Oleh: M. Amilurrohman, MT
(Pemerhati Politik)
Kerajaan adalah politik kejam yang memberikan kekuasaan dan kedaulatan penuh kepada seorang raja untuk menentukan segala macam kebijakan atas dasar syahwatnya sendiri. Rakyat dipaksa untuk mengikuti kebijakan raja se-dzalim apapun kebijakannya. Yang lebih kejam adalah politik teokrasi dimana kesewenang-wenangan itu mengatasnamakan agama karena raja dianggap sebagai wakil Tuhan yang tidak pernah salah. Rakyat lahir batin terpaksa tunduk pada seseorang yang dianggap wakil Tuhan sebagai bentuk ibadah.
Sebagai antitesa dari kedua politik ini adalah demokrasi. Kekuasaan dan kedaulatan seorang raja diambil kemudian diserahkan kepada rakyat. Dengan begitu, tidak lagi ada kedzaliman kepada rakyat. Begitu teorinya. Indah dan menakjubkan. Tapi dalam tataran praktisnya, tidak pernah akan bisa kebijakan itu lahir dari kesepakatan rakyat sepenuhnya karena dua hal.
Pertama, tidak pernah ada tempat dan kesempatan semua rakyat dari yang tua hingga bayi yang baru dilahirkan berkumpul merumuskan satu kebijakan saja. Kedua, setiap orang punya pikiran dan kepentingan yang berbeda-beda dimana sebagiannya tidak bisa disinkronkan dengan sebagian yang lain. Karena kedua hal itulah, jangankan untuk merumuskan kebijakan pengelolaan kekayaan alam misalnya, merumuskan pembagian harta warisan dalam satu keluarga saja butuh tempat dan kesempatan yang tepat, hasilnya pun tidak semua anggota keluarga sepakat bahkan bisa berujung pada permusuhan antar saudara.
Inilah kecacatan asasi politik demokrasi. Akhirnya, dalam tataran praktis, tidaklah rakyat menjadi penguasa bagi diri mereka sendiri, melainkan tetap harus ada pemimpin yang mengurus urusan mereka. Hanya saja, agar tidak lahir kembali politik kerajaan, orang yang terpilih menjadi pemimpin berdasarkan suara mayoritas rakyat. Kemudian kekuasaan dibagi menjadi eksekutif, legislatif dan yudikatif, inilah yang kemudian kita sebut dengan Trias politika. Dan agar tidak kembali politik teokrasi, agama tidak diperbolehkan ada dalam kepengurusan politik, inilah yang kemudian kita sebut dengan sekulerisme.
Ketika sah tidaknya seseorang menjadi pemimpin didasarkan suara mayoritas, ketika itulah kesempatan para kapitalis berpeluang membeli atau merekayasa suara, sebab kebanyakan orang tidak bersuara dengan pertimbangan idealis melainkan dengan pertimbangan pragmatis. Inilah pintu kesesatan yang telah diingatkan Allah SWT
(وَإِن تُطِعۡ أَكۡثَرَ مَن فِی ٱلۡأَرۡضِ یُضِلُّوكَ عَن سَبِیلِ ٱللَّهِۚ إِن یَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنۡ هُمۡ إِلَّا یَخۡرُصُونَ)
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja [Al-An’am/6:116]
Apalagi kemudian kekuasaan tersebut dibagi menjadi tiga, maka peluang intervensi para kapitalis pun semakin besar. Sebab, siapapun yang berkuasa, ia tidak memiliki kendali politik sepenuhnya, maksimal hanya sepertiga kekuasaan saja. Dan yang paling berbahaya adalah ketika kapitalis asing dan Aseng ikut berperan, sebab seluruh kekayaan akan disedot keluar negeri hingga tak tersisa bagi negeri kecuali remah remah dan tulang belulang semata, itu pun kalau masih ada.
Puncaknya, menihilkan agama dalam urusan politik. Jika kemudian ada pernyataan dari BPIP bahwa konstitusi di atas kitab suci, maka memang itulah sejatinya politik demokrasi. Dengan begitu kebijakan akan begitu bebas diatur sesuai kehendak penguasa yang tunduk pada kepentingan siapa kapitalis yang mendanai biaya politiknya. Padahal Allah telah berfirman
وَمَن لَّمۡ یَحۡكُم بِمَاۤ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zhalim. [Al Maidah 45]
Kesemua itu menunjukkan bahwa ujung dari realisasi politik demokrasi sebagaimana politik kerajaan dan politik teokrasi adalah kedzaliman. Bedanya, kedzaliman politik kerajaan mengatasnamakan raja selalu benar dan kedzaliman politik teokrasi mengatasnamakan raja wakil Tuhan. Sementara kedzaliman politik demokrasi lebih kejam sebab mengatasnamakan rakyat atas segala produk kebijakannya yang dzalim.
Kecacatan politik demokrasi tersebut membawa biaya politik semakin zaman semakin mahal. Tidak ada struktur jabatan politik apapun melainkan ada biayanya. Sementara tidak ada biaya yang gratis melainkan harus ada kompensasi yang harus dibayar. Hal ini lah yang kemudian melahirkan satu persatu penguasa yang bermental pengusaha.
Ia tidak berkuasa melainkan untuk menumpuk numpuk harta demi menyelesaikan biaya politik yang dihabiskan dan benefit politik untuk kenikmatan dunia dan nafsu berkuasa di periode selanjutnya. Ia tidak melihat rakyat melainkan sebagai pasar yang bisa disedot seluruh lembaran uang hingga receh receh yang di kantong dan dompetnya. Makanya, tidaklah lahir darinya kebijakan melainkan hanya berupa kenaikan pajak dan varian pajak baru. Kalaupun ada fasilitas infrastruktur yang dibangun tidaklah agar bisa dinikmati secara cuma-cuma melainkan semua harus berbayar. Memasung dan memangkas subsidi. Bahkan, segala macam bentuk musibah dari bencana alam hingga bencana penyakit Corona dianggap sebagai musibah biasa agar tidak ada tanggung jawab anggaran yang dikucurkan kepada korban dan segala bentuk pencegahan.
Begitulah mentalitas pengusaha kapitalis yang merangkap jadi penguasa. Ia hanya mau mengenyangkan perutnya sendiri, meski hal itu membuat perut jutaan rakyatnya kelaparan. Ia hanya ingin menyenangkan keluarganya, meski hal itu membuat banyak jutaan keluarga lain menjadi susah. Ia tidak peduli akan kerusakan yang ditimbulkan dari salah kelola pemerintahannya, yang penting cair karena masa jabatan hanya dua kali putaran maksimal.
Maka, marilah kita sudahi harapan terhadap politik demokrasi. Selama harapan itu masih ada, sejuta solusi yang bersumber dari Allah SWT tidak akan masuk dalam pertimbangan akal kita, perasaan kita. Jika kita inginkan ada perubahan, mulailah dari memupus dan mengubur harapan sedalam-dalamnya kepada politik demokrasi. Demikianlah kodrat yang harus kita jalani, sebagaimana yang difirmankan Allah SWT
إِنَّ ٱللَّهَ لَا یُغَیِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ یُغَیِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. [Ar-Ra'd 11]
0 Komentar