Road to 2024 (11): Kyai Kharismatik di Pusaran Politik Demokratik
Kalau masih ingat keberhasilan Muhammad al-Fatih menaklukkan Konstantinopel, ada ulama’ yang menempel. Dialah Syaikh Aaq Syamsudin, penakluk maknawi Konstantinopel. Tampaknya, jika dikaitkan dengan perpolitikan di Indonesia, terdapat beberapa kyai kharismatik di pusaran politik. Hal ini tampak dari ulama beberapa ulama yang memberi dukungan kepada Cak Imin. 99 Kiai Khas Jawa Timur menggelar musyawarah di Pondok Pesantren Bumi Shalawat, Sidoarjo. Mereka membahas mandat politik para kiai untuk Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin.
Acara ini berlangsung Kamis (23/2/2023). Para kiai yang hadir dalam forum tersebut yakni KH Nurul Huda Djazuli dari Ploso, KH Anwar Iskandar Wakil Rois Aam PBNU, KH Fuad Noerhasan dari Sidogiri, KH Marzuki Mustamar Ketua PWNU Jatim, KH Kholil Nawawi dari Sidogiri, KH Imam Syafaat dari Banyuwangi, KH Zainal Arifin dari Malang, hingga KH Muqorrobin dari Ngawi.
Turut hadir KH Muhammad 'Abdurrahman Al Kautsar (Gus Kautsar) dari Ploso, KH Abdussalam Shohib dari Jombang, Gus Ghulam dari Jember, Gus Muhammad Minan Salafi dari Malang, Gus Fathul Yasin dari Kota Batu, Gus Abdul Halim Basthomi dari Nganjuk, Gus M. Khoirul Anam dari Pacitan dan lainnya. (https://news.detik.com/pemilu/d-6585363/kiai-khas-jatim-dukung-cak-imin-pimpin-indonesia)
Suatu hal menarik, jika kyai yang merupakan orang terhormat di hadapan umat peduli politik. Terlebih demi melahirkan pemimpin yang peduli rakyat dan yang siap menerima mandat. Menjadi pertanyaan besar, bagaimanakah sebenarnya peranan ulama dalam politik yang sahih? Bagaimana nasib ulama dalam pusaran politik demokrasi? Lantas seperti apa konteks kepemimpinan yang seharusnya diharapkan dan dimotori oleh ulama dan santri?
Pahami Medan
Indonesia merupakan negara berbentuk republik. Kepala negaranya disebut Presiden. Terdapat tiga lembaga penting yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Proses suksesi kepemimpinan dengan pemilu. Sistem politik yang diambil yaitu demokrasi. Jadi jelas, medan perpolitikan Indonesia dalam rangka demokrasi dan mengambil amanat perundang-undangan yang ada.
Alhasil, membincang persoalan kepemimpinan nasional tak cukup berganti orang, lebih dari itu sistem apa yang akan diterapkan? Apakah mungkin pemimpin terpilih akan menerapkan syariah Islam. Bisa dipastikan pemimpin terpilih akan mempertahankan demokrasi sebagai sistem politik. Kalaupun mengambil Islam Cuma sebagian dan tak menyentuh solusi kebangsaan.
Pembahasan demokrasi memang belum ditemui di dalam kitab klasik. Ulama-ulama penulis kitab siyasah Islam belum sempat melakukan pembahasan mendalam hakikat demokrasi. Meski demokrasi sudah menjadi ide filusuf Yunani kuno, namun demokrastisasi menjadi alat Barat untuk menancapkan penjajahan politik di dunia Islam.
Pada titik inilah, ulama, kyai, dan gawagis perlu mengkaji lebih mendalam terkait barang baru ‘demokrasi’ dan turunannya. Berlanjut memahami akar demokrasi yang memang bukan dari Islam. Demokrasi berakar dari aqidah sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Demokrasi tidak bisa disamakan dengan Islam. Jelas, sejarah demokrasi diambil Barat dan didagangkan sebagai pengganti otoritarianisme. Demokrasi berwajah manis tapi jadikan hidup tambah miris.
