Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com


 10 NYAWA TKW INDONESIA MELAYANG SIA-SIA, DI MANA PERLINDUNGAN NYATA DARI NEGARA?

Oleh: Liza Burhan 


Sebanyak 10 pekerja migran Indonesia (PMI) meninggal dunia di luar negeri dalam empat bulan terakhir. Jumlah itu berdasarkan catatan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Subang. Kabid Penempatan Tenaga Kerja Disnakertrans Subang, Dedi, mengatakan, jumlah PMI meninggal dunia itu memang tinggi. Penyebab kematian dialami buruh migran asal Subang tersebut, kebanyakan disebut karena sakit. Itu faktor yang besar selain memang ada faktor kecelakaan kerja, depresi, bunuh diri, dan penyebab kematian lainnya. Dari 10 TKI atau buruh migran yang meninggal tersebut, sembilan di antaranya sudah dipulangkan. Marlinah (29) warga Desa Kosar, Kecamatan Cipeundeuy, yang ditemukan meninggal di kasur dalam keadaan telanjang di sebuah kamar kos di Taiwan. Kasus kematian Marlinah masih dalam proses penyelidikan pihak kepolisian Taiwan. (Tribunjabar.id 3/5/2023)


DERITA PANJANG PARA PAHLAWAN DEVISA


Seperti yang sudah kita ketahui bersama, keberadaan atau jumlah PMI (Pekerja Migran Indonesia) khususnya Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Indonesia ke dan di luar negeri begitu banyak dan selalu meningkat dan bertambah di setiap tahunnya, namun seiring meningkatnya jumlah tersebut semakin meningkat pula sejumlah kasus menyedihkan yang harus dialami oleh TKI dan TKW kita, dari mulai kekerasan, pelecehan seksual, pemberian gaji yang rendah, penganiayaan, penipuan, yang kerap berujung pada hilangnya nyawa hingga menjadi korban penjualan manusia.


Kendati dengan berbagai risiko yang tinggi demikian, tak bisa dipungkiri  dorongan WNI khusus TKW untuk bekerja di luar negeri masihlah sangat tinggi. Hal ini bukanlah semata disebabkan karena pasokan tenaga kerja yang ingin bekerja di sektor ini lebih besar dari permintaanya, melainkan adanya push (dorongan) dan faktor lainnya untuk bekerja di negara penerima TKW alih-alih bekerja di Indonesia. Mengingat sulitnya mencari lapangan pekerjaan di dalam negeri sendiri, dan ditambah dengan iming-iming gaji yang besar di luar negeri, walhasil banyak yang tergiur untuk mengambil tawaran tersebut. Kondisi ini didukung pula dengan semakin terbuka dan luasnya akses transportasi, komunikasi, dan informasi saat ini sebagai implikasi dari globalisasi.


Berdasarkan data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau pekerja migran Indonesia mencapai 3,7 juta pekerja. Para pekerja migran yang tercatat resmi dan sesuai prosedur tersebar di 150 negara. Sedangkan berdasarkan data World Bank, jumlah TKI di luar negeri sebanyak sembilan juta. Data yang dihimpun World Bank ini dinilai akurat sebab telah melalui penelitian ilmiah. (dpr.go.id, 31/05/2022)


MEMPERTANYAKAN KESERIUSAN NEGARA 


Merebaknya kasus demi kasus kematian yang mewarnai kehidupan para TKW, khususnya kesepuluh TKW asal Subang ini, semakin membelalakkan mata kita bahwa kasus seperti ini bukan untuk yang pertama kali atau sekali dua kali saja menimpa TKW asal Indonesia, namun sudah berulangkali dan sudah entah untuk keberapa kalinya. Namun seiring itu juga hingga saat ini rasanya kita belum melihat adanya keseriusan dari negara untuk menangani dan mencari solusinya dengan tuntas hingga tidak perlu lagi terdengar berita kekerasan, penganiayaan hingga kematian PMI (Pekerja Migran Indonesia) di luar negeri. Mereka yang disebut pahlawan devisa namun nampaknya tidak mendapatkan perlindungan yang layak dan jaminan keselamatan dari pemerintah negara. 


Mereka berduyun-duyun datang ke negeri orang berharap dapat mengubah nasib, namun yang banyak terjadi mereka justru mengalami nasib mengenaskan dan jauh dari yang diharapkan. Adapun pemerintah, alih-alih tanggap dan berusaha menghentikan segala macam kekerasan yang dialami TKW di luar negeri, serta menyetop pengiriman PMI khususnya TKW ke luar negeri, negara justru tidak menunjukkan sikap yang memahami bahwa permasalahan ini adalah permasalahan serius yang sesegera mungkin untuk ditindaklanjuti. Namun yang terjadi negara/pemerintah malah sibuk memperbanyak program-program pemberdayaan bagi perempuan, yang kemudian dimotivasi agar mereka menjadi pejuang visa dengan menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri. Ada juga program yang beristilah penopang ekonomi bangsa dengan UMKM dan lain-lain. Sebab kaum perempuan dijadikan sebagai penggerak perekonomian.


Sebab tak bisa dipungkiri, ekspor TKI selain menjadi sumber penghasilan bagi negara yakni sebagai sumber devisa, hal tersebut juga mampu membantu pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan akibat banyaknya pengangguran. Bahkan, Indonesia menjadi negara pengekspor buruh migran terbesar di Asia bahkan dunia. Maka sungguh tidaklah heran jika keberadaan TKI dan TKW ini dianggap penting walaupun permasalahan buruk kerap menimpa mereka. Dengan segala macam upaya pemerintah meluncurkan berbagai program untuk mempertahankan keberadaannya. 


Pemerintah seolah tutup mata terhadap berbagai perlakuan buruk dan diskriminasi pihak negara lain terhadap tenaga kerja Indonesia khususnya TKW yang sering terjadi. Tidak terkecuali bagi TKI /TKW ilegal, yang tertipu perusahaan penyalur ilegal maupun yang memaksakan diri pergi tanpa dokumen resmi karena lelahnya menganggur sebab tak kunjung dapat pekerjaan di negeri sendiri. Walhasil banyak sekali dari mereka yang sama terlantarnya tanpa kepastian di negeri orang. Sementara UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri [JDIH BPK RI] dinilai tidak mempunyai kekuatan hukum yang bisa diharapkan untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia di negeri orang.


BUAH SISTEM BUSUK KAPITALISME


Ya, semua bentuk kepiluan nasib para PMI khususnya TKW ini sejatinya adalah buah sistem Kapitalisme yang diterapkan di negeri ini, sistem ini telah membentuk paradigma yang menjadikan negara hanya sebagai fasilitator/regulator bukan sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Khususnya bagi TKI, kalau kita amati di negeri ini ada begitu banyak biro-biro jasa penyalur TKI/TKW yang tak bertanggung jawab (ilegal), akibat sistem pengaturan dan pengawasan yang sangat lemah. Nihilnya sikap tegas atas perjanjian kerjasama dengan negara pengimpor TKI atau Pekerja Migran, berakibat memunculkan berbagai permasalahan baru lagi. Seperti lemah bahkan tidak adanya kekuatan hukum dan kebijakan yang komprehensif di negara pengimpor terkait jaminan perlindungan tenaga kerja Indonesia, sulitnya aspek komunikasi, dan lain sebagainya. Walhasil begitu terang adanya kesan bahwa negara tak mampu melindungi Pekerja Migran yang notabene rakyat Indonesia. Padahal konon katanya konstitusi negeri ini sangat menjunjung tinggi kewajiban atas perlindungan terhadap seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.


