Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Tingginya Baby blues, ada apa dengan kesehatan mental Ibu?

 


Oleh: Esnaini Sholikhah, S.Pd


Gangguan kesehatan mental pada kelompok ibu hamil, menyusui, dan ibu dengan anak usia dini di Indonesia menempati rangking tertinggi urutan ketiga di Asia. Di Lampung, 25% perempuan setelah melahirkan mengalami gangguan depresi. Hal ini terungkap dalam data laporan Indonesia National Adlescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2023. Tingginya kasus baby blues menggambarkan kesehatan mental ibu, yang tentunya dipengaruhi banyak faktor, termasuk kesiapan menjadi orangtua. Sayangnya kurikulum pendidikan Indonesia tidak menjadikan kesiapan menjadi orangtua sebagai salah satu kompetensi yang harus dimiliki. Bahkan pendidikan Indonesia justru jauh dari nilai-nilai agama yang dibutuhkan sebagai pegangan hidup.


Menurut Psikolog dan Ketua Komunitas perempuan dari Wanita Indonesia Keren (WIK) Maria Ekowati mengatakan, kondisi baby blues biasanya terjadi karena kondisi hormonal, meskipun perempuan sudah lama mempersiapkan diri sebagai calon ibu. Maria juga mengatakan bahwa kondisi baby blues parah juga bisa dialami wanita yang hamil karena “kecelakaan” hingga berada dalam rumah tangga yang tidak harmonis atau mengalami KDRT. (Republika, 28-5-2023)


Kadang kala, perempuan mengalami momen yang tidak mudah ketika menjalankan peran baru sebagai ibu. Tidak jarang, ibu mengalami perubahan suasana hati secara drastis hingga mengalami baby blues syndrome. Baby blues syndrome adalah gangguan kesehatan mental yang dialami wanita pasca melahirkan. Gangguan ini ditandai dengan munculnya perubahan suasana hati, seperti gundah dan sedih secara berlebihan. Penyebabnya bisa banyak faktor, seperti sulit beradaptasi dari kehidupan sebelum dan sesudah menjadi ibu, perubahan hormon, kurang istirahat lantaran waktu tidur yang tidak teratur, ataupun memiliki riwayat gangguan mental. Di samping faktor tersebut, ada faktor lain yang lebih krusial yang turut memengaruhi tingginya angka baby blues pada populasi ibu hamil dan menyusui, yakni kesiapan menjadi orang tua dan memikul tanggung jawab mengurus anak-anak mereka, terutama dalam sistem sekuler saat ini.


Kesiapan menjadi orang tua tentu tidak terbentuk secara instan dan tiba-tiba. Tidak cukup pula dengan pelatihan atau pembekalan pranikah dari KUA menjelang hari pernikahan. Ada proses panjang untuk membentuk setiap perempuan siap menjadi istri dan ibu bagi anak-anak mereka, yakni proses pendidikan dari usia dini hingga dewasa. 


Mengapa banyak perempuan mudah mengeluh dan merasa cemas tatkala menghadapi kondisi baru setelah ia melahirkan? Hal ini lantaran mental mereka tidak terlatih sejak dini untuk menyiapkan diri menjadi ibu dan mengurus rumah tangga. Di antara kesalahan pendidikan sekuler hari ini adalah ketidaksiapan generasi muda memikul tanggung jawab sebagai orang tua. Kurikulum saat ini, tidak dibekali dengan upaya membentuk kepribadian generasi yang siap bertanggung jawab atas kehidupan mereka, sehingga generasi hari ini seolah menjadi generasi bermental “kerupuk”, yang mudah goyah, stres, dan rentan depresi.


Kurikulum pendidikan kita berasas sekulerisme, yaitu menjauhkan manusia dari aturan agama (Islam). Makna Islam dipersempit pada pelaksanaan ibadah ritual semata, sehingga calon orang tua, terutama calon ibu tidak mendapatkan pembekalan pendidikan, dalam rangka membentuk calon-calon ibu yang siap memikul beban dan tanggung jawab besar pencetak generasi tangguh dan berkualitas. Pun kurikulum pendidikan kapitalis sekuler bertanggungjawab pada kerusakan pola asuh yang benar. Disadari atau tidak, kehidupan sekuler kapitalistik telah merenggut kesehatan mental individu. Remaja mengalami gangguan mental karena nilai-nilai sekuler liberal, pacaran dan pergaulan bebas. Akibatnya, banyak di antara remaja kita mudah mengalami stres hingga depresi, dalam setiap masalah yang menghampiri mereka, bunuh diri dianggap sebagai solusi terbaik. 