Jujur, tidak banyak ulama yang fokus pada siyasah Islam. Kondisi ini akibat sekulerisasi di negeri-negeri kaum muslimin. Barat telah mampu merubah mindset umat. Islam dikotakkan dalam urusan amaliyah ibadah. Persoalan siyasah, iqtishodiyah, dan hukmiyah betul-betul disingkirkan. Karena itu tidak heran, jika ungkapan muncul bahwa syariah Islam tidak cocok, ke arab sana kalau mau syariah, dan upaya perendahan hukum Islam lainnya.
Perlu upaya pemahaman fakta yang sahih kemudian disandingkan dengan dalil syariah yang kuat. Sehingga ulama mampu menjelaskan politik yang benar berdasarkan syariah Islam. Politik yang bermakna menjaga agama dan mengurusi dunia terkait urusan rakyat. Jika hal ini disadari ulama pilihan negeri ini, maka ulama dalam pusaran politik akan memberikan perubahan besar. Umat pun jadi paham, siapa pemimpin pilihan.
Kepada Ulama Pilihan
Politik demokrasi seringnya menjadikan kyai sebagai stempel publik. Kondisi ini diperparah dengan kemunculan politisi culas dan jahat. Umat Islam yang mayoritas apolitik dan buta politik kekinian selalu menjadi korban. Sikap umat sebenarnya mengikuti apa kata ulama. Maka posisi dan tanggung jawab inilah yang perlu dipikirkan oleh ulama pilihan dalam membimbing umat.
Bicara persoalan kepemimpinan bangsa, berikut ada hal yang patut direnungkan:
Pertama, pemimpin menentukan surga dan neraka rakyatnya. Pemimpin yang adil dan menaati Allah dan Rasul-nya, akan mengambil syariah. Tujuannya menyelamatkan umat dari ragam kerusakan dan ini merupakan perintah keilahian.
Kedua, pemimpin menentukan hitam putih Indonesia. Bukan soal ini keturunan ulama kharismatik atau lulusan pesantren. Lebih jauh dari itu, demokrasi biasanya sering merusak nilai-nilai agama. Bisa jadi orang baik masuk politik demokrasi menjadi buruk karena tersistemis menjauhkan dari agama.
Ketiga, pemimpin bangsa itu berat. Hati-hati kalau tidak kuat. Sebab, jutaan rakyat bisa menuntut nanti di akhirat. Mungkin di dunia bisa menyembunyikan segala aib dan kerusakan. Apa daya di akhirat kelak, Allah Sebaik-baik pemutus dan penentu keadilan.
Keempat, pemimpin itu tentu memiliki kepribadian dan syarat yang sesuai dengan Islam. Seperti laki-laki, muslim, baligh, mampu, amanah, dan berakal. Lebih pentinya mengambil sistem Islam dalam sistem kenegaraan. Poin penting inilah yang seyogyanya menjadi panduan siapa pun.
Oleh karena itu kepada ulama pilihan pewaris kenabian. Umat saat ini terpuruk karena jauh dari syariah Islam. Pengabaian hukum Islam mengakibatkan kerusakan di laut dan darat. Lahirnya pejabat yang sering melanggar aturan. Kemunculan undang-udang dan aturan yang membelenggu rakyat. Politik pun pragmatis. Gaya hidup penuh hedonis. Syariah Islam dianggap sinis. Peran ulama dalam amar ma’ruf nahi munkar berada di garda terdepan. Ulama pilihan pun wajib menasehati penguasa dan calong penguasa untuk taat Allah dan Rasul-nya. Terlebih penguasa itu wajib berhukum dengan hukum Allah SWT. Umat rindu ulama pilihan. Umat pun siap mendukung perjuangan.
0 Komentar