Selain dari itu paradigma sistem kapitalisme juga menjunjung tinggi ide pemberdayaan perempuan, maka tidak heran jika negara mendorong perempuan-perempuan terutama dari desa bekerja menjadi TKW di luar negeri, dengan berbagai macam penempatan kerjanya, dan yang paling banyak dijadikan sebagai asisten rumah tangga. Alasannya tentu saja tidak lain adalah faktor ekonomi, karena para laki-laki di keluarga mereka sulit mendapatkan pekerjaan. Maka mereka terpaksa rela menanggalkan kewajiban utama yang sejalan dengan kodratnya sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Membanting tulang di negeri orang, tanpa memikirkan lebih jauh atas berbagai risiko besar yang siap menerkam.


Sistem sekuler kapitalisme menempatkan  perempuan tak ubahnya seperti barang objek komoditas dan eksploitasi, sehingga banyak menimbulkan  diskriminasi terhadap perempuan itu sendiri. Baik diskriminasi secara fisik, pendapatan, pendidikan, termasuk pada status sosial dan agamanya. Yang pada akhirnya menjadikan perempuan pada posisi rendah dan tidak terhormat. Sehingga tidaklah mengherankan jika sistem kapitalisme ini sejatinya tidak mempunyai solusi dan jaminan perlindungan atas berbagai permasalahan dan kekerasan pada perempuan khususnya para TKW di luar negeri.


PANDANGAN DAN SOLUSI ISLAM


Sesungguhnya permasalahan para PMI ini membutuhkan solusi tuntas yang mampu benar-benar diharapkan dapat melindungi para pekerja migran Indonesia, khususnya TKW kita. Dalam pandangan Islam, kedudukan negara adalah sebagai pemelihara dan pengatur urusan umat termasuk melindungi kaum perempuan. Rasulullah saw bersabda : “ Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya. “ (HR. Bukhari dan Muslim). Maka sebagai pengurus umat/rakyat, negara seharusnya mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang luas dan memadai bagi rakyatnya, sehingga mereka tidak perlu lagi pergi dan banting tulang ke negeri orang untuk tujuan agar mendapatkan penghidupan yang layak dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.


Para ulama menyatakan bahwa wajib atas Waliyyul Amri (pemerintah) memberikan sarana-sarana atau lapangan pekerjaan kepada para pencari kerja. Negara wajib menciptakan dan menyediakan lapangan kerja bagi setiap laki-laki terutama kepala keluarga. Hal ini merupakan bentuk tanggung jawab negara terhadap pemeliharaan dan pengaturan urusan rakyat sesuai syariat Islam. Ini telah diterapkan oleh para Khalifah di masa kejayaan dan kecemerlangan penerapan Islam dalam kehidupan selama berabad-abad lamanya. Bisa dibayangkan, ketika lapangan kerja di dalam negeri cukup, maka rakyat terutama perempuan tak perlu bekerja apalagi sampai harus pergi ke luar negeri menjadi PMI atau TKI, yang mempunyai segudang risiko tinggi seperti yang banyak terjadi hingga detik ini.


Dalam pandangan Islam perempuan yang bekerja di luar negeri tidak seharusnya dilakukan. Karena tugas utamanya sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Adapun bekerja bagi perempuan hukumnya mubah/boleh dengan memegang prinsip tidak meninggalkan tugas utamanya. Dalam banyak kasus terbunuhnya TKW-TKW Indonesia di luar negeri, hal tersebut akan dipandang sesuatu yang besar dan serius oleh Khalifah dan Negara. Sebab dalam Islam Khalifah adalah Junnah, perisai dan pelindung bagi rakyatnya. Nyawa seorang muslim sangat berharga di dalam Islam, maka dari itu Islam mempunyai mekanisme jaminan keamanan dengan menerapkan aturan yang tegas bagi siapa saja yang mengganggu keamanan jiwa, darah dan harta seluruh umatnya dan rakyatnya. Negara akan mengusut tuntas kasus-kasus yang itu merugikan setiap orang. Sebagaimana hadits Rasulullah Saw: “Imam (pemimpin) itu laksana perisai, (rakyat) akan berperang dibelakangnya dan akan dilindungi olehnya” 


