Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Korupsi Tiada Henti; ICW: Perlu Pembenahan Sistem di Segala Lini

 


Sepanjang 2010-2019 ICW mencatat 249 kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi dan 586 anggota DPR dan anggota DPRD yang tersangkut kasus korupsi. Data ini disampaikan oleh Almas Ghaliya Putri Sjafrina dalam diskusi virtual Pusat Kajian Analisis Data (PKAD), senin, 6 September 2021. 


Dalam insight #71 PKAD kali ini menyoroti kasus korupsi di Probolinggo dengan mengangkat tema, “OTT KPK di Probolinggo: Urat Nadi Korupsi Daerah Sudah Mewabah”. Hadir juga dua narasumber lainnya, yaitu Samsudin, Bupati LIRA Kab. Probolinggi dan Yuli Sarwanto, Direktur FAKKTA. 


Almas Sjafrina dari Indonesia Corruption Watc (ICW) membeberkan setidaknya ada dua faktor utama mengapa kasus korupsi seolah tiada henti terjadi di negeri ini. Yang pertama adalah karena sistem politik yang berbiaya tinggi. Ini adalah akar pemasalahan yang hingga hari ini belum terpecahkan. “Sudah menjadi rahasian umum bahwa untuk menjadi seorang kepala daerah bahkan untuk sekedar dicalonkan oleh partai dalam kontestasi pilkada itu menelan uang, modal, logistik yang besar”, ungkapnya. 


Khusus pada kasus korupsi bupati probolingo, Almas menyampaikan paling tidak ada 3 fenomena. Maraknya korupsi kepala daerah, mahar atau jual beli jabatan masih terjadi dan dinasti politik yang masih mengakar. “Dinasti politik ini mendatangkan masalah, baik itu lebih rentan terhadap perilaku koruptif atau pemerintahan yang tidak efektif”, tegasnya. 


Faktor kedua, mengapa kasus korupsi tidak pernah tuntas adalah karena hukuman kepada koruptor belum menjerakan dan belum berdaya cegah. Hukumannya belum berat atau belum setimpal dengan korupsi yang di lakukan. Almas menyontohkan dari 104 korupsi kepala daerah sepanjang 2014-2018, rata-rata vonisnya masih 6 tahun 4 bulan. ICW sanki apakah ini menjerakan dan berdaya cegah. “Karena kok sepertinya masih lebih banyak benefitnya daripada kerugiannya. Bahkan tidak hanya vonisnya yang rendah, tuntutannya saja rendah”, sesalnya. 


“Dan ini kan gambling sekali, belum tentu orang korupsi ketahuan. Yang kita sebut korupsi ini kan kalau sudah terbongkar. Kalau nggak ketahuan, bahkan kita, publik nggak berani untuk menyebut itu korupsi. Karena bisa mendapatkan ancaman entah itu pencemaran nama baik, fitnah dan lain-lain”, lanjutnya.


Belum lagi pidana tambahan seperti pencabutan hak politik, penerapan tindak pidana pencucian uang, dan lainnya Almas menilai masih sangat minim. Bahkan mantan narapidana korupsi leluasa masuk ke partai politik, mencalonkan diri dalam pilkada bahkan memimpin parpol. “Pencabutan hak politik, pemiskinan koruptor, itu merupakan gagasan yang penting. Jadi bagaimana agar penegakan hukum itu merugikan bagi koruptor”, tukasnya. 


Almas mengakui memang sudah ada program pemerintah dalam pencegahan korupsi. Tapi menurutnya hal tersebut belum serius dilakukan. Apakah semua program betul-betul diinternalisasi sistemnya dan dibangun di semua lini.


Almas menegaskan, yang perlu di kritisi adalah perbaikan dalam penindakan hukum dan pembenahan sistem. Bagaimana kita memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar mereka paham apa dampak menerima uang saat pemilu, ketika suara mereka di beli. Bagaimana agar parpol tidak menerapkan mahar politk. Bagaimana agar para calon politisi tidak mengambil kampanye instan melalui media, tapi membangun rekam jejak yang baik. “Jadi, perlu reformasi birokrasi, reformasi politik, reformasi dalam hal kepemiluan”, tutupnya.

Posting Komentar

0 Komentar