Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Ketika Lawyer Sedang Berhadapan Hukum di Tengah Issue Adanya Industri Hukum? (Ahmad Khozinudin Gate)


Pierre Suteki

Pada tanggal 11 Januari 2020 malam, saya merasa kikuk bertemu dan duduk bersama seseorang yang sedang menyandang status sebagai tersangka (TSK) dalam acara Islamic Lawyers Forum ( ILF ) di Yogyakarta. Saya pada malam itu bersama sahabat yang sering bareng dalam Road Show Jalan Pikir Sehat di Jawa Timur, yaitu Sdr. Ahmad Khozinudin.

Sdr. Ahmad Khozinudin adalah seorang pengemban dakwah dan juga seorang lawyer yang sering memberikan bantuan hukum kepada siapa pun termasuk para ustadz yang berhadapan dengan hukum. Kini ustadz dan lawyer itu sedang berhadapan pula dengan "pihak yang berwajib" di negeri ini. Sebagaimana keterangan yang secara resmi diunggah dalam akun facebook-nya, bahwa benar dia ditangkap pada Jum'at dini hari (10/01) sekira pukul 02.30 oleh Tim Penyidik dari Direktorat Cyber Crime Mabes Polri, dengan status Tersangka atas tudingan menebar hoax dan melawan penguasa, berdasarkan ketentuan pasal 14 ayat (2) dan 15, UU No 1 tahun 1946 tentang peraturan pidana dan/atau pasal 207 KUHP.

Masih menurut Ahmad Khozinudin, ihwal yang menjadi dalih penangkapannya adalah karena unggahan 5 (lima) buah artikel dari penulis Nasrudin Joha di laman facebook miliknya. Artikel itu adalah kritik terhadap sejumlah kebijakan rezim Jokowi terkait isu Jiwasraya, Pancasila dan Khilafah. Ahmad Khozinudin menduga proses hukum yang dipaksakan kepadanya adalah karena sikap dan posisinya yang kritis terhadap rezim Jokowi. Selain aktif melakukan pendampingan pada sejumlah aktivis dan ulama akibat korban kriminalisasi rezim, ia juga konsen mengkritik kebijakan rezim Jokowi. Terakhir, ia juga mengkritik melalui artikel atas sikap dan kebijakan Jokowi pada kasus Jiwasraya dan isu Natuna.

Terkait dengan penangkapan dan penetapan tersangka atas dirinya, dalam kesempatan tulisan resmi itu juga mengkritik cara dan pola penegakan hukum yang diadopsi Mabes Polri yang main tangkap saat dini hari, membuat heboh keluarga dan lingkungan rumahnya. Ia juga merasa ada yang janggal ketika penyematan status tersangka atas dirinya tanpa pemeriksaan pendahuluan. Bahkan ia juga merasa terhina oleh umpatan salah satu anggota tim penyidik yang menghardiknya dengan kata 'Bajing*n'. Padahal Ahmad Khozinudin adalah juga seorang advokat yang memiliki kedudukan sebagai penegak hukum berdasarkan undang-undang. Jadi, pada intinya menurut yang bersangkutan penangkapan hingga penetapan sebagai tersangka dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan hukum dan etika. Oleh karena itu, ia merasa diperlakukan kurang layak baik sebagai ustadz, maupun sebagai PENEGAK HUKUM.

Bila demikian, saya pun merasa prihatin atas kejadian penangkapan hingga penetapan Sdr. Ahmad Khozinudin sebagai tersangka. Sulit saya membayangkan kehidupan hukum di masa depan jika memang benar kita menyaksikan model penegakan hukum yang cenderung tebang pilih, pilih tebang. Seolah mengesankan pembuktian dalil Donald Black bahwa "downward law is greater than upward law". Dan seolah membuktikan pula kebenaran dalil Marc Galanter bahwa "the haves always come out ahead". Dengan perkataan lain, yang punya kekusaan dapat memenangkan setiap pergulatan dengan menjadikan hukum atau sumber daya lain sebagai sarana melakukan represi kepada pihak lain yang dianggap berseberangan atau melawan.

Para sahabat yang mulia, secara umum dapat dikatakan bahwa literasi yang terbatas bisa dipastikan akan menumbuhkan sikap antipati yang berlebihan bahkan dapat memicu tindakan yang represif dengan bertameng hukum yang sengaja dibuat untuk itu. Dengan perkataan lain hukum hanya dipakai sebagai alat legitimasi kekuasaan. Penggunaan hukum yang demikian biasanya dimulai dengan pembuatan formulasi hukum yang "ngaret" dan dapat "melar-mingkus" mengikuti kepentingan pengemban nya.

