Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Berharap Keadilan Pada Sistem Hukum Berbasis Undang-Undang Produk Legislatif

 


Oleh: Dr Muh. Sjaiful, SH., M.H.

Indonesia Justice Monitor

Sistem hukum yang berbasis perundang-undangan tertulis, pada realitas kehidupan hukum negara-negara moderen saat ini, semisal Indonesia, tidak terelakkan. Model sistem hukum ini, hampir dipastikan menjadi idealitas bangunan sistem kehidupan masyarakat guna mewujudkan cita-cita keadilan serta jaminan semua orang sama di depan hukum atau equality before the law.

Fakta perundang-undangan, dengan mengambil contoh praktik pembuatan undang-undang tertulis di Indonesia, hampir dipastikan semuanya merupakan hasil produk politik dari kompromi politik para geng elitis yang duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Para geng fraksi di DPR tidak sendirian, sejatinya, harus melibatkan pemerintah penyelenggara negara. Legalitas Rancangan Undang-Undang baik inisiatif DPR maupun Pemerintah, tergantung persetujuan timbal balik kedua pihak. Jika hanya satu pihak setuju semisal DPR atau pemerintah saja, maka rancangan undang-undang yang diajukan menjadi batal untuk diberlakukan sebagai produk hukum yang mengikat warga masyarakat.

Keberadaan undang-undang tertulis sebagai kompilasi dari kehendak para elit politk di sentra-sentra kekuasaan, tentu saja, tidak bisa dipungkiri sebuah produk undang-undang memuat sejumlah pasal yang muatannya nyaris penafsiran subjektif para pembuatnya. Dalam sistem demokrasi yang meniscayakan kedaulatan ditangan rakyat, maka produk undang-undang sejatinya harus memuat substansi pasal-pasal yang mencerminkan aspirasi rakyat. Logika demokrasi menghendaki undang-undang tertulis wujud kedaulatan rakyat. Artinya, undang-undang yang mengabaikan kemaslahatan rakyat cuma berpihak kepentingan elitis, merupakan penyimpangan logika demokrasi. Vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan, demikian adagium dalam demokrasi.

Fakta undang-undang tertulis yang merepresentasikan suara kepentingan rakyat hanya utopia. Hampir dipastikan semua produk undang-undang tertulis, sangat konsen kepada kepentingan elitis dan pro oligarki yang membesarkan para elit politik menuju tampuk kekuasaan. Contoh paling gampang adalah Undang-Undang Cipta Kerja yang berlaku. Para pegiat sosial serta hampir semua lapisan masyarakat Indonesia, menolak legitimasi undang-undang cipta kerja. Sebuah produk undang-undang sejatinya cuma berpihak kepentingan elit kekuasaan dan para pemilik modal. Itu salah satu contoh.

Ada seabrek undang-undang tertulis mulai jaman kolonial sampai era milenal saat ini, ditenggarai memanipulasi kedaulatan rakyat. Keberadaan undang-undang tertulis tidak lain legitimasi otoritaniasme kekuasaan atau jastifikasi represif para oligarki terhadap rakyat, berimplikasi kesewenang-wenangan penguasa, rakyat kecil bahkan tidak tersentuh oleh nilai-nilai keadilan dalam perspektif semua orang sama didepan hukum.

Untuk itu, sulit berharap keadilan pada sistem hukum berbasis undang-undang tertulis, yang dalam proses pembentukannya melulu melibatkan para geng elitis di pusat-pusat kekuasaan, yakni DPR dan Pemerintah. Inilah yang yang menjadi titik kritis ajaran Islam terhadap produk undang-undang tertulis buah pikir manusia sebagai pengendali lembaga kekuasaan. 

Ajaran Islam yang menderivasikan hukum-hukum Islam sebagai wahyu berasal dari Sang Pencipta alam semesta, Allah Subhanahuwata’ala, memberikan jaminan semesta, sebagai hukum yang lebih baik, lebih unggul, lebih memberikan jaminan keadilan tanpa memandang status sosial. Jaminan Al-Quran dalam Surah al-Maidah Ayat 50 menegaskan “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?  

Sebuah episode penegakan hukum yang menggugah siapapun, penolakan Baginda Rasulullah membebaskan seorang anak perempuan Bangsawan Quraisy dari hukum potong tangan karena terbukti mencuri. Sabda Nabi SAW: “Kehancuran suatu bangsa lantaran jika seorang bangsawan diantara mereka mencuri hukum tidak ditegakkan tetapi kalau yang mencuri dari kalangan orang lemah atau miskin, niscaya hukum ditegakkan. Demi Allah seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri maka aku sendiri yang akan memotong tangannya”.

Sabda nabi itu mencerminkan nilai-nilai keadilan semesta yang dapat dipastikan sulit ditemukan dalam sistem hukum manapun diluar sistem hukum Islam. Tidak ada harapan lebih baik bagi umat manusia untuk memperoleh keadilan hakiki selain dengan menggunakan sistem hukum Islam.

Posting Komentar

0 Komentar