Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Gus Muhaimin The Next 2024: Go or Stop Now?


Oleh Hanif Kristianto (Analis Politik-Media di Pusat Kajian dan Analisis Data)


 Apakah penerimaan mandat Muhaimin Iskandar dari relawan dan pendukungnya di GOR Delta Sidoarjo (Sabtu, 6 Agustus 2022) untuk maju Capres 2024 bisa ditunaikan? Keinginan Gus Muhaimin (Ketua Umum PKB) untuk menjadi Capres bukan isapan jempol. Bergaining position PKB tatkala tawaran masuk koalisi dengan Partai KIB syarat Capresnya Cak Imin. Suatu hal yang wajar Ketua Umum ingin menjadi Presiden. Hal ini pernah dipraktikan Megawati Soekarno Putri dan Susiolo Bambang Yudhoyono.


  Kalaulah secara hitungan politik dan opini publik Ketua Umum tak masuk dalam bursa, maka petugas partailah yang akhirnya maju. Seperti halnya Joko Widodo, Ganjar Pranowo, dan Ridwan Kamil. Meskipun Prabowo Subianto (Ketua Umum Gerindra) sudah mencoba peruntungan dua kali dalam pilpres. Tampaknya keinginan maju sebagai capres masih ada. Wajar!


  Cak Imin bersama gerbong PKB di Jawa Timur ingin membuktikan dukungan penuh akar rumput. Jawa Timur juga sebagai basis NU. Akar rumput yang kuat ketika kyai panutannya mendukung calon tertentu. Akar rumput ini tinggal manut dawuh kyai. Tanpa perlu basa-basi. Bahkan, panitia pada acara Gus Muhaimin Festival 'The Next Presiden 2024' digelar di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, tak bisa melarang relawan memakai atribut NU.


Politik Jawa Timur


  Politik demokrasi yang saat ini berkembang telah memasuki demokrasi tak terkendali (undribled democracy). Upaya untuk membentuk politik yang menyatukan malah muncul kegagalan. Politik demokrasi yang berakar dari liberalisme meminggirkan peranan agama sebagai soko guru rakyat Indonesia. 


  Secara subkultural politik di Jawa Timur masih dalam kendali tokoh-tokoh umat. Khususnya Ulama’ dan kalangan pesantren. Jumlah santri dan masa mengambang di Jawa Timur inilah yang menjadi kue rebutan partai-partai besar. Rasanya belum afdhal jika ke Jawa Timur tidak ‘nuwun sewu’ ke ulama sebagai punjer umat.


  Tak hanya partai politik, lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, juga kalangan militer-kepolisian, juga memanfaatkan subkultural politik ini. Jawa Timur menjadi lumbung mendulang suara siapa pun yang ingin maju ke Jakarta. Peran strategis Jawa Timur tak bisa dikesampingkan dari percaturan politik nasional.


  Jadi, ketika bicara politik Jawa Timur sama saja bicara politik Nasional. Kondisi masyarakat Jawa Timur memang beragam. Hal ini bisa diamati dari beberapa aspek:


Pertama, bersatunya budaya lama dengan kehidupan modern. Tak ayal, budaya ini kerap dijadikan pintu masuk untuk merebut hati masyarakat bawah. Misalnya, dalam pagelaran Hari Ulang Tahun Partai digelar dengan pertunjukan Wayang atau Ludruk. Kepala daerah pun untuk mendapatkan legitimasi menjadikan ‘nguri-nguri budaya leluhur’. Berlepas apakah itu sejalan dengan aqidah umat atau tidak.


Kedua, masyarakat perantau dan berkomunitas. Siapa yang tak kenal Soto Lamongan atau Bakwan Malang? Di beberapa tempat bahkan di luar Jawa Timur pun menjamur. Konektivitas masyarakat perantau dengan daerah asalnya masih kuat. Penyebaran masyarakat ini menjadikan kekuatan lokal dan menasional. Mereka jug membentuk komunitas untuk menyatukan dan merekatkan satu sama lain. Tak ayal, masyarakat perantau yang suka berkomunitas menjadi daya referal untuk saling mengajak.