Masalah penangkapan dan penetapan Ahmad Khozinudin ini sengaja saya angkat untuk meningkatkan literasi kita terhadap penghormatan (to respect), pemenuhan (to fullfil) dan perlindungan (to ptotect) Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah dijamin dalam konstitusi kita khususnya Pasal 28 UUD NRI 1945, yakni hak untuk berserikat dan berkumpul serta menyatakan pendapat baik secara tertulis maupun lisan.

Bila kita bandingkan dengan beberapa laporan atas dugaan tindak pidana penistaan agama, ujaran kebencian yang dilakukan oleh Densi, Abu J, Ade A, Victor L, dll sungguh "akselerasi" penetapan tidak imbang, berat sebelah dan tidak memenuhi asas hukum "equality before the law".

Atau mungkin saya coba membandingkan kasus yang saya adukan yakni adanya dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh pejabat di Undip sebagai buntut pemberhentian atas 3 jabatan saya di Undip. Mulai pengaduan di Polda Jateng, pemeriksaan atas puluhan saksi dan meminta keterangan dari beberapa ahli dibutuhkan waktu dan tenaga serta biaya lama, besar dan banyak. Untuk waktu dibutuhkan selama 6 bulan. Itu waktu yang lama hanya untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Dan yang mengecewakan adalah diakhir bulan keenam muncul sepucuk surat SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyelidikan). Perih rasanya ketika mengetahui upaya untuk menguji berbagai aduan dan alat-alat bukti yang telah cukup ternyata harus kandas di proses penyelidikan saja. Namun, itulah pil pahit yang harus saya telan. Jadi, untuk kasus Ahmad Khozinudin itu berbanding terbalik dengan kasus yang saya alami tersebut. Mengapa bisa terjadi? Alasannya silahkan kembali ke dalil yang saya ajukan tadi di muka.

Menyimak praktik hukum yang tengah terjadi, mungkin ada benarnya tentang INDUSTRI HUKUM yang sempat viral seperti yang kalau tidak salah disebutkan oleh Menkopolhukam belum lama ini. Saya kemudian berkhayal mungkinkah dalam industri hukum ini kita peroleh justice dalam proses trial-nya atau justru yang akan muncul adalah: trial without justice?

Sebagai seorang guru besar di bidang hukum saya juga prihatin melihat buruknya penegakan hukum di negara hukum ini. TRIAL BY THE PRESS terkesan lebih dipercaya dibandingkan dgn TRIAL BY THE RULE OF LAW sehingga yang muncul adalah TRIAL WITHOUT TRUTH sebagaimana dikatakan oleh William T Pizzi. Keadaan ini akhirnya akan berakhir dengan TRIAL WITHOUT JUSTICE.

Dalam dunia hukum itu dipercayai dalil: BERANI MENUDUH HARUS BERANI MEMBUKTIKAN. Jangan menuduh tanpa bukti yang bisa dipertanggungjawabkan dan belum diuji kebenaran tuduhan itu. Di mana tempat menguji dan mempertanggungjawabkan tuduhan? Tidak lain di PENGADILAN melalui DUE PROCESS OF LAW. Di negara hukum itu pemali menggunakan sarana VANDALISME: hantam dulu, urusan belakangan. KASIH SANKSI DULU, URUSAN BELAKANGAN. Itu eigenrichting. Itu akan menjadikan pemerintah sebagai EXTRACTIVE INSTITUTION sebagai lambang NEGARA KEKUASAAN bukan NEGARA HUKUM. Dan hal itu sekaligus menunjukkan bahwa cara berhukum kita (Rule of Law) masih berada di tahap paling tipis ( the thinnest rule of law) di mana rezim penguasa hanya menggunakan perangkat hukumnya sebagai sarana untuk LEGITIMASI KEKUASAAN sehingga kekuasaannya bersifat represif.

Sebenarnya keadaan penegakan hukum yang bopeng itu dapat dimulai dari cara menjalankan perkerjaan polisi yang memiliki berbagai karakteristik, misalnya:

1. Polisi berada di garda terdepan dalam penegakan hukum. In optima forma.
2. Polisi sebagai hukum yang hidup, di tangannya suatu peraturan hukum mengalami perwujudannya.
3. Polisi bekerja di antara law and order sehingga ia memiliki diskresi yang sangat luas.
4. Polisi bekerja disertai dengan dibolehkannya penggunaan kekerasan yang terukur, bukan abuse of power.
5. Pekerjaan polisi itu berpotensi menjadi pekerjaan yang bersifat tainted occupation (pekerjaan yang berlumuran noda).

