Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Terorisme di Indonesia: Kalah Narasi Menang Sensasi


Oleh Hanif Kristianto (Analis Politik-Media di Pusat Kajian dan Analisis Data)

Apa yang ada dibenak publik, jika tiba-tiba ada wanita bercadar bawa pistol mau masuk istana? Mungkin istana sedang dalam bahaya serangan teroris wanita. Lantas media pun latah menyorot peristiwa dengan penampilan aktor dari satu arah. Tuduhannya seirama: “TERORIS WANITA PENDUKUNG HTI, ISIS, DAN KELOMPOK RADIKAL. Begitu mudah menuduh tanpa di forum sidang terhormat yang berkekuatan hukum.

Jika mau jujur, publik akhirnya tak percaya 100% Indonesia darurat terorisme. Narasi dan argumen yang dibangun selama ini sudah runtuh. Sebab faktanya berbeda dengan di lapangan aslinya. Coba bayangkan, wanita berpistol yang membawa KTP Bandar Lampung ternyata bukan nama aslinya. Bahkan nama sesuai KTP itu aktif menjadi guru di sekolah dan tak ke Jakarta. Seabrek argumen yang dibangun satu arah, tak meyakinkan publik begitu saja. Publik sudah cerdik.

Peristiwa terorisasi di Indonesia lebih sekadar sensasi. Berlepas apakah habiskan dana atau ingin menjalankan skenario global War On Terorrism (WOT) dan War On Radicalism (WOR). Ujung dari itu semua bisa ditebak, jika muncul masalah besar yang melibatkan pejabat negara dan menurunkan kepercayaan publik, berita teroris layak jadi headline news. Sementara itu penguasa lupa jika setiap hari rakyat diteror dengan kebijakan yang tak memihak rakyat. Misalnya, kenaikan harga BBM, penarikan pajak di mana-mana, keamanan yang hilang di publik, pendidikan yang tak mencerdaskan, predator seksual berkeliaran, kriminalitas yang tiada batas, dan lainnya.


Kalah Narasi


Seseorang yang diduga teroris ternyata bisa bermetamorfosa mengikuti zaman. Jika kemunculan WOT pada 2001 pasca runtuhnya WTC di Amerika, banyak teori bermunculan. Mulanya konspirasi, infiltrasi, ekfiltrasi, dan radikalisasi yang berujung pada tuduhan kelompok tertentu. Sebut saja, Al-Qaidah. AS akhirnya sekuat tenaga dan jiwa dagangan Teroris ke negara-negara di dunia, khususnya dunia Islam. Sontak Indonesia pun diikuti dengan Bom Bali 1 dan 2. Lahirlah UU Anti Terorisme.


Narasi yang dibangun Gorge W. Bush yang terkenal ialah “EITHER YOU WITH US OR WITH TERORRIST”. Menguatkan sinyal bahwa AS berada di garda depan dan akan menunjuk mudah kalau tidak bersama AS berarti bersama teroris.  Setali tiga uang PM Inggris Tony Blair juga mengungkapkan “Satanic Ideology” dan mengecam tindakan teror di dunia. Lantas, narasi mereka apa tepat? Faktanya, mereka melakukan serangan di Irak dan Afhghanistan. Jutaan umat Islam pun jadi korban. Bukankah ini pembunuhan massal dan melebihi jumlah korban WTC? Lantas tak ada yang menyebut mereka the real terorrist?


Pun di Indonesia demikian, jika awal aktifitas yang diduga teroris dengan meledakkan bom di hotel dan kedutaan besar. Paling menonjol di Legian Kuta Bali oleh Amrozi dan Imam Samudera CS. Kemudian bom pun berubah bentuk menjadi Bom Panci, Bom Gereja, dan Bom lainnya. Pelaku yang diduga teroris pun tidak beraktifitas kelompok, malah mandiri seolah siap mati.


Pemerhati teroris di Indonesia akhirnya bermunculan, khususnya dari kalangan akademisi yang terbeli. Kemudian menyasar ulama dan kyai di pesantren. Program deradikalisasi dicanangkan menyasar lembaga pendidikan. Da’i, khatib, dan penceramah diminta menyampaikan Islam ramah sesuai kepentingan proyek deradikalisasi. Narapidana Teroris yang akhirnya taubat pun menjadi mitra penguasa.


