Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Jawa Timur Jadi Medan Tempur Pilpres 2024

 Road to 2024 (16): Jawa Timur Jadi Medan Tempur.

Oleh Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)


  Sadarkah jika Jawa Timur (Jatim) menjadi salah satu barometer politik di Indonesia? Kerap kali pejabat tinggi hingga politisi memanfaatkan lawatannya ke Jawa Timur. Seolah memberikan daya tawar dan daya dukung dari entitas yang ada. Kondisi faktual ini membuktikan jika komunikasi yang dibangun ke publik rasanya kurang afdhal jika tidak ke Jawa Timur. Pun demikian di momen pencapresan dan pencawapresan tak lepas kunjungan ke daerah menjadi agenda utama.


  Tokoh Jawa Timur yang kerap dimunculkan dalam bursa suksesi kepemimpinan 2024 ialah Khofifah Indarparawansah, Muhaimin Iskandar, Mahfudz MD, dan lainnya. Hal ini mengonfirmasi penting Jatim sebagai lumbung mendulang suara. Jika sudah beres di Jatim, maka kesempatan naik kelas bisa lebih mudah. Karakteristik Jatim menjadi provinsi yang unik dengan ragam etnik dan balutan ketokohan yang kental. Model inilah yang dijadikan jalan politik bagi siapapun yang ingin naik jabatan. Seperti dukungan Kyai dan akar rumput menjadi sangat dibutuhkan dalam kontestasi.


  Pertempuran politik perebutan suara pun tampak kental mengawali tahun politik. Bahkan peristiwa penting nasional dan bergengsi di Jatim menjadi ajang nampang dan dikenal. Seperti, penunjukkan Erick Tohir sebagai ketua pelaksana Harlah Abad 2 NU di Gelora Delta Sidoarjo. Loyalis Erick (Lerik) memasang baliho dan banner di jalan-jalan. Meski secara tak langsung Erick Tohir mencalonkan diri, tapi survey telah menyebut namanya untuk bisa bersaing dengan lainnya. 


  Tak kalah dengan itu, sebelumnya Muhaimin Iskandar, Ketum PKB, deklarasi The Next 2024 di Gelora Delta Sidoarjo. Panggung rakyat dengan entertain dan kampanye digelar sejak pagi. Cak Imin paling getol melakukan kampanye di basis tradisionalis, akar rumput, dan pesantren. Pun pada Harlah Abad 2 NU, PKB menggelar agenda awalan dan ingin mengklaim berdasar sejarah sebagai partai yang lahir dari rahim NU. Baru-baru ini, Musyawarah Cabang di beberapa pengurus NU menginginkan Cak Imin bisa menjadi capres. Ulama dan bu nyai dalam jejaring pesantren pun menitipkan mandat untuk Cak Imin. Apa daya politik pencapresan tak semudah sekadar usulan. Hak penting ada di setiap ketua umum partai dalam menentukan capres-cawapres. 


Barometer Medan Tempur


  Barometer politik ini sangat penting bagi politisi dan partai politik. Jika mereka belum teruji di dengan kemajemukan seperti Jatim, maka rasanya tak afdhal. Apalagi ketika duduk di kursi kekuasaan. Selain itu, tokoh nasional kerap lahir dari rahim Jatim. Diakui atau tidak, politisi yang berangkat dari Jatim memang memiliki nilai sendiri dibanding yang lain. Sering pula ditemui, bukan politisi Jatim, tapi pencalegan maju dari Jatim.


  Kenapa Jawa Timur menjadi salah satu barometer politik nasional. Inilah beberapa analisisnya:


Pertama, lumbung suara mendulang mayoritas ormas di Indonesia. Hitungan politik demokrasi masih pada one man one vote. Meski tidak menutup kemungkinan untuk manipulasi suara dalam kasuistik pemilu. Jatim dikenal dengan gudang ulama Ahlussunnah wal Jamaah (ASWAJA). Keidentikan Aswaja terwakili pesantren yang berafiliasi kepada Nahdhatul Ulama (NU). Tak kalah dengan NU, Muhammadiyah meski embrio dari Yogyakarta, di Jatim menjamur tokoh dan kader yang juga menasional. 


Politisi kalau sudah safari ke Jatim sasarannya pesantren berbasis NU. Kondisi ini bisa dibaca politisi, karena jutaan santri dan orang tuanya menjadi wasilah mendulang suara. Ibaratkan hot button. Ketika kyai nya sudah memberikan dukungan, maka gerbongnya akan ikutan. Sayangnya, kondisi ini diperparah ketika politisi itu tak memberikan edukasi politik yang benar kepada ulama dan kyai. Alhasil, kyai sebagai stempel kemenangan.


