Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

RUU Kesehatan dan Ancaman Liberalisasi Kesehatan?

 

Oleh : Sherly Agustina, M.Ag.

(Penulis dan Pemerhati Kebijakan Publik)


Sampai saat ini, belum ada konfirmasi siapa sebenarnya pembuat draf RUU Kesehatan; apakah DPR, Kemenkes atau stakeholder lain. Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi mengungkapkan, bahwa mereka sementara menyusun RUU yang ujung-ujungnya akan menjadi undang-undang (UU) Kesehatan. RUU ini bahkan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2022-2023 yang artinya, akan segera dibahas. Pertanyaannya, di tengah polemik dan kontroversi RUU Kesehatan akankah tetap disahkan dan mampu menyelesaikan permasalahan kesehatan?


Masih bergulir panas, isi RUU Kesehatan yang masuk pada prolegnas dan akan dibahas. Kontroversi masih terjadi terutama di kalangan organisasi profesi. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia meminta kepada pemerintah agar pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesehatan dihentikan. Salah satu poin yang dipermasalahkan di RUU itu adalah perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan dan tenaga medis yang dinilai belum terjamin. PB IDI meminta agar penolakan berbagai pihak terhadap RUU ini diperhatikan secara serius oleh pemerintah.


”Seorang dokter yang melakukan sebuah pelayanan kesehatan menyelamatkan nyawa maka harus memiliki hak imunitas yang dilindungi undang-undang. Di sinilah peran organisasi profesi sebagai penjaga profesi untuk memberi perlindungan hukum. Namun, peran organisasi profesi dihilangkan. Menurut Ketum PB IDI, dr Moh Adib Khumaidi, SpOT (Kompas.id, 11-4-2023).


Polemik dan Kontroversi RUU Kesehatan Omnibus Law


Dilansir dari Idionline.org, (5-1-2023), sejumlah UU kesehatan yang eksis saat ini, termasuk UU Keperawatan, UU Kebidanan dan UU Praktik Kedokteran akan dilebur dalam UU omnibus ini. Alasannya, UU kesehatan saat ini terlalu kompleks dan berpotensi membingungkan saat merujuknya. Lalu, muncul beragam pertanyaan terkait RUU ini, di antaranya menyangkut urgensi. Apakah UU omnibus memang dibutuhkan saat ini dan apa urgensinya dimasukkan daftar prolegnas? 


Ada beberapa argumen yang dilontarkan Ikatan Dokter Indonesia, yaitu:


Pertama, UU omnibus bertujuan menggabungkan, merampingkan dan mengatasi tumpang tindih regulasi serta diharapkan menjadi benang merah regulasi. Namun, model omnibus akan efektif bila diaplikasikan pada kondisi complex and hyper-regulation, yaitu jumlah legislasi banyak, beragam, tumpang tindih atau terdapat kontradiksi satu dengan lainnya. Kasarnya, terdapat kompleksitas, heterogenitas dan kontradiksi regulasi. Pada domain lapangan kerja, misalnya, terdapat banyak dan beragam legislasi yang ujung-ujungnya menimbulkan kerancuan. Oleh karenanya, muncul UU Omnibus Cipta Kerja yang merupakan sinergisme 78 UU. 


Di sisi lain, latar belakang munculnya UU Omnibus Kesehatan tidak sekompleks UU Cipta Kerja. UU Kesehatan hanya akan menggabungkan 9 UU; sebagian besar UU tersebut bernuansa homogen karena bertema besar kesehatan. Selama ini menurut IDI, belum pernah terdengar ribut-ribut terkait kontradiksi antar UU. Artinya, elemen kompleksitas, heterogenitas dan kontradiksi yang menjadi substansi pembuatan UU omnibus tidak jelas.


Kedua, sebagian UU kesehatan yang akan dilebur usianya masih singkat. UU Keperawatan dan UU Tenaga Kesehatan disahkan tahun 2014; sedangkan UU Karantina Kesehatan dan UU Kebidanan masing-masing disahkan tahun 2018 dan 2019. Saat ini, para stakeholders UU ini berjibaku mengimplementasikan aturan-aturan ini, termasuk melakukan sosialisasi intensif dan pembuatan aturan turunan. Dalam kondisi demikian, mengapa tiba-tiba UU yang eksis ini ingin dihapus dan diganti dengan yang baru?


Wajar saja jika berbagai organisasi profesi kesehatan menolak dan melakukan perlawanan intelektual karena mereka merasa bertanggung jawab terhadap rakyat di bidang kesehatan. Apa yang dilakukan pemerintah saat ini membahas RUU Kesehatan, memang dipertanyakan urgensitasnya terutama mengapa organisasi profesi akan dihapus. Jika misalnya, keberadaan organisasi profesi selama ini menimbulkan permasalahan dan polemik di tengah-tengah masyarakat, hingga suasana kacau wajar pemerintah meniadakan organisasi profesi lewat RUU Kesehatan omnibus ini.


Tapi faktanya, selama ini IDI selalu sigap membantu pemerintah apalagi ketika negeri ini dilanda covid-19. Para dokter menjadi pahlawan di garda terdepan menolong rakyat, walau nyawa taruhannya. Bahkan, tercatat banyak sekali korban jiwa dari kalangan dokter dan mereka adalah orang-orang terbaik. Apabila ada disharmonisasi antara IDI dan pemerintah melalui Menteri Kesehatan, sebaiknya bisa diselesaikan dengan baik semata-mata demi kepentingan kesehatan dan keselamatan rakyat. Pemerintah pun harus memperhatikan jaminan keselamatan dan kesejahteraan para dokter. 


