Menempatkan potitioning ormas dalam kaitan hubungan dengan organisasi kekuasaan akan sangat menentukan bagaimana menyikapi keberadaan ormas. Realitas ormas ada yang menjadi bagian dari organisasi kekuasaan. Namun ada pula ormas yang di luar kekuasaan melakukan kontrol. Sejarah kelahiran ormas jauh lebih dulu daripada organisasi kekuasaan. Maka keberagaman keberadaannya menjadi potensi yang strategis dikelola untuk kepentingan negara.
Dalam konteks mengatur hubungan di antara ormas dan organisasi kekuasaan perlu tata aturan. Di antara aturannya adalah Pancasila dan UUD 1945. Oleh karenanya diatur hak dasar berserikat, berkumpul, berpendapat dalam pasal 28 UUD 1945. Ini semacam kompensasi organisasi kekuasaan kepada ormas sebagai representasi dari kekuatan civil society.
Problemnya adalah jika organisasi kekuasaan yang dikendalikan rezim, dibayar dan difasilitasi rakyat tersebut memandang bahwa semua ormas yang lahir lebih dulu, harus semuanya berada dalam koridornya. Dianggap mengancam keberadaan rezim atas nama keberadaan negara. Padahal secara faktual negara ditopang oleh pilar pilar negara di antaranya ormas dan organisasi kekuasaan.
Selain Pancasila dan UUD 1945, NKRI juga dianggap sebagai koridor lain. Dihadap hadapkan dengan NKRI Bersyariah, Khilafah Islamiyah dan Islam. Sementara secara substansial tafsir Pancasila, UUD 1945 dan NKRI yang sudah terliberalisasi dan berpotensi dikendalikan oleh RRC dan Amerika beserta barat melalui pintu masuk kerjasama ekonomi dan politik disamarkan realitasnya.
Dengan kata lain rezim yang mengendalikan organisasi kekuasaan saat ini telah berhasil membangun kontruksi bernegara menggunakan legitimasi Pancasila, UUD 1945, dan NKRI untuk mengamankan kepentingan penjajahan Asing dan Aseng sebagai representasi kekuatan kapitalis liberalis - sosialis komunis. Dengan mengenyahkan Islam dan Umat Islam sebagai ancaman keberadaan penjahahan melalui propaganda Islamophobia. Dan menggunakan kelompok umat Islam sendiri sebagai tangan tangannya.
Kita bisa melihat bagaimana narasi radikalisme dan terorisme diproduksi sangat menonjol daripada islamophobia. Meski secara faktual kekuatan islamophobia saat ini lah yang menggelayuti dan mendominasi pola pikir rezim. Dengan kata lain, logika ancaman krisis politik dan krisis ekonomi yang terjadi di negeri ini dianggap lebih besar karena radikalisme dan terorisme. Yang direpresentasikan oleh sebuah entitas bernama ISIS penuh kontroversi. Dan dianggap berpotensi menyebabkan problem sistemik. Ketimbang pengaruh dominasi politik dan ekonomi negara negara global yang sudah sedemikian masuk mencengkeram dan mengendalikan seluruh sektor sektor politik dan ekonomi strategis negeri ini.
Organisasi kekuasaan yang dikendalikan rezim saat ini telah masuk terlalu jauh dalam skenario penjajahan global. Struktur dan kultur politik yang dipraktekkan saat ini telah menjadi jerat dan kuburan bagi rezim. Tidak bisa keluar dari lingkaran setan penjajahan. Organisasi kekuasaan oleh rezim lebih merepresentasikan pelayan penjajah daripada pelayan rakyat.
Kelemahan Pancasila sebagai sebuah diskursus ideologi, UUD 1945 yang terliberalisasi melalui amandemen dan NKRI harga mati yang lebih bersifat konseptual daripada faktual. Semuanya menjadi celah bagaimana strategi penjajahan global menjadi efektif diberlangsungkan di negeri ini.
Dalam environment dan aura seperti itu berharap kondusifitas ruang publik agar keberagaman ormas dengan segala kekhasannya diakomodasi oleh rezim melalui organisasi kekuasaannya sebagai potensi tentu *jauh panggang dari api.* Karena penjajahan telah mengkonsolidasikan semua instrumen negara adaptif terhadap semua agenda penjajahan. Sebaliknya resisten terhadap semua hal yang dianggap sebagai penghambat penjajahan. Sebuah penjajahan yang diformulasikan dengan tema yang humanis sebagai pembangunan era milenial.
Tidak bisa dipungkiri Islam berikut entitas baik ormas dan orpol yang dianggap memperjuangkannya ditempatkan sebagai common enemy. Dan cara yang sangat efektif untuk membangun paradigma ini adalah menggunakan di antara umat islam sendiri sebagai perpanjangan tangan propagandanya. Karena kekuatan islam dan umat islam tidak mungkin bisa dipatahkan kecuali menggunakan strategi devide et impera dan stick and carrot.
Ini semua menjelaskan latar fakta politik yang sebenarnya terjadi di balik pencabutan status hukum formal HTI dan tarik ulur perpanjangan SKT FPI. Sementara di kalangan islam sendiri terutama yang menjadi sasaran agak gamang dan lebih defensif apologik rasional untuk mengungkap alasan fakta politik sebenarnya. Bahkan cenderung ingin menyelamatkan kelompoknya dengan meyakinkan perbedaan ide perjuangan yang diusung. Misalnya khilafah islamiyah yang diusung oleh FPI berbeda dengan yang diperjuangkan HTI.
Tidak mampu dan berani membalik logika problem keberadaan rezim dan sistem yang berlaku saat ini adalah wujud representasi penjajahan. Hingga menyulitkan konsolidasi perjuangan. Apalagi larut pula dalam narasi islam moderat sebagai versus dari islam radikal. Demi meyakinkan kepada para penjajah tentang keberbihakan kepada Demokrasi sebagai sistem yang disepakati.
Padahal secara faktual Demokrasi adalah sistem yang telah dirancang oleh para penjajah sebagai political trap bagi para pejuang Islam. Ini menyadarkan semuanya, kita tidak sedang hanya cukup meyakini kemenangan dan kebangkitan islam sebagai ujung akhir perjalanan dunia. Dengan tegaknya khilafah Islamiyah 'ala minhajin nubuwwah. Melainkan juga dengan sabar dan ikhlas mengedukasi umat bahwa Demokrasi lah biang dari segala problem sistemik global. Wallahu a'lam bis showab.[]
0 Komentar