Oleh Hanif Kristianto (Analis Politik-Media di Pusat Kajian dan Analisis Data)
PDI-Perjuangan tak ingin melepas cengkramannya di Jawa Timur. Banyak kadernya yang menjadi kepala daerah, namun belum sempat menempatkannya menjadi Gubernur. Semenjak Pilkada langsung, Gubernur Jawa Timur dari Demokrat melalui sosok Soekarwo selama dua periode. Berlanjut Khofifah Indarparawansah yang didukung PPP, Golkar, Nasdem, Demokrat, dan Hanura. Kali ini, PDI-P mecoba peruntungan dengan menjodohkan Khofifah dengan Eri Cahyadi, Walikota Surabaya.
Di sisi lain, loyalis Khofifah di Pilgub Jatim 2018 menginginkan maju sebagai capres 2024. Pilihan menggiurkan antara lanjut sebagai Gubernur atau Presiden Indonesia. Seandainya Khofifah menjadi Gubernur DKI Jakarta, tentu tiket menuju RI-1 akan lebih mudah. Hal ini sudah dibuktikan Joko Widodo, menyusul Anies Baswedan. Kalaulah tidak bisa capres, minimal Khofifah dapat tiket cawapres.
Sosok penting dibalik perjodohan Khofifah-Eri ialah Hasto Kristyanto. Hasto telah mengumpulkan kepala daerah kader PDI-P se-Jatim. Muncul pula desas-desus seolah Wagub, Emil Dardak (Demokrat) tak lagi sejalan dengan Khofifah. Kondisi ini pun ditepis Emil. Posisi Emil masih terlalu dini untuk menjadi Gubernur. Belajar dari Gus Ipul yang baru maju sebagai Cagub di Pilgub 2018, setelah dua periode menjadi Wakil Gubernur Pak Dhe Karwo. Khofifah sendiri baru bisa menjadi Gubernur setelah tiga kali ikut kontestasi pilgub.
Kenapa Desas Desus Berhembus?
Partai Politik di Indonesia masih menjadi sebuah kerajaan setara dengan negara. Kekuatannya mampu menentukan siapa saja yang akan maju menjadi Bupati, Wali Kota, Gubernur, hingga Presiden. Hal ini tidak terlepas dari ‘tongkat sakti’ Ketua Umum Partai. Terlebih jika partai itu penguasa, maka seolah berada di atas awan bagi siapa saja yang mau dapat rekomendasi politik.
Lucunya, demi kepentingan memenangi kontestasi bersatu padu di awal. Di pertengahan kerap berseteru karena beda visi misi dan kepentingan. Ada yang merasa seolah lebih berjasa dan banyak kinerjanya. Di sisi lain, komunikasi politik yang dibangun akhirnya sebatas di bibir. Menampakkan rasa tak suka pun tak tertutup tabir.
Pola politik demokrasi di Indonesia kerap memunculkan desas desus. Keretakan di tengah jalan menjadi manuver merubah haluan di pemilu depan. Hal ini dikarenakan beberapa hal:
Pertama, partai politik memiliki wewenang penuh dalam mengontrol kadernya. Garis komando dari partai menjadi arahan tertinggi. Seperti yang pernah terjadi pada Risma mantan walikota Surabaya yang akhirnya didamaikan Megawati Soekarno Putri. Jika kali ini Khofifah-Eri masih menjadi wacana seolah menelikung peran Emil selama ini mendampingi Khofifah.
Kedua, kepentingan abadi Partai Politik. Aji mumpung berkuasa kerap dimanfaatkan partai politik untuk menancapkan hegemoninya. Seolah negara ini di bawah ketiak partai politik. Padahal pemilik sah kekuasaan ini rakyat. Partai politik sekadar fungsi untuk menghadirkan calon-calon negarawan. Sayangnya, peranan itu hilang fungsi dan jauh dari harapan rakyat.
Ketiga, komunikasi antar politisi selama ini dibangun dalam kepentingan jangka pendek. Sedikit ditemui demi kepentingan rakyat jangka panjang. Apalagi memikirkan nasib rakyat biar bisa hidup enak, aman, tentram, dan damai. Hubungan komunikasi kepada rakyat dibangun sebatas menjelang pemilu. Setelah itu, politisi sibuk mengamankan diri. Berebut pengaruh dan relasi. Serta menyiapkan amunisi untuk maju kembali.
Alhasil, rakyat yang selama ini disuguhi akrobatik politik sebatas melihat dari kulitnya. Tanpa tahu apa yang diinginkan politisi bersama kelompoknya. Nasib rakyat selalu tak mujur dalam sistem demokrasi kufur. Rakyat selalu dikorbankan untuk masa depan cerah politisi yang rakus kuasa.
Dipikir Keri?
Setidaknya, perjodohan Khofifah-Eri ada hal lain maksud PDI-P untuk mengamankan suara dukungan Pilpres 2024. Jawa Timur masih menjadi lumbung suara PDI-P di Jawa selain Jawa Tengah dan daerah lainnya. Kalaulah Khofifah tak maju jadi Cawapres melalui PDI-P, paling tidak ada tiket maju Pilgub 2024.
Dipikir keri (dipikir belakangan) kerap dilakukan politisi untuk mengunci beberapa posisi. Yang penting di awal aman, selanjutnya dipikir kemudian. Ini juga menjadi sinyal bagi rival politik jika ingin maju dalam pertarungan pemilu ke depan.
Sebaliknya, rakyat tak boleh tinggal diam. Politik demokrasi kerap memberikan angin surga yang menyesakkan dada. Rakyat harus melek sedini mungkin bahwa bidak politik yang dimainkan sekadar berebut remah-remah kekuasaan. Sedikit sekali yang peduli kepada rakyat. Apalagi mereka mementingkan kelompok, elit kekuasaan, dan lingkaran oligarki politik.
Oleh karena itu, jika rakyat ingin terbebas dari belenggu politik demokrasi jahat, ada politik Islam. Politik yang berlandaskan aqidah Islam yang menuntut pejabatnya menerapkan syariah kaffah. Politik yang bermakna mengurusi urusan umat baik dalam negeri maupun luar negeri. Politik yang tak hanya mengurusi dunia, tapi juga menjaga agama. Pilihan ada di tangan umat, mau tetap sekarat dengan demokrasi yang penuh karat? Atau kembali kepada Politik Islam yang menyelamatkan umat? Untuk urusan ini jangan dipikir keri, tapi harus ada aksi sekarang ini.
0 Komentar