Adalah kisah yang begitu masyhur bagaimana bentuk kepedulian seorang Khalifah Al Mu’tashim kepada wanita/muslimah pada masa pemerintahan Islam. Peristiwa itu tercatat dalam kisah Penaklukan Kota Ammuriah di tahun 223 Hijriah. Di tahun 837 Masehi, seorang budak muslimah dilecehkan orang Romawi. Dia adalah keturunan Bani Hasyim, yang saat kejadian sedang berbelanja di pasar. Bagian bawah pakaiannya dikaitkan ke paku, sehingga terlihat sebagian auratnya ketika ia berdiri. Dia lalu berteriak-teriak, “Waa Mu’tashimaah!”, yang artinya “Di mana engkau wahai Mu’tashim (Tolonglah aku)”. 


Berita itu sampailah kepada Khalifah. Dikisahkan saat itu ia sedang memegang gelas, ketika didengarnya kabar tentang seorang wanita yang dilecehkan dan meminta tolong dengan menyebut namanya. Beliau segera menerjunkan pasukannya. Tidak tanggung-tanggung, ia menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu Ammuriah (yang berada di wilayah Turki saat ini). Dengan pasukannya ini mereka mengepung Ammuriah selama lima bulan. Pada pertempuran itu, pasukan muslim berhasil membebaskan kota tersebut dari tangan Romawi. Sebanyak 30 ribu tentara Romawi terbunuh dan 30 ribu lainnya dijadikan tawanan. Al-Mu'tashim mencari laporan tentang wanita yang memanggil namanya itu. Kemudian berkata "Wahai Saudariku, apakah aku telah memenuhi seruanmu atasku?". Sang wanita itu pun mengangguk terharu. Beliau lantas memutuskan untuk memerdekakan sang wanita muslimah itu.


Begitulah tegas dan bermartabatnya Islam, bisa dibayangkan jika hanya sebuah pelecehan saja negara serentak dan bergegas langsung turun tangan, apalagi jika terjadi penyisiksaan bahkan sampai terbunuhnya nyawa tanpa hak pada rakyatnya, maka Islam akan memerangi dengan menerapkan sangsi qishash, sanksi yang setimpal bagi pelaku pembunuhan tersebut. Dan berbagai sanksi berbeda lainnya untuk setiap kejahatan sesuai dengan aturan syariat Islam. Sistem sanksi yang memunculkan efek jera bagi setiap pelakunya. Walhasil pengiriman PMI ke luar negeri dan kerap berujung mendapat tindak kejahatan berupa kekerasan, penganiayaan, rendahnya sistem pengupahan, pelecehan, penelantaran, hingga pembunuhan dan segala hal yang melanggar hak rakyat khususnya para TKW ini tidak akan terjadi. 


Dari sini akhirnya bisa kita fahami adanya perbedaan kontras antara cara sistem Islam dengan cara sistem demokrasi kapitalisme dalam menyelesaikan segala permasalahan yang menimpa rakyatnya. Solusi Kapitalisme hanyalah hasil pemikiran manusia yang begitu sarat dengan berbagai kepentingan, maka wajar jika sifatnya hanya berupa tambal sulam. Solusi yang dihasilkan justru kerap menimbulkan masalah baru alih-alih komperhensif dan hakiki. Adapun solusi yang diberikan Islam bersifat fundamental dan komperhensif karena segala aturannya bersumber dari Allah Swt dan Rasul-Nya. Dengan metode penerapan Syariat Islam secara menyeluruh dalam sebuah institusi, menjadikan negara dengan sistem Islam bermarwah di mata dunia, bermartabat tinggi, dan memiliki bargaining sebagai negara super power dari negara lain. Seperti yang pernah terjadi selama 13 abad lebih lamanya pada masa kejayaan kekhalifahan Islam.


Wallahu a'lam bishshawwab

Posting Komentar

0 Komentar