Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Aduh, Kenapa Bupati Bangkalan Kembali Ditangkap KPK?


Oleh Hanif Kristianto (Analis Politik-Media di Pusat Kajian dan Analisis Data)


Bangkalan selalu punya cerita menarik. Dibalik dinasti politik yang dibalut kekuatan otoriteristik. Siapa yang tak kenal dengan karakter, budaya, dan watak masyarakat Bangkalan yang masih di pulau Madura. Tak banyak yang berani bersuara berkaitan dengan dugaan korupsi. Aktifis anti korupsi yang berkoar-koar pun diburu dan pernah mendapatkan tembakan di tubuh.


Masih teringat, Fuad Amin Imron, mantan Bupati Bangkalan yang menjabat pada periode 2003 sampai 2013. Fuad Amin adalah narapidana kasus suap dan pencucian uang. Dia meninggal di Rumah Sakit Sutomo Surabaya, Jawa Timur, pada 16 September 2019 pada usia 71 tahun. Saat meninggal, Fuad Amin masih menjalani masa hukuman 13 tahun penjara akibat kasus suap dan pencucian uang. Dia juga dijatuhi hukuman denda Rp 1 miliar.


Terbaru, Bupati Abdul Latif Imron ditetapkan tersangka oleh KPK berkaitan kasus dugaan suap lelang jabatan di Kabupaten Bangkalan pada akhir Oktober lalu. Selain ditetapkan tersangka, dia juga dicekal ke luar negeri selama 6 bulan. Kini, Bupati Bangkalan sudah diterbangkan ke Jakarta untuk dimintai keterangan lebih lanjut oleh KPK.


Bangkalan Jadi Cerminan


Apa peristiwa lelang jabatan, penyelewengan kekuasaan, suap, pencucian uang, dan mark up pengadaan barang hanya terjadi di Bangkalan? Faktanya ini hampir merata di beberapa daerah. Terkadang upaya korupsi bersembunyi dibalik imbalan terima kasih, dilindungi konstitusi dengan utak atik aturan dan angka, hingga persengkokolan jahat uang ditilap.


Bangkalan jadi cerminan, bagaimana politik demokrasi telah memangsa kepala daerah menjadi pesakitan KPK. Demokrasi membawa turunan penyakit menyuburkan korupsi di mana-mana. Untuk jadi Bupati tak cukup ganteng dan lincah, butuh uang untuk biaya lainnya. Apa sih yang tidak ada uangnya di balik kemegahan pesta tahunan dalam pemilu, pilpres, dan pilkada?


Publik pun bertanya, kenapa terus berulang Kepala Daerah diduga korupsi dan tertangkap KPK? Inilah beberapa analisisnya:


Pertama, individu kepala daerah atau pejabat saat ini terlihat melayani rakyat ketika disorot kamera dan di depan rakyat. Sebaliknya, ada ruang-ruang kosong dan gelap yang hanya diketahui empat mata untuk melakukan tindakan tak terduga. Anggapan tidak ada yang tahu atau saling menutupi menjadi perjanjian suci. Ini menggambarkan jika sekuat apapun pejabat jika tidak teguh kuat memegang iman, maka jatuhnya pada kemaksiatan.


Kedua, sistem demokrasi telah membunuh jutaan nurani. Harga demokrasi terlalu mahal untuk bisa hasilkan pejabat yang kredibel. Ujungnya lahir pejabat nakal. Idealisme tergerus. Niatan suci untuk menolong rakyat yang papa, berakhir tragis di penjara. Demokrasi yang berasas pada sekularisme (pemisahan agama dan kehidupan) menolelir segala penyimpangan. Demokrasi tak mengenal dosa dan pahala. Tak menjanjikan surga dan neraka. Sebab desain demokrasi dijalankan untuk memuaskan nafsu kuasa. Melepaskan kata hati lebih pada menuruti kata nafsu. Sistem demokrasi telah menjebak umat Islam dan akhirnya mengotakkan dalam lingkaran setan penuh tipu daya.


