Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Gender dan Keamanan Internasional


Banyak anggapan bahwa karakter politik internasional adalah maskulin, atau terlalu didominasi oleh pria. Peristiwa buruk yang terjadi di politik internasional seperti perang dunia 1 dan 2, perang dingin, dan berbagai konflik yang terjadi di afrika ditafsirkan sebagai konsekuensi dari karakter politik internasional yang terlalu maskulin. Akibatnya, sejak abad ke-18 munculah sekelompok wanita yang menyuarakan perlunya andil kaum mereka (feminis) dalam politik internasional. Alasannya, mereka memandang bahwa budaya patriarkis telah memengaruhi karakter politik internasional dan konsep keamanan internasional itu sendiri. 

Asal Mula Feminis

Istilah femina, feminisme, feminis berasal dari bahasa Latin fei-minus. Fei artinya iman, minus artinya kurang, jadi feminus artinya kurang iman. Wanita di Barat, sejarahnya, memang diperlakukan seperti manusia kurang iman. Wajah dunia Barat pun dianggap terlalu macho.

Tapi lawan kata feminis, yakni masculine tidak lantas berarti penuh iman. Masculinus atau masculinity sering diartikan sebagai strength of sexuality. Maka dari itu dalam agama wanita Barat itu korban inquisisi dan di masyarakat jadi korban perkosaan laki-laki. Tak pelak lagi agama dan laki-laki menjadi musuh wanita Barat.

Itulah worldview (cara pandang alam) Barat asal feminisme lahir. Dan memang worldview, menurut al-Attas, Alparslan, Thomas Wall, Ninian Smart dan lainnya adalah sumber aktifitas intelektual dan sosial. Buktinya worldview Barat liberal menghasilkan feminis liberal, Barat Marxis membuahkan feminis Marxis, Barat postmodern melahirkan feminisme posmo dan seterusnya.

Karena kapitalisme dilawan sosialisme, maka feminis liberal dilawan juga oleh feminis Marxis. Idenya sudah tentu menolak kapitalisme. Sebab struktur politik, sosial dan ekonomi kapitalis liberal telah meletakkan wanita dalam kelas sosial yang lain. Kapitalis-liberal juga menciptakan sistem patriarkis. Karena itu gagasan Feminis Marxis adalah menghapus kelas sosial ini. Namun, nampaknya feminisme liberal atau Marxis masih dianggap kurang nendang. Mereka perlu lebih radikal lagi. Bahasanya bukan lagi reformasi tapi revolusi. Fokusnya tidak lagi menuntut hak sipil tapi memberontak sistem seks/gender yang opressif. Pembagian hak dan tanggung jawab seksual serta reproduksi wanita dan laki-laki dianggap tidak adil. Bible pun tak luput dari kritikan. Kristen itu menindas perempuan, kata Stanton dalam The Womens Bible.

Selain itu perempuan sering diposisikan sebagai alat pemuas lelaki. Inilah sebabnya feminis radikal lalu marah. “Tanpa lelaki wanita dapat hidup dan memenuhi kebutuhan seksnya” begitulah kemarahan mereka. Lesbianisme pun dianggap keniscayaan. Padahal dalam The Vatican Declaration on Sexual Ethics tahun 1975 diputuskan bahwa perilaku lesbian dan homoseks “are intrinsically disordered and can in no case be approved of." Paus Benediktus XVI pada malam Tahun Baru 2006, mengutuk hubungan seks sejenis itu. Tapi apa arti agama jika iman tidak di dada.

Feminisme adalah gerakan nafsu amarah. Pemicunya adalah penindasan dan ketidakadilan. Obyeknya adalah laki-laki, konstruk sosial, politik dan ekonomi. Ketika diimpor ke negeri ini, ia berwajah gerakan pemberdayaan wanita.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam draft rancangan undang-undang kesetaraan dan keadilan gender (RUU-KKG) mendefinisikan geder sebagai berikut “Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak etap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukar-kan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.” (Pasal 1:1, Draft RUU-KKG). Pendefinisian gender seperti ini sudah lazim dilakukan, sebagai salah satu upaya dari kaum feminis untuk mengejar kesetaraan 50:50 (fifty-fifty) antara laki-laki dengan perempuan di seluruh bidang kehidupan. Baik kehidupan khusus (khayat al-khas) yang diwakili oleh keluarga maupun kehidupan umum (hayat al-Aam) atau dalam ruang publik.

Dalam Islam, laki-laki diamanahi sebagai pemimpin dan kepala keluarga serta berkewajiban mencari nafkah keluarga. Ini ditentukan berdasarkan wahyu. Islam tidak melarang perempuan bekerja, dengan syarat, mendapatkan izin dari suami. Dalam hal ini, kedudukan laki-laki dan perempuan memang tidak sama. Tetapi, keduanya di mata Allah adalah setara. Jika mereka menjalankan kewajibannya dengan baik, akan mendapatkan pahala, dan jika sebaliknya, maka akan mendapatkan dosa.  Konsep kesetaraan Islam seperti ini jelas bertentangan dengan konsep kesetaraan mereka. Para penggiat feminis medorong perempuan lebih aktif dalam kehidupan umum. Secara tak sadar mereka telah mengabaikan peran perempuan dalam institusi sosial pertama yaitu keluarga.

Kesimpulan

Maka gerakan kesetaraan gender yang ingin masuk dan mewarnai politik internasional itu adalah gerakan yang berangkat dari pengalaman wanita di Barat, yang melekat padanya label ‘kurang iman’. Meski dalam perjalanannya gerakan kesetaraan gender bercabang dengan menggunakan berbagai paradigma sebagai bajunya, masih tetap lekat pada gerakan ini ‘hasrat menentang agama dan dan konstruk sosial. Misalnya, feminis kultural masih memprotes pornografi, prostitusi, dan heteroseksual. Tapi mereka masih teguh tidak bersetuju dengan UU pornografi dan “perda bernuansa syariah”.
di negeri-negeri timur, tempat gerakan ini diekspor. Kesetaraan gender berganti dengan topeng yang lebih halus dan menarik bertajuk “pemberdayaan perempuan”. Sebut saja Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) yang baru-baru ini seakan menyetujui wacana yang digulirkan partai solidaritas Indonesia (PSI) mengenai pelarangan praktik poligami oleh jajaran pegawai negeri. lebih memprihatinkan lagi, komas perempuan pun berani ber-statement bahwa poligami bukanlah bagian dari ajaran Islam.

Menurut saya, gerakan kesetaraan gender adalah gerakan yang rusak sedari kelahirannya, yang berangkat dari pengalaman sejarah wanita di Barat, yang kini melalui globalisasi pengalaman itu disamaratakan sebagai pengalaman wanita pada umumnya. Padalah di timur yang dimana Islam menjadi Agama sekaligus Ideologinya wanita telah dan sedang ditempakan pada tempat yang mulia, yakni sebagai madrasathul al Ula (tempat pendidikan yang pertama) bagi para penerus generasi. Mudahnya, wanita di timur adalah para penjaga peradaban (Islam). Bukan fei-minus dalam anggapan mereka. [] AryoSeto

Posting Komentar

0 Komentar