Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Makna “Politik Bejubah Agama” di Indonesia

 


Oleh Hanif Kristianto (Analis Politik-Media di Pusat Kajian dan Analisis Data)


   Sudut pandang politik demokrasi yang sekular, meniscayakan menghalalkan segala cara. Agama sebatas simbolik dan pemanis untuk meraih simpatik. Kedekatan dengan tokoh agama penuh dengan intrik dan dibumbui polemik. Tarik menarik dukungan pun kerap terlontar. Ketidakpahaman tokoh agama akan esensi demokrasi menjadikannya masuk dalam permainan politik. Kedekatan yang terjalin dimanfaatkan demi kepentingan sesaat.


  Umat Islam masih menjadi obyek ‘pesakitan’ dalam percaturan politik demokrasi. Kelompok keagaaman tradisionalis yang berada di akar rumput menjadi rebutan. Politisi sudah menyiapkan sabit untuk membabat habis dalam meraih dukungan. Komunikasi politik yang dibangun pun bersifat timbal balik. Politisi mendapatkan suara dengan mengeluarkan rupiah. Sedangkan umat mendapat sedikit pemanis rupiah yang setelah itu ditinggal begitu saja.


  Selayaknya umat Islam paham dengan berkaca pada sejarah dan perjalanan negeri ini. Umat Islam belum diberi panggung. Sekadar mengusung syariah Islam agar diterapkan dalam hidup bernegara, muncul pertentangan di mana-mana. Muncullah perdebatan panjang yang akhirnya umat Islam hanya mengisi ruang-ruang kosong spiritual.


Apa Makna Politik Berjubah Agama?


  Politik berjubah agama hanya muncul dalam kolam demokrasi. Keniscayaan ini bisa dipahami dari tingkah polah politisi menjelang pemilu. Jumlah konstituen masyoritas di Indonesia ialah muslim. Maka mengomunikasikan politik meraih dukungan disesuaikan dengan kondisi sosiologis keagamaan. Budaya mengikuti tokoh agama yang dianggap ‘manusia suci’. Surgo katut neroko nunut, seperti itu gambarannya.


  Lantas, apa makna dari politik berjubah agama?


Pertama, alam demokrasi yang sekularisme sebenarnya memisahkan agama dengan kehidupan. Politik kenegaraan dianggap urusan dunia, sedangkan agama menjadi urusan pribadi dengan Sang Pencipta. Muncullnya agapan ini akhirnya melahirkan politisi yang bisa berganti-banti wajah. Semua entitas disasar. Tokoh utama agama dipegang kepalanya dan dihembuskan janji manis angin surga.


Kedua, memanfaatkan pragmatisme umat. Umat islam yang mayoritas di negeri ini menganggap politik bukan ‘urusan saya’. Politik urusan mereka yang berada di atas kursi kekuasaan. Alhasil, rakyat sekadar aktif dalam pemilihan, namun melupakan koreksi dan kritik kebijakan.


Ketiga, umat dibodohi dengan istilah ‘politik itu kotor’. Hal ini wajar, sebab korupsi, kecurangan, keculasan, dan kerakusan rebutan jabatn dipertontonkan penguasa. Tak heran umat pun anti-pati bahkan menghindar ketika diajak berbincang politik. Kalaupun menggerutu karena ketidaksepakatan dengan kebijakan dzalim umat pun tak tahu solusinya. Sekadar obrolan dalam perjumpaan.


Keempat, jauhnya umat dari Politik Islam. Ini terjadi karena sekularisasi di dunia Islam. Tak hanya di Indonesia yang mayoritas, di belahan negeri muslim lainnya pun sama. Gelanggang demokrasi digelar sekadar mengelabuhi rakyat dengan janji manisnya musyawarah mufakat dan keadilan. Faktanya tidak demikian, malahan terjadi liberalisasi dalam lini kehidupan yang bertentangan dengan Islam.


Tetap Hati-Hati


 Pesan penting bagi umat Islam, saat ini waktu yang tepat untuk menyadari kerusakan demokrasi di segala bidang. Suatu kedzaliman besar terjadi tatkala umat jauh dari Islam dan ulama’nya. Ulama’ pun juga harus memahami politik Islam yang sahih agar tidak sekadar ikuti permainan demokrasi. Dianggap mendirikan partai berbasis dan bernilai Islam demi masuk gelanggang demokrasi sebenarnya mengikuti irama permainan politisi sekular.


  Sekali lagi, demokrasi tak akan memberikan penerapan syariah kaffah dalam kehidupan bernegara. Sebab asas demokrasi adalah sekularisme dan ditopang dengan liberalisme. Demokrasi pun dibajak oligarki demi kepentingan ekonomi untuk mengeruk harta dan kekayaan negeri ini.


  Alhasil, umat harus kembali mengkaji politik Islam yang bermkan mengurusi urusan umat. Baik dalam negeri ataupun luar negeri dengan syariah Islam. Kajian terhadap politik Islam ini bisa dijumpai di dalam kitab para ulama dan imam madzhab. Hakekat dari politik Islam sesungguhnya untuk mengurusi dunia dengan diterpkan syariah serta menjaga agama. Sangat mulia politik Islam! Tetap hati-hati dengan permainan politik berjubah agama ya!

Posting Komentar

0 Komentar