.
Di balik wacana yang secara teknokratis mungkin dianggap solutif terhadap persoalan kepadatan penduduk dan kemiskinan, tersembunyi sebuah persoalan mendasar: apakah negara memiliki otoritas moral dan etik untuk mengatur tubuh warganya sebagai prasyarat atas hak hidup yang paling elementer?
Tubuh Sebagai Medan Kekuasaan: Membaca dengan Kacamata Foucault
Filsuf Prancis, Michel Foucault, dalam The History of Sexuality mengungkap bagaimana kekuasaan modern bekerja bukan lagi melalui ancaman fisik, tetapi melalui regulasi atas tubuh dan seksualitas. Negara dalam hal ini tidak hanya mengatur ekonomi, politik, atau hukum, tetapi juga menjangkau sampai ke ranah biologis, melalui apa yang disebut Foucault sebagai biopolitik.
Mewajibkan vasektomi untuk mendapatkan bansos adalah ekspresi telanjang dari logika biopolitik tersebut: negara menanamkan kekuasaannya hingga ke organ reproduksi rakyat miskin. Ini adalah bentuk pemaksaan yang tidak hanya represif, tetapi juga simbolis: negara merasa berhak atas tubuh rakyat demi mencapai agenda pembangunan yang ia klaim rasional.
“Where there is power, there is resistance.” Foucault
Dan alam konteks ini, resistensi etis dan ilmiah menjadi keharusan. Sebab jika kebijakan ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin ranah-ranah privat lain juga akan dikapitalisasi oleh negara dengan dalih efisiensi dan pengentasan kemiskinan.
Rasionalitas yang Kerdil dan Krisis Etika Kebijakan
Salah satu kritik besar dalam teori kebijakan publik modern adalah dominasi rasionalitas instrumental—yakni kecenderungan menilai kebijakan hanya berdasarkan efektivitas teknis, tanpa mempertimbangkan nilai etis dan implikasi sosiokulturalnya. Filsuf Mazhab Frankfurt, seperti Herbert Marcuse dan Theodor Adorno, menyebut ini sebagai “masyarakat satu dimensi”, ketika segala sesuatu dilihat hanya dari fungsi dan manfaatnya bagi sistem.
Dalam perspektif ini, wacana vasektomi memang terlihat “rasional”: mencegah pertumbuhan penduduk, menekan kemiskinan, dan menstabilkan beban fiskal bansos. Namun, pendekatan tersebut mengabaikan bahwa manusia bukan sekadar objek statistik. Mereka adalah subjek moral dengan hak atas tubuh dan masa depan mereka sendiri.
Maka, pertanyaan kritisnya bukanlah: “apakah program ini berhasil?” Melainkan: “apakah program ini benar secara etik dan adil secara sosial?”
Negara Tidak Berhak Memeras Pilihan yang Paling Pribadi
Immanuel Kant dalam prinsip etikanya menegaskan bahwa manusia tidak boleh dijadikan alat bagi tujuan tertentu, betapapun tujuannya dianggap baik. Dalam Groundwork for the Metaphysics of Morals, Kant menyatakan:
“Act so that you treat humanity, whether in your own person or in that of another, always as an end and never merely as a means.”
Ketika seseorang harus “menyerahkan” tubuhnya—melalui prosedur steril—hanya untuk memperoleh hak dasar hidup (bansos), maka di situlah martabat manusia direduksi. Negara telah menjadikan mereka bukan sebagai warga negara, tetapi sebagai objek syarat administratif. Ini adalah bentuk pemerasan etis.
Lebih menyakitkan lagi, kelompok yang disasar adalah mereka yang paling lemah secara sosial dan ekonomi. John Rawls dalam A Theory of Justice menyebut bahwa kebijakan yang adil justru harus melindungi dan menguntungkan mereka yang berada dalam posisi paling tidak beruntung (the least advantaged). Namun dalam kasus ini, negara justru memanfaatkan kerentanan mereka untuk tujuan pengendalian sosial.
Mendidik, Bukan Memaksa
Pengendalian kelahiran dan pengaturan keluarga adalah kebutuhan riil. Tetapi pendekatannya harus bersandar pada edukasi, kesadaran, dan kemitraan etis dengan masyarakat. Agama, budaya lokal, dan komunitas sipil bisa menjadi mitra strategis untuk memperluas kesadaran tanpa pemaksaan.
Wacana vasektomi bersyarat ini bukan hanya cacat etik, tetapi juga cacat strategi. Ia memperlihatkan kemalasan negara dalam mendidik masyarakat, dan memilih jalan pintas melalui syarat-syarat yang manipulatif secara kekuasaan.
Menolak Normalisasi Kebijakan yang Melanggar Martabat
Mungkin, inilah waktu yang tepat bagi para akademisi, tokoh agama, dan masyarakat sipil untuk berdiri tegak dan berkata: cukup sudah kebijakan ngawur yang memanipulasi rakyat miskin. Cukup sudah tubuh rakyat diperlakukan sebagai alat uji coba program teknokratis.
Kita tidak sedang menolak pembangunan. Kita menolak cara berpikir negara yang menukar martabat dengan angka.
“Keadilan tanpa kekuatan adalah kelemahan; kekuatan tanpa keadilan adalah tirani."– Blaise Pascal
Demokrasi sejati ditandai oleh kemauan negara untuk melindungi, bukan menekan. Menyantuni, bukan mengontrol. Dan di atas segalanya: menghormati hak warga negara, bahkan yang paling miskin sekalipun, sebagai manusia yang utuh.
0 Komentar