Dalam rangka menyambut Idul Adha 1444 H, GEMA Pembebasan kota Surabaya mengadakan DIALOGIKA yang bertajuk 'Dimensi Sosial-Politik Ibadah Kurban dan Haji. Dihadiri oleh saudara Dwi Agus Widodo, M.Pd selaku Ketua HMPR STAIL 2017-2018, promovendus Choirul Anam, S.IP, M.Si, dan saudara M. Fajar Habibullah selaku Ketua Pimpinan Wilayah Jatim GEMA Pembebasan 2015-2017. Dipandu oleh Akbar Assagung selaku Pimpinan Daerah Surabaya GEMA Pembebasan sebagai moderator.
Diskusi dipantik oleh moderator dengan menanyakan mengenai dampak sosial ekonomi ibadah haji kepada saudara Dwi Agus. Saudara Dwi Agus menimpali, "Ibadah haji sebagai ibadah yang paling agung, yang paling istimewa, dan mempunyai dampak yang besar pada bidang ekonomi dan sosial. Pada suatu tempat dan waktu yang sama, berbagai orang dari manapun, berbeda warna kulit, berbeda kelamin, dan berbeda bangsa berkumpul dan mempunyai value yang sama sebagai manusia, tidak memandang titel atau jabatan yang disandang. Haji mengajarkan bahwa sejatinya manusia berada pada status yang sama. Nilai-nilai yang didapat dari haji menjadi lebih bermanfaat ketika dibawa kembali ke tanah air untuk menyelesaikan problem yang ada. Sehingga, haji bukan hanya gelar saja yang menyandingi nama kita".
Kemudian, moderator melanjutkan pertanyaan kepada promovendus Choirul Anam mengenai dampak politik dari ibadah haji. Promovendus Choirul Anam menyampaikan, "Kita tidak boleh tutup mata atas hal baik yang diberikan pemerintah Saudi Arabia, tujuan mereka yaitu memberikan pelayanan yang terbaik, keamanan yang terjamin serta regulasi yang baik. Namun, juga tidak menutup kemungkinan tentang adanya kepentingan konglomerasi yang banyak bermain pada lini bisnis perjalanan ibadah haji. Kongkalikong yang terjadi antara pengusaha dengan penguasa memperumit keadaan yang ada".
Selanjutnya, moderator bergeser kepada saudara Fajar mengenai haji sebagai transformasi masyarakat. Saudara Fajar merespon, "Sesungguhnya harapan mengenai haji mabrur senantiasa tidak pernah luntur dari harapan para jamaah haji. Langkah lebih lanjut dari hal itu ialah bagaimana memabrurkan kehidupan masyarakat, yaitu kehidupan yang baik. Sehingga, dalam ibadah haji, hal yang menonjol ialah kekhusyukan ketika beribadah. Namun ironisnya, lazim ditemui beberapa jamaah yang berfokus pada selain ibadah, seperti berfoto-foto yang berlebihan, berbelanja yang lupa dengan waktu ibadah, dan hal serupa yang melenakan para jamaah haji. Maka, bagaimana memabrurkan masyarakat jika usaha untuk haji mabrur tidak maksimal. Penyelenggaraan haji yang penuh dengan catatan merah sangat perlu dan segera untuk dievaluasi. Harusnya, pelayan jamaah memberikan pelayanan yang seoptimal mungkin".
Kemudian, ada tanggapan dari peserta diskusi, Riko dari Sidoarjo. Riko mempertanyakan mengenai ibadah haji bukan hanya ritual keagamaan saja, namun ada dimensi politik padanya yang harus disadari umat. "Apakah pembahasan mengenai politik ini sudah tidak ramai diperbincangkan lagi?", tanyanya.
Pertanyaan tersebut direspon oleh promovendus Choirul Anam, "Hal demikian tergantung perspektif mana yang diambil. Dari segi ihram, dalam memakai pakaian itu ada ajaran bahwa kaum muslim tidak akan musnah karena suatu penyakit. Maka, taat kepada Allah dan risalah yang diberikan kepada Nabi-Nya menjadi mainstream dalam hidup. Islam akan semakin hidup pada dimensi yang lebih luas lagi".
Terakhir, para pembicara menyampaikan closing statement. Dimulai dari saudara Dwi Agus, bahwa iman dan takwa diperlukan oleh kaum muslim dalam rangka untuk membangun peradaban yang di dalamnya kehidupan Islam dapat berjalan. Selanjutnya, promovendus Choirul Anam memungkas sebagai seorang muslim, bahwa dalam ibadah haji, kehadiran seorang penguasa muslim sangat diperlukan. Oleh karenanya, ibadah yang disyariatkan kepada kaum muslim dapat terlaksana secara kaffah dan menyeluruh. Dus, saudara Fajar mengakhiri bahwa sesungguhnya ibadah haji menjadi pelajaran bahwa seorang muslim tidak hanya harus menjadi saleh, tapi harus menjadi muslih. Bagaimana ilmu yang didapatkan ketika di tanah haram dapat diimplementasikan di tanah lahirnya. Sehingga, urusan kaum muslim dapat tertangani dengan baik.
Sebelum berpisah, kedua pembicara, yakni saudara Dwi Agus dan promovendus Choirul Anam menerima pemberian cinderamata dari GEMA Pembebasan berupa buku Pemikiran Politik Islam karya Syekh Abdul Qadim Zallum.
Diskusi lalu ditutup dengan berfoto bersama dan ajakan hadir ke diskusi selanjutnya. [AA]
0 Komentar