Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Road to 2024 (6): The Jokowi Code



Oleh Hanif Kristianto (Analis Politik-Media di Pusat Kajian dan Analisis Data)


  Presiden Jokowi masih ingin menunjukkan gigi politiknya. Kode-kode dilontarkan ke publik. Semua mencoba menafsirkan kode itu dari sisi politik. Memang unik model politik Presiden Jokowi. Sejak awal didapuk sebagai petugas partai kinerjanya di bawah bayang-bayang PDI-P. Lebih kerasnya lagi, mahasiswa melontarkan kritik “The King Of Lips Service” dan “The Guardian of Oligarch”. 


  Sekilas Jokowi ingin menghindar dari segala tuduhan politik yang tak baik. Misalnya, wacana tiga periode, penundaan pemilu, dan keterkaitan dengan suksesi kepemimpinan nasional presiden. Beberapa sesi Jokowi menyangkal. Alhasil akhirnya muncul kode siapa yang layak dipilih jadi presiden ke depan. Seolah ini menunjukkan Jokowi memiliki bargaining dalam politik nasional Indonesia. Padahal, perpolitikan Indonesia tak lepas dari cengkraman oligarki, politisi komparador, ketua umum partai politik, dan lingkaran relawan yang menunggu jatah jabatan.


  Cukup mengagetkan jika ciri-ciri Presiden sebatas tampilan fisik. Semisal rambut putih merujuk pada Hatta Rajasa, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo. Kemudian wajahnya berkerut sebab mikirin rakyatnya. Jika dinilai dari komunikasi politik ini nilainya rendah. Sebab persoalan kepemimpinan bukan semata orang, tapi juga gerbong sistem yang akan diterapkan.


  Kode-kode Jokowi ini pun akhirnya diamini relawan yang siap hidup-mati mendukung Jokowi. Sebuah manuver politik dalam dukung mendukung yang belum ada sebelumnya. Sebab relawan ini tidak memiliki struktural dalam kepengurusan partai politik. Lebih mencengangkan lagi adakah relawan yang selama ini bergerak tanpa pendanaan dari donor? Lantas pergerakan meraka pun tak terkontrol. Hanya memanfaatkan kursi kekuasaan basah di jabatan strategis.


Kenapa Berkode?


  Politisi dalam politik demokrasi suka bermanuver dengan permainan kode. Kode ini semisal pesan terselubung dalam bentuk yang mendukung. Ketidakjelasan penyebutan juga untuk mengacaukan persepsi publik terhadap satu sosok. Bisa jadi saat ini mendukung rambut putih. Suatu hari nanti berbelok mendukung rambut hitam dan berprofesi dari dunia pendidikan.


  Sudah jamak di tengah pesta kontestasi politik, politisi mudah berubah wajah. Apakah itu mempolitisasi agama atau mencoba sama dengan calon pemilihnya. Ini semua demi suara yang akan mengantarkan ke Istana Negara. Hal ini dilakukan dengan suka rela. Wajah manis ditampilkan sedemikian rupa, tapi ketika berkuasa kebijakannya merugikan rakyatnya.


  Kemunculan kode-kode dari Presiden Jokowi ini menyiratkan beberapa hal:


Pertama, komunikasi politik kepada rakyat selama ini masih belum berarti. Rakyat sudah kenyang janji-janji politisi. Pemenuhan rakyat sebatas materi. Miskin nutrisi untuk menjadikan rakyat cerdas politik.


Kedua, kode ini sebatas trik dan intrik. Berselancar dalam gejolak opini publik untuk meramaikan bursa calon presiden. Intrik ini juga untuk mejauhkan diri dari sikap seolah ingin berkuasa dan memperpanjang jatah periodenya. Bak pesulap, trik dan intrik ini bisa jadi berubah menjadi opini publik yang diyakini bahkan dimanuti.


Ketiga, pernyataan ketika masih menjabat sebagai Kepala Negara bisa jadi ini penyelewenggan kekuasaan. Sangat sulit untuk memisahkan mana kepentingan pribadi dan mana kepntingan rakyat. Sebab label jabatan dibawa ke mana-mana. Kondisi inilah yang sering dimanfaatkan. Aji mumpung sebelum rampung.


Keempat, kode ini muncul tatkala kebodohan politik merebak di tengah rakyat. Jika sebelumnya “don’t judge book by cover” (jangan nilai buku dari sampulnya). Sekarang diminta menilai orang dari wajahnya. Meniadakan karakter, sifat, visi-misi, berdikari, dan unsur leadership dalam kenegaraan. Memilih pemimpin berarti memilih orang terbaik yang mampu menjalankan nahkoda Indonesia.


Kelima, politisi yang berkarater minim sikap kenegarawanan. Tak berani menunjukk dirinya, tapi menunjuk lainnya. Jika unsur yang tampak itu jadi nilai dan standar, maka tentu dirinya jauh api dari panggang. Ini bisa membelokkan aspirasi rakyat yang ingin perubahan kebaikan.


  Karena itu, publik harus hati-hati memahami kode ini. Sudah cukup rakyat ini dipermainkan dalam kode yang membahayakan. Jadi, rakyat harus mencerdaskan diri secara politik dan memfilter apapun yang dilontarkan poltisi yang berniak tidak baik.


Rakyat Tidak Butuh Kode


  Apa sejatinya yang diinginkan rakyat dari seorang pemimpin negara? Tentu kepedulian dan sikap welas asihnya. Rakyat diurusi secara baik dengan mencukupi sandang, pangan, dan papan. Rakyat dimuliakan dengan pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis tanpa memandang kaya atau miskin. Sebab, semua adalah rakyat selama itu dalam wilayah negara. Rakyat kan juga manusia.


  Di sisi lain, rakyat juga perlu memiliki standar yang sahih berkaitan dengan kepemimpinan. Kode yang sebata fisik itu sebenarnya tiada nilai. Justru akan bernilai jika dikaitkan dengan sistem apa yang akan diterapkan dalam kenegaraan dan berkebangsaan. Jika sistem yang dibawa itu salah, seperti kapitalisme-demokrasi liberal dan sosialis-komunis, rakyat akan menelan pil pahit kembali.


  Berkaitan dengan kepemimpinan maka ada dua sisi: orang dan sistem. Hal ini yang jarang sekali dibahas lebih mendalam. Jika orang baik dan sistem baik (Islam) hasilnya pun membawa keberkahan. Sebaliknya jika orang buruk dan sistem buruk hasilnya pun membawa kemadharatan. Selain itu, pemimpin juga harus bebas dari segala macam intervensi partai politik, oligarki, relawan, dan yang berkepentingan. Pemimpin harus berdikari. Poin penting ialah bertaqwa, manut Allah dan Rasul-Nya. Jika ke depan kepemimpinan Indonesia mampu menerapkan syariah kaffah inilah kode baik Indonesia Hebat dan Berjaya.

Posting Komentar

0 Komentar