Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Ekonomi Biru Untuk Kepentingan Siapa?


Oleh : Meltalia Tumanduk


Saat ini blue ekonomi atau ekonomi menjadi program bagi dunia. Ekonomi biru dianggap menjadi potensi ekonomi yang bisa digunakan untuk pemulihan pasca pandemi Covid-19. 


Kecamatan Pulau Maratua, salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Berau Kaltim terpilih menjadi pilot project pengembangan ekonomi biru. Menindak lanjuti hal tersebut, pada pertengahan bulan Februari ini Kabupaten Berau kedatangan Duta Besar (Dubes) Seychelles, Nico Barito, utusan khusus Presiden Seychelles untuk ASEAN, yang diikuti dua peneliti dari Inggris untuk membantu Kabupaten Berau mengembangkan ekonomi biru tersebut. Dimana sebelumnya sudah terjadi kerjasama keduanya dalam pengembangan sektor pariwisata yang ada di Pulau terluar Indonesia tersebut. 


Pengembangan Ekonomi Biru di Pulau Maratua


Bank Dunia menyatakan ekonomi biru adalah pemanfaatan sumber daya laut yang berwawasan lingkungan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan, dan mata pencaharian sekaligus pelestarian ekosistem laut.


Adapun program ekonomi biru yaitu meliputi perluasan kawasan konservasi laut sebagai ekosistem blue carbon, penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota, pengembangan budidaya laut, pesisir, dan darat yang ramah lingkungan, serta penataan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil untuk menghindari kerusakan akibat tingginya aktivitas ekonomi.


Sebagai Negara Maritim yang memiliki potensi perikanan dan kelautan yang berlimpah, maka tidak heran jika program blue economy atau ekonomi biru penting untuk Indonesia. Tercatat nilai sektor perikanan Indonesia mencapai US$ 29,6 miliar, setara dengan 2,6 persen PDB Indonesia. Negeri ini juga berada di urutan kedua penghasil ikan terbesar di dunia setelah Republik Rakyat Tiongkok (RRT). 


Selain itu, laut Indonesia juga memiliki bagian terbesar Segitiga Terumbu Karang yang menjadi habitat 76 persen dari seluruh spesies terumbu karang dan 37 persen dari seluruh spesies ikan terumbu karang dunia. Dimana nilai ekosistem terumbu karang bagi ekonomi dunia adalah mencapai USD172 miliar. (kadin.id) 


Oleh karena itu, pengembangan program ekonomi biru di pulau Maratua dengan memanfaatkan sumber daya alam (SDA) berupa mangrove, terumbu karang dan lamun. Yakni dengan menjaga kawasan tersebut sebagai ekosisten  blue carbon dan pengembangan sektor pariwisata. 

Kepulauan Maratua mempunyai nilai khusus karena terletak di Zona Coral Triangle (ZCT). Ini menjadi tantangan bersama untuk mewujudkan economy carbon agar dikelola secara maksimal untuk membangun perekonomian daerah. 


Secara teori, terumbu karang menghasilkan 11 kali lebih tinggi dalam mengurangi emisi karbon dibanding dengan hutan tropis. Sehingga melimpahnya potensi terumbu karang di Kabupaten Berau diharapkan mampu menjadi sumber pendapatan daerah, bahkan secara nasional. Seperti diketahui, Kaltim menjadi satu-satunya provinsi yang berhasil mendapatkan dana hibah dari bank dunia. Karena telah berhasil mengurangi emisi karbon dari hutan tropis. 


Karenanya, untuk melakukan pengusulan tersebut harus dilakukan penelitian terlebih dahulu. Terkait jumlah terumbu karang di Kabupaten Berau, jenisnya apa saja, dan berapa banyak potensi sumber daya yang bisa menangkap karbon, sehingga mampu menyelamatkan dunia. Titik-titik yang menyimpan potensi tersebut juga perlu dipetakan. Sehingga pemkab Berau dibantu oleh Negara Syechelles dan partner of James Michel Foundation Syechelles untuk meneliti hal tersebut. Jika sudah diketahui potensi tersebut, harapan kedepannya karbon bisa dijual ke negara-negara yang membutuhkan. 


Ekonomi Biru Penjajahan Negara Maritim Para Kapitalis


Kebijakan ekonomi biru memang tampaknya mampu menjadi solusi untuk mengatasi problematika yang saat ini sedang dihadapi oleh Indonesia khususnya yang mencari alternatif lain sebagai sumber pemasukan negara dan 

dunia pada umumnya. 


Namun menurut kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Focal Point for Corporate Accountability (IFP) menganggap agenda Tata Kelola Ekonomi Biru Global yang dibahas dalam Konferensi Laut Global PBB akan semakin mendorong perampasan ruang laut dan mengancam keberlanjutan hidup masyarakat, khususnya yang tinggal di pesisir dan masyarakat adat. (Betahita.id, 2022) 


Tentu kita tidak bisa menutup mata, bahwa nelayan sebagai ujung tombak pemanfaatan sektor bahari, adalah kalangan ekonomi bawah. Mereka miskin. Ini sungguh ironi. Menurut data BPS (2018), setidaknya 20 sampai 48 persen nelayan dan 10 hingga 30 persen pembudidaya tergolong miskin.


Ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi miskin pada nelayan dan pembudidaya. Di antaranya harga jual hasil tangkap yang terlalu murah dibanding dengan biaya produksi. Sementara itu, kuantitas produksi dan tangkapan dari dua kalangan ini, terutama usaha kecil dan menengah, juga terlalu rendah dibandingkan pengusaha perikanan skala besar.