Ketiga, akar rumput yang taraf berfikir politik masih dalam tataran sederhana. Masyarakat Jawa Timur sebenarnya memahami siapapun yang jadi nasib mereka tetap sama. Kalaulah mereka terlibat sebagai relawan dan ikut kampanye, biasanya mendapatkan gula-gula dalam euforia elit politik. Kesederhanaan politik masyarakat Jawa Timur inilah yang terkadang disalahgunakan elit politik.


Peluang Gus Muhaimin?


  Akankah Gus Muhaimin bisa bertengger di bursa capres 2024? Secara hitungan politis, elektabilitasnya masih belum mencukupi. Apalagi Gus Muhaimin akan berhadapan dengan ‘big brother’. Gus Muhaimin sendiri pernah menegaskan jika ingin jadi Presiden butuh dana besar? Ini bukan isapan jempol. Mengingat dalam politik demokrasi, uang menjadi Maha Kuasa. Di sinilah kepentingan oligarki berkelindan.


  Kalaulah relawan Jawa Timur memberikan mandat maju pilpres 2024. Bukan berarti perjalanan Gus Muhaimin akan mulus. Sebab, seringnya beberapa calon kandidiat yang ada diterpa kasus. Kondisi inilah yang membuat kalut. Belum lagi tarik ulur antar partai yang merasa lebih besar dan miliki massa. Kenapa berat Gus Muhaimin maju pilpres?


Pertama, PKB tidak bisa berdiri sendiri. Komunikasi dengan partai politik juga harus dibangun. Persoalannya, ego partai terkadang lebih besar melebihi kepentingan untuk rakyat Indonesia.


Kedua, Tahun 2022 yang panas dengan politik memang bertebaran gambar wajah yang ditawarkan menjadi Capres. Jalan-jalan ramai dengan wajah politisi rindu berat jadi presiden. Entah karena memang relawan sudah bergerak atau sekadar ‘tes awal’.


Ketiga, Gus Muhaimin dalam Festival The Next 2024 di GOR Delta Sidoarjo mengungkapkan ingin merubah nasib rakyat. Khususnya nasib Nahdliyin dan Nahdliyat. Lebih khusus Jawa Timur. Mungkin di Jatim warga NU kuat, tapi di daerah lain butuh perjuangan untuk merebut hati umat.


Keempat, aktifis anti-korupsi dan LSM akan memanfaatkan isu korupsi untuk mengedukasi publik agar capres bersih. Selama ini, siapa pun Capres yang dijagokan tak lepas dari sorotan aktifis dan kelompok masyarakat. Khususnya isu korupsi yang sering menerpa pribadi, pejabat, atau oknum partai.


Pesan Kepada Umat


  Umat tak boleh berkubang dalam kebodohan politik. Perubahan nasib tidak sejalan dengan perubahan presiden. Berapa kali bangsa ini ganti presiden. Janji manisnya membius jutaan rakyat. Sayangnya, kemiskinan, kebodohan, korupsi, kriminalitas, dan polaritas bukannya menurun. Alih-alih keluar dari masalah, justru masih berkubang dalam masalah.


  Perubahan memang tidak sebatas pergantian orang. Lebih dari itu, harus diikuti dengan perubahan sistem yang berkeadilan dan sesuai dengan aqidah umat Islam. Untuk itulah, umat harus sadar. Selama politik demokrasi dijalankan dalam kehidupan, maka liberalisasi dan polarisasi terus menjadi-jadi. Umat akan bernasib sama. Tidakkah kita mengambil pelajaran dari yang sudah-sudah? Kini umat harus berharap pada politik Islam. Politik yang menyejahterahkan kehidupan dan membawa kemaslahatan. Inilah esensi kembali kepada syariah Islam.

Posting Komentar

0 Komentar