Karakteristik pekerjaan polisi tersebut bila tidak dijalankan dengan benar dan menjadikan "good behavior" menjadi ukuran utama, maka langkah menyingkirkan keadilan dalam due process of law tahap awal sudah dimulai. Dan hal itu disinyalir akan merembet ke jenjang peradilan selanjutnya. Bahkan, sekalipun advokat itu seharusnya memperjuangkan pula keadilan klien, mereka bisa terjebak dalam perangkap pragmatis dunia kepengacaraan yakni: maju tak gentar membela yang bayar, bukan maju tak gentar membela yang benar untuk access to justice. Akhirnya sesuai kata Marc Galanter bahwa "a good advocate is like a good prostitution, if the price is right, he will warm client completely". Apa yang dikhawatirkan oleh Menkopolhukam tentang tercerabutnya nilai keadilan dalam penegakan hukum di negeri ini sangat mungkin telah dan menjadi kenyataan. Industri kejam di dunia penegakan hukum telah berdiri sekalipun itu di bagian tubuh pemerintah negara sendiri.

Menko Polhukam Mahfud Md menyebut industri hukum masih terjadi dalam praktik penegakan hukum. Dia menyebut masih ada praktik di mana orang yang benar dibuat bersalah, begitu juga sebaliknya.

Industri hukum yang dimaksud Mahfud yaitu penegakan hukum yang tidak berdasarkan asas keadilan. Sindiran ini dilontarkan Mahfud kepada penegak hukum yakni kepolisian, kejaksaan, dan hakim.

Kalau ada INDUSTRI HUKUM berarti ada:

1. POLICE CORPORATE
2. PROSECUTOR CORPORATE
3. COURT CORPORATE
4. PRISON CORPORATE dan
5. ADVOCATE CORPORATE

Bukankah begitu?
Yang terakhir akan terjadi: INDONESIA CORPORATION. Bila demikian, maka sesungguhnya negara ini telah menjelma menjadi perusahaan raksasa yang berwajah dingin tetapi bengis terhadap rakyatnya sendiri. Hilang karakter diri sebagai negara benevolen. Yang tersisa boleh jadi tinggal hubungan bisnis antara PRODUSEN dan KONSUMEN. Produsennya Negara dan Swasta sedang konsumennya adalah rakyatnya sendiri. Akhirnya kepengurusan negara ini hanya sebatas PROFIT bukan BENEFIT. Itukah maunya Negara Hukum Kesejahteraan Sosial kita akan bermetamorfosis menjadi NEGARA INDUSTRI HUKUM?

Terakhir, saya berharap penanganan kasus sahabat saya Sdr Ahmad Khozinudin dapat berjalan secara transparan dan proses penangkapan hingga penetapan sebagai tersangka bukan atas pesanan "jahat" pihak atau oknum tertentu sehingga tidak terkesan bahwa kasus ini seolah telah dipaksakan. Bila terdapat bukti yang kuat silahkan diproses dengan prinsip praduga tak bersalah, prinsip due process of law serta equality before the law. Kita tidak ingin kasus Ahmad Khozinudin ini justru memicu keresahan di tengah masyarakat dan hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat baik lisan maupun tulisan dengan media apa pun juga menjadi terkebiri dan terpasung. Bukankah kita telah mendewakan sistem pemerintahan negara demokrasi, sehingga sungguh tidak pantas jika kita sendiri secara sengaja membunuhnya dengan pemberangusan kebebasan berpendapat tersebut.

Polisi sebagai garda terdepan penegakan hukum pun tidak boleh menjadi agen industri hukum ini karena ketika polisi telah menjadi agen industri penegakan hukum maka sejak di garda ini pun penegakan hukum sudah dipenuhi pertimbangan untung rugi, bukan pertimbangan kebenaran dan keadilan. Jika bukan lagi dua hal itu yang menjadi pertimbangan polisi dalam melaksanakan pekerjaannya bahkan jika polisi sudah mau menjadi alat pemerintahan negara untuk mewujudkan kejahatan-kejahatan politiknya, maka di saat itulah negara ini telah menjadi POLICE STATE. Kita tentu tidak menghendaki keadaan ini terjadi, bukan?

Sobat Ahmad Khozinudin, dewi fortuna sepertinya sedang menghampiri Anda. Bila memang Anda berada di koordinat kebenaran dan keadilan, maka tetaplah menjadi secercah cahaya di tengah kegelapan. Tetaplah menjadi lantera di tengah matinya sumber-sumber cahaya. Meski Anda hanyalah butiran debu, tapi yakinlah bahwa timbanganmu tetap diperhitungkan Alloh dan pecinta kebenaran serta keadilan. Pertanyaan saya:
"Apakah dimasukkan sumur tua itu bahagia atau menderita? Baik atau buruk? Saya yakin Anda dapat menjawabnya dengan bernas!

Tabik...!!!

Kota Lunpia, 12 Januari 2020

Posting Komentar

0 Komentar