Sementara pengembangan Ekonomi Biru di Pulau Maratua dengan difokuskan pada blue carbon melalui hutan mangrove, terumbu karang dan padang lamun dengan memperluas kawasan konservasi maka akan semakin mempersulit para nelayan dalam menangkap ikan karena wilayah tangkapan mereka semakin sempit dan melaut akan lebih jauh. Sementara alat transportasi mereka tidak mendukung. Selain itu, alat tangkap dan penggunaan kapal juga akan dibatasi agar tidak merusak terumbu karang dan padang lamun.


Pengembangan ekonomi biru dari sektor pariwisata melalui kerjasama dengan  pihak asing akanberdampak pada kerusakan tatanan sosial dan ekonomi masyarakat. Akan terjadi transfer budaya asing ke penduduk lokal yang akan mengikis agama dan adat istiadat mereka. Dari segi ekonomi, masyarakat lokal takkan mampu bersaing dengan pemilik modal. Sehingga mereka akan tetap berada pada ekonomi rendah. 


Selain itu juga, yang perlu kita garis bawahi bahwa program ekonomi biru bukan murni proyek negeri ini, tetapi program yang di prakarsai oleh dunia internasional Kapitalisme yang mempunyai kepentingan terhadap negara-negara berkembang untuk memperbaiki kerusakan –Krisis iklim- yang mereka timbulkan akibat dari kerakusan industri raksasa para negara-negara kapitalis. Sementara negara-negara berkembang termasuk Indonesia disuruh memperbaiki kerusakan akibat dari kerakusan mereka. Yakni melalui blue carbon. 


Lebih mirisnya lagi, Peneliti Transnational Institute, Carsten Pedersen menjelaskan, ruang kemudi politik ekonomi kelautan global saat ini dikendalikan dengan kuat oleh 100 perusahaan transnational (TNCs) yang menyumbang 60 persen dari modal yang terakumulasi dalam ekonomi laut. Yang mana 86 persen di antaranya berasal dari perusahaan minyak dan gas lepas pantai dan industri perkapalan. Ia menyebut, kooptasi kuat perusahaan multinasional tersebut dalam pengambilan keputusan dalam sistem PBB telah memperparah praktek perampasan laut. Yang mana mereka lebih banyak berbicara soal investasi dan pembiayaan ekonomi biru.


Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Parid Ridwanudin menegaskan, tata kelola laut di Indonesia juga disusun untuk melayani kepentingan korporasi skala besar. Agenda strategi ekonomi biru Indonesia yang akan disampaikan oleh Pemerintah Indonesia di forum UN Global Ocean Conference jauh dari perlindungan masyarakat pesisir.

Parid menjelaskan terkait dengan kawasan konservasi laut. Walhi menilai kawasan ini akan mudah diubah untuk kepentingan proyek-proyek ekstraktif seperti pertambangan dan juga diubah untuk kawasan neo-ekstraktif seperti proyek pariwisata skala besar.


Hal ini telah disebut jelas dalam UU Cipta Kerja, Peraturan Presiden No. 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, dan Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Bidang Kelautan dan Perikanan.


Parid menyebut hal ini adalah bentuk perampasan ruang laut yang direncanakan (planned ocean grabbing) yang dilakukan oleh pemerintah. Ocean grabbing adalah perampasan kontrol dan akses terhadap sumber daya kelautan dan perikanan yang menjadi hak masyarakat, dilakukan melalui proses tata kelola yang tidak tepat serta merusak kesejahteraan sosial-ekologis masyarakat. (Betahita.id, 2022) 


Maka hal ini menegaskan bahwa ekonomi biru hanya akan menjadi peta bagi kooperat untuk menguasai dan mengeksploitasi SDA Kelautan Indonesia. 


Menjaga Mandat Laut


Begitu banyaknya limpahan karunia dan nikmat yang Allah berikan kepada manusia. Salah satunya adalah sumber daya alam kelautan agar manusia itu bisa memanfaatkan dan menikmatinya. Namun, hal itu belum bisa dirasakan dan dinikmati oleh masyarakat secara umum karena pengelolaannya hari ini tidak sesuai dengan syariat Islam. Karena masih diserahkan kepada pihak swasta atau asing. Padahal Rasulullah saw. Bersabda :


“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)


Laut, menurut hadis di atas termasuk ke dalam kategori air. Laut beserta seluruh potensi bahari dalam Islam adalah sumber daya kepemilikan umum (milik rakyat). Pengelolaannya harus di bawah tanggung jawab penguasa negara untuk sebaik-baik kemakmuran rakyat secara luas selaku pemilik potensi bahari tersebut. Negara semestinya berperan mewakili rakyatnya untuk mengelola potensi bahari sehingga tidak boleh terjadi privatisasi oleh pihak tertentu, baik individu maupun para pemodal komersial. Negara juga tidak boleh disetir oleh pihak lain untuk memenuhi kepentingan mereka sebagaimana yang terjadi hari ini. 

Di samping itu, penguasa harus berperan aktif untuk mengurus dan mengatur urusan rakyatnya.


Rasulullah saw. Bersabda : “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).


Dengan demikian, sangat penting untuk mengembalikan fungsi laut sebagai wujud pemeliharaan karunia Allah SWT. Jelas sekali, mengelola alam sebagaimana perintah Allah adalah mandat penciptaan dan amanah atas nama keimanan. 


Allah Swt. berfirman, 


“Dan Dialah Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan darinya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.” (TQS An-Nahl [16] : 14)


Wallahua'lam bishowab

Posting Komentar

0 Komentar