Ketiga, aktifis anti korupsi yang selama ini fokus membongkar praktik dugaan korupsi di daerah kerap mendapat intimidasi. Ruang edukasi kepada publik cenderung dibatasi. Tak jarang mereka dihantui sikap-sikap premanisme yang mengatasnamakan pejabat. Baik melalui pihak resmi ataupun bayaran.


Keempat, hilangnya amar ma’ruf nahi munkar. Korupsi dan penyelewengan kekuasaan bentuk kemunkaran. Tak banyak yang berkekuatan untuk mengoreksi dan meluruskan. Meski demokrasi menjunjung tinggi kebebasan, tapi tidak bagi pengkritik yang penuh ancaman. Peran amar ma’ruf nahi munkar tak hanya di pundak ulama, kyai, dan tokoh agamawan. Rakyat juga memiliki tanggung jawab yang sama. Ulama, kyai, dan agamawan selain fokus mengajak pada ketaatan juga perlu memberi peringatan kepada penguasa. Bukankah ini jihad akbar agar rakyat terbebas dari perilaku jahat penguasa?


Kelima, korupsi bisa dalam bentuk dan ragamnya, namun ujungnya uang sebagai modal biaya politik. Kesempatan berkuasa sering dijadikan untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya. Pikiran kapitalisme telah merasuki jiwanya. Berlepas dari latar belakang pendidikan, sosial keagamaan, atau lingkungan. Jiwa kapitalisme yang rakus inilah membutakan penguasa lebih mencintai dunia dan takut mati, daripada mencintai rakyatnya sepenuh hati dan takut pada Allah dan Rasul-Nya.


Karenanya, selama lingkaran politik demokrasi yang mahal dijalankan dalam pemerintahan, maka sulit menemukan penguasa yang siap hidup-mati demi rakyatnya. Kalaupun ada itu pun satu, dua, tiga, dan bisa dihitung dengan jari. Ini menjadi pelajaran penting bahwa kehidupan yang memisahkan agama dari negara telah menghasilkan kerusakan demi kerusakan.


Bagaimana dengan Rakyat?


Rakyat sebagai pemilik sah kekuasaan seharusnya tak boleh lupa. Rakyat memiliki energi yang tak dipunyai penguasa durjana. Gerakan rakyat yang ditopang oleh opini publik mampu menggulingnkan kekuasaan jahat. Reformasi 1998 sudah menjadi bukti, bahwa gerakan ekstra parlemen mampu mengakhiri kekuasaan Presiden Soeharto.


Dari penangkapan Kepala Daerah tersangka korupsi rakyat juga bisa belajar, kalau rakyat tidak bergerak maka Allahlah yang akan memberikan jalan. Bagaimana dinasti politik itu dibangun ternyata untuk menutupi kejahatan politik sebelumnya. Cepat atau lambat Allah akan membuka aib penguasa. Di sisi lain, rakyat juga harus bersuara dan lantang dalam perubahan.


Oleh karena itu, berharap pada hukum negeri ini tampaknya jauh panggang dari api untuk memberantas korupsi. Hanya berharap pada hukum Allah, manusia itu akan tahu diri dan tahu rasa, jika syariah Islam itu akan membawa berkah. Mencegah segala bentuk kejahatan. Menyejahterahkan manusia dalam kehidupan. Maka perjuangan politik untuk perubahan tidak bisa ditawar lagi. Politik Islam menjadi jawaban penting di tengah kehidupan politik Indonesia yang genting. Sebab makna politik Islam itu mengurusi rakyat keseluruhan dengan penerapan syariah Islam kaffah, baik dalam negeri maupun luar negeri. Pemimpin yang terpilih pun taat pada Allah dan Rasul-Nya. Menyadari jabatan adalah amanah yang dipertanggungjawabkan di dunia dan akhiratnya. Apakah Anda termasuk orang yang mau berfikir?[]

Posting Komentar

0 Komentar