Home

Elon Musk membahas soal Khilafah dihadapan ribuan undangan dalam agenda yang besar, agenda yang gak main-main yakni konferensi pemimpin negara-negara pemerintahan dunia atau KTT Pemerintahan Dunia dengan tema "Membentuk Pemerintah-Pemerintah Masa Depan” yang diselenggarakan di Dubai, Uni Emirat Arab, pada 13 dan 14 Februari kemarin. Ia mengatakan bahwa “Jika Anda melihat naik turunnya peradaban sepanjang sejarah, peradaban telah bangkit dan jatuh, tetapi itu tidak berarti malapetaka umat manusia secara keseluruhan, karena mereka telah diberikan semua peradaban terpisah yang dipisahkan oleh jarak yang sangat jauh, Musk juga mencontohkan terkait sejarah jatuhnya Roma sementara umat Islam bangkit dengan ke-Khilafahan-nya sebagai contoh peradaban yang menghasilkan pelestarian pengetahuan dan kemajuan ilmiah. "Ketika Roma runtuh, Islam bangkit, Anda memiliki kekhalifahan yang baik sementara Roma buruk. Dan itu akhirnya menjadi sumber pelestarian pengetahuan dan banyak kemajuan ilmiah," katanya dikutip dari foxbussines.com. CEO Tesla ini berani mengatakan kata 'Khilafah' dihadapan ribuan undangan dari berbagai negara tersebut bahkan memuji kemajuan peradaban ketika khilafah tegak pada masa lalu. Dari sini kita sebagai muslim seharusnya malu, seorang Atheis saja memuji kemajuan peradaban Islam, kenapa malah ada dari segolongan kita justru enggan serta menghadang orang yang memperjuangannya, mempersekusi orang yang mendakwahkannya dan juga menolaknya, dengan alasan takut negaranya nanti berperang, terpecah belah atau alasan yang konyol lainnya, ini justru menampakkan kejumudan kita dan kelemahan kita, kalau kita tidak percaya diri dengan ajaran agama kita berarti memang perlu dibenahi iman kita, agar bisa kembali lagi kejalan yang lurus. www.pojokkota.com

Forum Doktor: Persoalan Hukum dan Ekonomi Membutuhkan Solusi Islami


FordokNews - Malang (20/10). “Pengadilan tipikor telah dilabeli sebagai extraordinary crime. Oleh karena itu upaya pemberantasannya pun harus bersifat extraordinary. Cara-cara biasa tidak akan mampu memberantasnya. Dibutuhkan cara berhukum yang progresif. Sebuah cara berhukum yang dibalut dengan karakter rule breaking.” Ungkap Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum., pakar Sosiologi Hukum dan Filsafat Pancasila ketika memberi pemaparan seputar kasus hukum aktual dalam acara Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDM-PB) ke-3 pada Ahad (20/10).

FDM-PB kali ke-3 ini mengambil tema "Negara dalam Krisis, Butuh Solusi Sistemik". Forum Doktor yang edisi pertama dan keduanya digelar di Surabaya ini pada kesempatan ke-3 kali ini digelar di sebuah Ballroom hotel di Malang. Sekitar 60 kursi yang disediakan nampak penuh terisi oleh cendekiawan dan intelektual, para profesor, doktor, dan magister dari berbagai disiplin ilmu. Mereka hadir baik dari kota-kota di kawasan Jawa Timur; Malang, Surabaya, Jember, Bangkalan, Gresik, Blitar, Jombang, Sidoarjo, maupun dari kota di luar Jawa Timur.

Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. yang menjadi salah satu narasumber di sesi kedua (sesi siang-sore) memaparkan bahwa terdapat karakter khusus dalam penegakan hukum, yaitu Rule Breaking.

“Ada 3 karakter rule breaking, yaitu: (1) Penggunaan spiritual quotation (berupa kreativitas) untuk tidak terbelenggu (not rule bounded) pada aturan ketika peraturan hukum itu ditegakkan justru timbul ketidakadilan. (2) Penafsiran hukum yang lebih dalam (deep interpretation), yakni sampai pada konteks sosial, bahkan filosofis sehingga makna sosial-ideologis yang terdalam dari hukum itu dapat ditemukan dan dijadikan kredo dalam penegakan hukum. (3) Penegakan hukum tidak boleh hanya didasarkan pada logika (rasio, logic), melainkan juga harus didasarkan pada rasa, yakni rasa kepedulian dan keterlibatan kepada vulnerable people, orang terpinggirkan, orang lemah, dan orang terdzalimih,” terangnya.

Prof. Suteki kemudian mensyaratkan, untuk menegakkan hukum diperlukan 2 (dua) syarat yaitu sikap keberanian dan menumbuhkan jiwa pejuang kebenaran serta keadilan.

“Dan yakinlah bahwa hukum Allah subhanahu wa ta’ala itu pasti lebih baik,” pungkasnya.

Pemateri selanjutnya Dr. Rudy Wahyono, SE., M.Si., pakar Ekonomi, mengangkat makalah berjudul _‘Persoalan Perekonomian Indonesia’_. Dr. Rudy mengungkapkan ada 4 masalah yang dihadapi negeri ini dari sisi ekonomi, diantaranya: (1) Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai masalah belum optimalnya pengelolaan transportasi dan sumber daya perairan. (2) Indonesia juga menghadapi persoalan banyaknya pengangguran dan kemiskinan. (3) Indonesia dalam pendanaan pembangunan mengandalkan hutang luar negeri dan hutang dalam negeri yang pada 2019 ini diprediksi mencapai Rp5.269 triliun sehingga posisi tawar lemah akibatnya kebijakan ekonomi selalu "diintervensi" negara kreditor. (4) Industrialisasi yang relatif lamban memberi pilihan sebagai "bangsa konsumen" dan "bangsa makelar".

“Solusinya mari kita praktekkan Sistem Ekonomi Islam yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala,” pungkasnya.

Narasumber lain sebagai pemakalah di sesi sebelumnya antara lain: Prof. Daniel M. Rosyid, PhD., M.RINA., pakar Pendidikan & Maritim; Dr. Ichsanuddin Noorsy, BSc., SH., MSi., Ekonom dan Pengamat Politik Ekonomi; Prof. Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar, pakar Sistem Informasi Spasial dan Pakar Riset; dan Dr. H. Fahmy Lukman, M.Hum., pakar Bahasa & Sastra.
Forum sesi kedua (siang-sore) yang dipandu Yusuf Wibisono, PhD. ini berlangsung lancar mulai pukul 13.00 sampai 15.45 WIB. Sebelum acara ditutup, dibacakan pernyataan sikap FDM-PB oleh Dr. N. Faqih Syarif H., M.Si, sebagai sikap bersama yang diambil oleh para cendekiawan yang hadir. [sw/ard]

Posting Komentar

0 Komentar