Manarik apa yang disampaikan oleh Dr. Mukhaer Pakkanna, SE.,MM – Rektor ITBAD Jakarta di sebuah diskusi publik, beliau memberikan pendapat mengenai Perspektif Sosial Ekonomi yang lebih spesifik pada pembahasan urgensitas pasal pelarangan iklan, sponsor zat aditif pada RUU Kesehatan. 


Pasal 383 dan 159 menjadi salah satu pasal yang dikritisi dalam RUU Kesehatan, beliau menyebutkan bahwa “pada pasal 383 peluang untuk industrialisasi penguasaha farmasi yang mana fakta menunjukkan 75% bahan farmasi dproduksi di Indonesia, namun 95% bahan farmasi masih import (dari Cina) yang harusnya melalui RUU Kesehatan dapat menjadi regulasi untuk menjembatani kemandirian dalam dunia farmasi bukan membuka lebar pintu industrialisasi pihak swasta. (suaramuhamadiyah.id, 21-4-2023).


Kesehatan dalam Islam


RUU yang dipandang misterius ini masih dipertahankan oleh Menkes dengan dalih DPR yang membuat, walau pihak DPR pun tidak secara gamblang mengakuinya. Dalam Islam, kesehatan menjadi kebutuhan kolektif warga negara yang ditanggung oleh negara secara gratis. Negara menjamin kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan semua warga negara tak terkecuali. Rakyat biasa, pejabat pemerintah dan tim kesehatan dari jajaran dokter, perawat, dan lainnya. 


Setiap urusan akan diberikan pada ahlinya, termasuk dunia kesehatan pemerintah akan bersinergi dengan para ahlinya. Tujuan utamanya menjalankan kewajiban dari Allah, meraih rida dan pahala dari Allah. Dengan spirit ini, pemerintah dan para ahli di dunia kedokteran akan saling menekan ego. Karena tujuannya untuk kemaslahatan umat bukan yang lain. Ilmu yang dimiliki di bidang kedokteran merupakan amanah yang harus dijaga dengan baik dan dipergunakan untuk umat. 


Sebagaimana dalam hadis Rasul, bahwa orang yang paling baik adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi umat. Seluruh elemen di dalam Islam akan berlomba dalam kebaikan berdasarkan hadis tersebut. Bukan hanya ahli kedokteran, ahli farmasi, ahli hadis, ahli ekonomi dan lainnya akan bersinergi untuk kebaikan umat. Tak akan ada praktik monopoli, industrialisasi, Islam sangat memperhatikan perkara-perkara yang subhat apalagi yang haram. 


Dorongan akidah yang menjadi kontrol menghiasai perbuatan setiap muslim, begitu pun pejabat dan ahli kesehatan. Karena mereka sadar betul bahwa apa yang mereka lakukan di dunia, suatu saat akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Tentu mereka tak ingin proses husab nanti dipersulit akibat perbutan yang melanggar syariat ketika di dunia. Mekanisme yang dibuat dalam Islam tidak rumit alias mudah, serta terus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dengan meningkatkan kualitas ahli kedokteran dan lainnya. Intinya, rakyat mendapatkan fasilitas dan jaminan kesehatan yang aman, nyaman dan mudah. 



Jejak Kesehatan di Masa Khilafah 


Muhammad Al Fatih sebagai khalifah, memberikan pelayanan kesehatan yang luar biasa. Di antaranya merekrut juru masak terbaik untuk rumah sakit, dokter minimal dua kali sehari datang menemui pasien. Setiap RS minimal ada dua dokter umum, pegawai RS harus qanaah dan memiliki perhatian besar kepada pasien. Dokter tidak boleh memberi obat sembarangan tapi harus terjamin kualitasnya. Tersedia juga dokter-dokter spesialis, di antaranya spesialis penyakit dalam. 


Khilafah sangat memperhatikan dunia kesehatan, di antaranya banyak dibangun Birsbistan atau RS. Dulu, banyak orang Eropa yang datang ke Birbistan karena pengobatan Khilafah dikenal paling canggih saat itu. Bahkan, RS Islam menjadi tempat wisata orang Eropa saking bagus dan luar biasa pelayanan rumah sakitnya. Siapa pun yang datang ke RS, tidak cuma gratis biayanya tapi juga mendapatkan uang saku ketika keluar dari RS. Dikisahkan, ada seorang pengelana dari Eropa sengaja pura-pura sakit karena ingin menikmati enaknya makanan di rumah sakit Islam, seperti ayam panggang.


Khilafah sangat teratur menguji kompetensi tenaga kesehatan. Dokter kekhalifahan menguji setiap tabib agar mereka hanya mengobati sesuai dengan pendidikan atau keahliannya. Mereka harus diposisikan sebagai konsultan kesehatan, bukan orang yang sok mampu mengatasi segala penyakit. Ini adalah sisi hulu untuk mencegah penyakit sehingga beban sisi hilir dalam pengobatan jauh lebih ringan. Melihat jejak ini, siapa yang tak ingin menikmatinya? Allahualam Bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar