Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Bullying Menjadi “Tradisi” Kampus, Cukup Melalui Restorative Justice?


Oleh : Indha Tri Permatasari, S. Keb., Bd. (Bidan dan Pemerhati Generasi)


Kepolisian Resor Kota (Polresta) Kendari, Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara (Sultra) menetapkan dua mahasiswi Universitas Halu Oleo (UHO) berinisial NI (22) dan SF (20) menjadi tersangka karena melakukan pengeroyokan kepada adik juniornya inisial WAP (19).


Kapolresta Kendari Kombes Pol. Muhammad Eka Fathurrahman mengatakan, motifnya adalah “tradisi” kampus. “Jadi, semacam “tradisi” kampus. Junior yang akan mengambil seragam fakultas harus diambil dari seniornya. Namun, cara menyerahkan baju tersebut dilakukan dengan cara-cara yang melanggar aturan, rupanya dari seniornya melakukan penganiayaan,” tuturnya.


Kasat Reskrim Polresta Kendari Ajun Komisaris Polisi Fitrayadi di Kendari, Selasa, mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan penyelesaian perkara tersebut dengan mempertemukan pihak korban dan pelaku pengeroyokan di Mapolresta Kendari pada Selasa sore sekitar pukul 17.30 WITA. "Polresta Kendari telah melakukan penyelesaian perkara melalui restorative justice terhadap perkara dugaan tindak pidana secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang dan atau tindak pidana penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 KUHP subsider Pasal 351 Ayat (1) KUHP," kata Fitrayadi.


Restorative justice


Restorative justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama-sama begaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan.


Dari defenisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa penyelesaian dalam suatu tindak pidana dengan mengunakan Restorative justice lebih mengutamakan terjadinya kesepakatan antara pihak yang berpekara, dengan kepentingan masa depan. 


Tidak menyentuh akar masalah


Kampus adalah tempat pencetak para intelektual malah muncul tradisi bullying. Dan sangat disayangkan proses penyelesain kasus tersebut dengan restorative justice, karena tidak memmberikan efek jera bagi pelaku dan tidak dapat memutus ratai tradisi bullying.


Bisa dilihat ini akibat pembentukan karakter pelajar yang berasaskan sekularisme. Bahkan, penguatan karakter profil pelajar Pancasila yang diharpakan mampu menjadi solusi atas krisis moral generasi seolah jauh panggang dari api. Patut dipertanyakan pula efektivitas kurikulum merdeka dalam rangka menghapuskan salah satu dari tiga dosa besar pendidikan, termasuk di dalamnya perundungan atau bullying.


Kasus ini, menambah daftar panjang persoalan perundungan di dunia pendidikan yang masih terus mewarnai dunia pendidikan kita terutama saat masa orientasi studi dan pengenalan kampus. Seolah sudah menjadi tradisi yang sulit ditinggalkan.


Hal ini diperkuat oleh data KPAI pada 13 Februari 2023 yang menunjukkan terjadinya kenaikan angka kasus kekerasan fisik dan psikis yang disebabkan oleh bullying, yaitu sebanyak 1.138 kasus.


Pembentukan karakter justru dibangun di atas asas sekularisme dengan menjauhkan syariat agama. Standar halal haram tidak lagi dipakai nilai yang menyebabkan munculnya budaya permisif, termasuk dalam persoalan perundungan. Karena ini sudah dianggap sebagai tradisi, akhirnya tidak merasa berdosa lagi ketika melakukannya.


Islam pembangun generasi


Oleh karena itu, sudah saatnya merubah karakter berbasis sekularisme ini dengan  karakter sebagaimana ajaran Islam. Dengan terbentuknya kepribadian Islam pada generasi, maka akan mampu menjauhkan mereka dari perbuatan keji semisal perundungan.


Setidaknya, ada empat faktor yang menjadi kunci kesuksesan tersebut:


Pertama, keimanan sebagai landasan dalam setiap perbuatan yang menjadi benteng dari perilaku jahat dan sadis. Seseorang yang memahami Islam dengan benar akan menjauhkan dirinya dari perbuatan tercela. Ia menyadari konsekuensi sebagai hamba Allah adalah menaati seluruh perintah-Nya dan menjauhi setiap larangan-Nya.


Kedua, sistem pendidikan Islam akan melahirkan individu berkepribadian dan berakhlak mulia secara komunal. Negara menerapkan sistem pendidikan ini di semua jenjang sekolah dan satuan pendidikan. Tatkala sistem pendidikannya baik, output generasi yang tercetak juga baik. Negara juga harus menjalankan fungsinya mengontrol media dan informasi yang mudah diakses anak-anak. Tidak boleh ada konten berbau kekerasan dan pornografi yang bertebaran di media mana pun.


Ketiga, dengan landasan akidah Islam, pola asuh orang tua dalam mendidik juga akan berubah. Suasana keimanan akan terbentuk dalam keluarga. Ketika anak kenyang perhatian dan kasih sayang orang tua, ia tumbuh menjadi pribadi yang hangat, peduli sesama, dan tidak mudah mencela orang lain.


Keempat, penerapan sistem pergaulan sosial berdasarkan syariat Islam akan melahirkan masyarakat Islam yang bertakwa. Membangun masyarakat dengan budaya amar makruf nahi mungkar harus dengan sistem Islam secara kafah. Berdakwah akan menjadi karakter bagi setiap individu, yakni tidak akan menoleransi tindakan apa pun yang bertentangan dengan syariat Islam, termasuk perundungan.


Namun, pembentukan karakter islami yang seperti ini masih perlu didukung oleh berbagai sistem Islam lain semisal sistem peradilan Islam, sistem ekonomi Islam, dan sistem politik Islam yang semuanya hanya kompatibel dengan sistem negara yang disebut Khilafah Islamiah.

Posting Komentar

0 Komentar