Hasil riset The Conversation, University of Queensland, dan Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health di Amerika Serikat pada 2022 menunjukkan bahwa 1 dari 20 remaja (5,5%) di Indonesia terdiagnosis memiliki gangguan mental. Artinya, sekitar 2,45 juta remaja di seluruh Indonesia termasuk dalam kelompok orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Di sisi lain, banyaknya ibu yang mengalami gangguan kesehatan mental dipicu oleh sistem kapitalisme. Bagaimana ibu mau sehat mentalnya jika untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja begitu susah? Bagaimana pula ibu bisa berpikir jernih dan tidak terbebani jika sistem kapitalisme mempersulit para ayah mencari nafkah memenuhi kebutuhan keluarganya? Bagaimana mau keluar dari lingkaran stres, sedangkan orang tua menanggung beban ekonomi yang berat dan melelahkan? Faktanya, bahkan beberapa kasus ibu atau membunuh anak kerap dipicu kehidupan ekonomi yang kian berat.


Kondisi baby blues syndrome sebenarnya bisa dicegah sejak dini, yaitu menyiapkan sistem pendidikan dan supporting system, dalam hal ini negara sebagai pembuat kebijakan. Kurikulum pendidikan Islam sangat komprehensif dan sesuai fitrah manusia sehingga mampu menyiapkan setiap individu mengemban peran mulia sebagai orang tua, termasuk menjadikan orang tua sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya kelak. Gambaran Islam menyiapkan generasi sebagai calon orang tua, ada beberapa tahapan, diantaranya: 


Pertama, menerapkan kurikulum berbasis akidah Islam. Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk kepribadian Islam pada setiap individu serta membekali generasi dengan tsaqafah Islam. Jika hal ini sudah terbentuk, setiap individu akan memiliki pondasi akidah Islam yang kokoh, pandangannya tentang dunia dan akhirat jelas akan berbeda. Para calon ibu dan ayah yang memahami peran mulia sebagai orang tua, tidak akan mudah mengalami gangguan stres atau depresi mengarungi berbagai ujian hidup. Mereka akan berupaya menjadi orang tua terbaik yang diinginkan Allah, yakni mampu mendidik anak-anak menjadi generasi bersaksiyah Islam. Kedua, dukungan sistem politik ekonomi Islam yang menyejahterakan. Negara harus menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat secara optimal, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Jika ayah mendapat kemudahan mencari nafkah, ia bisa menghidupi keluarganya dengan baik. Kaum ibu juga tidak perlu bekerja demi membantu perekonomian keluarga. Para ibu bisa fokus mengasuh dan mendidik anak mereka. 


Negara juga harus menjamin pendidikan dan kesehatan dapat diakses dan dinikmati masyarakat secara gratis. Negara mengontrol dan mengawasi media agar tidak tersebar tayangan, berita, dan konten yang berbau kekerasan, eksploitasi seksual, pornografi, dan segala hal yang merusak kepribadian generasi. Ketiga, supporting system berupa lingkungan sosial masyarakat yang Islami. Negara menciptakan kehidupan masyarakat yang bersih dari kemaksiatan sehingga terwujud masyarakat yang terbiasa beramar makruf nahi mungkar, serta saling menolong dan menyayangi antar sesama. Begitulah ketika penerapan sistem sosial pergaulan syariat Islam berjalan secara holistik. Kemaksiatan dan kriminalitas akan menurun seiring mewujudnya masyarakat bertakwa dan berada dalam suasana iman yang kukuh. 


Demikianlah, rahmat syariat Islam akan tampak jika diterapkan secara kaffah. Selama 13 abad Islam memimpin peradaban dunia, telah banyak melahirkan tokoh-tokoh perempuan sebagai ibu tangguh, muslimah cerdas, dan mencetak generasi soleh/solihah.. Kurikulum pendidikan Islam sangat komprehensif, sesuai dengan fitrah manusia, sehingga mampu menyiapkan setiap individu mengemban peran mulia sebagai orang tua, termasuk madrasah pertama bagi anak-anaknya. Solusi tuntas menghilangkan baby blues adalah, mengembalikan peradaban Islam yang mampu membangun masyarakat yang peduli, sehingga supportyng system terwujud optimal dalam masyarakat Islam. Wallahu a’lam bisshowab.

Posting Komentar

0 Komentar