Narasi deradikalisasi akhirnya beranak jadi moderasi. Kemudian sosialisasi ke semua dengan model tembakan ke segala arah. Istilah radikal yang awalnya untuk teroris pun masuk ke dalam isu politik dalam perhelatan pemilu. Alhasil narasi terorisme, radikalisme, deradikalisasi, dan moderasi kalah narasi. Hal ini karena beberapa hal:


Pertama, tudingan yang dialamatkan kepada kelompok tertentu yang diduga radikal dan terlibat terorisme pun tak berdasar. Apa ya mungkin setiap tindakan terorisme langsung dialamatkan ke ISIS, Al-Qaidah, Hammas, dan lainnya. HTI yang santun dan intelktual pun disasar. Lantas, bagaimana mereka yang melakukan aktifitas terorisme bukan dari Islam? Kelompok mana yang dijadikan sasaran tuduhan teroris?


Kedua, bangunan narasi intelektual dalam deradikalisasi dan moderasi sangat rapuh. Terkadang dalil yang digunakan pun tak utuh. Maunya Islam ramah dan rahmah, tapi malah mempromosikan Islam yang dikehendaki Barat dan keluar dari syariah Islam kaffah.


Ketiga, ketika muncul peristiwa yang diduga terorisme langsung ada yang tertuduh dan terbunuh. Hukum yang katanya jadi panglima faktanya jadi keset dan babu. Martabat hukum diinjak-injak dan lebih menonjolkan arogansi. Publik akhirnya bisa menebak, jika ini pengalihan isu. Lalu menganggap peristiwa ini sinetron yang disutradarai penuh rekayasa.


Keempat, peristiwa yang diduga terorisme muncul ketika persoalan bangsa mencuat hebat, terkadang menyeret lingkaran istana dan punggawanya. Ini bukan satu atau dua kali, bisa dibilang berkali-kali. Menjelang hajatan politik demokrasi yang dianggap tidak otoriter dimunculkan kalau kelompok radikal akan ikutan kontes pemilihan umum. Nyambungnya di mana?


Kelima, hal paling menonjol ialah kekalahan intelektual ketika umat rindu diatur Islam. Islam dan uamatnya yang sudah diberikan berkah dengan syariah coba dihadang kebangkitannya. Sejatinya mereka melawan Allah dan Rasul-Nya. Hasilnya tak akan mampu dan aib-aib mereka akan terbuka satu persatu.


Kekalahan narasi inilah yang akan meruntuhkan marwah penguasa di hadapan rakyatnya. Menambah luka jutaan umat manusia karena mengalihkan fokus rakyat yang ingin peduli dengan urusan bangsa. Menimbulkan kecurigaan yang berlebihan dan Islamophobia sesama anak manusia. Makar-makar kepada Islam pun akan berbalas dengan keruntuhan dan ketiadaan kepercayaan.


Menang Sensasi


Sensasi inilah yang menarik dalam pemberitaan terorisme di Indonesia. Beritanya dibuat viral untuk menarik simpatik. Persoalan data benar atau salah tangkap urusan belakangan. Tak ada namanya profesionalitas, yang ada personalitas untuk naik jabatan cari keuntungan. Sensasi diciptakan di tengah ketidakpastian. Jujur diakui persoalan bangsa bukan karena terorisme. Rakyat sudah cerdas bahwa Indonesia sebenarnya aman dan nyaman. Rakyat hanya ingin dicukupi kehidupannya dan kesejahteraannya. Dijamin sandang, pangan, papan, kesehatan, keamanan, pendidikan, dan lainnya.


Gebyar sensasi inilah yang memunculkan narasi baru. Begitu mudah mencari kambing hitam kepada umat Islam. Sensasi ini menutupi kekalahan narasi yang sedikit demi sedikit terbongkarlah aib. Bisa diprediksi ke depan, terorisme Indonesia ceritanya sama. Pemerannya boleh berbeda, tapi cara-caranya itu saja. Membosankan dan membasikan. Rakyat tak butuh itu semua. Pikirkan nasib perut rakyat. Karena urusan perut lebih patut, daripada teroras-teroris yang akhirnya dagangannya tak laris.


Peristiwa terorisme kekinian di Indonesia hendaknya menyadarkan umat manusia. Islam tak mengajarkan kekerasan dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Islam telah sempurna memandu umatnya hidup dalam berkah dengan syariah. Islam mendorong umatnya untuk mengoreksi penguasa jika salah, cukup dengan kata bukan senjata. Islam mendorong umatnya mendukung penguasa jika menerapkan syariah kaffah. Ini juga menjadi tanda kekalahan musuh Islam dan kebangkitan Islam di Indonesia yang tak lama lagi.[]

Posting Komentar

0 Komentar