Setali tiga uang, mafhum siyasah (pemahaman politik) perlu juga di update di kalangan ulama. Sehingga antara keilmuan siyasah ulama dalam kitab fiqih bisa diaplikasikan dalam konteks kekinian. Ulama pun perlu mengenal lebih dalam fakta, hakikat, dan propaganda asli demokrasi. Bagaimana pun juga demokrasi ini ide asing dari luar Islam. Perwajahan politik demokrasi kerap dipenuhi intrik, konflik, dan polemik. Gambaran seperti itulah yang akhirnya sebagian ulama menarik dari politik.


Kedua, legitimasi publik Jawa Timur begitu kuat. Karenanya tidak mengherankan jika Jatim sering dijadikan ajang ujian riak-riak konflik. Sementara di daerah lainnya tidak. Peristiwa gesekan inilah yang bisa menjadi bahan pemberitaan nasional dan pengambilan keputusan.


Beberapa peristiwa yang menasional seperti Kasus Kanjuruhan, Malang. Akhirnya semua jajaran pemangku kebijakan turun tangan. Bahkan FIFA dan media dunia memberikan catatan terkait itu. Gesekan antar masyarakat yang berupaya adu domba kerap di viralkan di media. Seperti antar perguruan silat. Akhirnya FORKOPIMDA dan jajaran di atasnya merangkul perguruan silat agar tercipta kondusifitas.


Ketiga, tokoh lokal yang menasional. Pemilihan bursa pencapres-cawapresan dengan menggandeng putra daerah memiliki alasan. Siapa yang tak mengenal Khofifah Indar parawansah? Perempuan energik yang tak pernah menyerah untuk bisa meraih Gubernur Jatim. Segudang aktifitas mulai dari ketua Muslimat NU, Anggota DPR dari PPP dan PKB, Menteri Pemberdayaan Perempuan, Kepala BKKBN, Mensos, dan lainnya. Dengan pemantik mewakili suara perempuan, mudah baginya menaikkan elektabilitas.


Begitu pun Prof. Mahfudz MD. Putra asli Madura yang berangkat dari Kampus UII Yogyakarta, Guru Besar dalam Hukum, Ketua Hakim MK, Menkopolhukam, dan lainnya. Perlu diingat, Mahfudz MD pernah digadang-gadang sebagai Cawapres Jokowi di periode kedua. Ketika itu disebutkan jika Cawapres Jokowi berinisial ‘M’. Publik dan media merujuk pada Mahfudz MD. Ternyata yang dimaksud M adalah KH Ma’ruf Amin.


Masih ada juga lainnya, seperti La Nyalla Mataliti (Ketua DPD RI), Muhaimin Iskandar (Ketum PKB), Abdul Halim Iskandar (Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi), Anang Hermansyah (DPR RI), dan sederet nama besar lainnya.


Keempat, potensi sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber dana yang mumpuni. Bisa dibilang di Jatim ini memiliki kekayaan yang melimpah. Potensi inilah yang dimanfaatkan sebagian politisi untuk menggandeng pengusaha. Sudah mafhum jika politik demokrasi tidak ada yang gratis. Ada fulus jalannya mulus. Tak ada fulus harapan jadi pun pupus.


Persinggungan kepentingan politik dan usaha di Jatim sangat erat. Pengerahan kepala daerah dari atas hingga bawah, bisa mempengaruhi kemenangan seseorang. Inilah jalan cepat menuju kekuasaan. Sat-set kata orang. Tak ayal, permainan politik uang, korupsi, manipulasi, hingga penyelewengan jabatan kerap terjadi. Fakta yang tidak bisa di pungkiri.


  Barometer inilah yang tampaknya disiapkan siapapun yang akan melenggang ke jalur kekuasaan melalui pintu Jawa Timur. Tak ayal Jatim sebagai medan tempur. Habis-habisan dengan dana yang di luar kebiasaan. Politik menjadikan apapun yang impossible menjadi possible.


Teruntuk Rakyat Jatim


  Terkadang rakyat ingin nya cuek terkait manuver dan apapun yang terjadi terkait politik. Sayangnya di tahun politik ini, mau tak mau, obrolan seputar politik akan menghangat. Tak hanya di dalam komunitas tapi juga di group-group ruang virtual dunia digital. 


  Rakyat Jatim juga merupakan manusia yang memiliki akal dan kesadaran. Potensinya yang besar perlu diarahkan kepada pilihan yang baik dan benar. Jangan sampai masuk pada jurang pragmatis yang akhirnya menjadikan pesimis. Rakyat tak ingin dibodohi oleh politisi yang mempolitiki dan memperalat rakyat hanya dengan uang. Kini rakyat perlu bertanya kepada ulama, bagaimana jika menerima uang atau hadiah dari Caleg, Capres, atau apapun yang ingin berkontestasi dalam perebutan kekuasaan?


  Peran ulama di sini menjadi sangat penting dalam memandu umat, khususnya di Jawa Timur. Ulama juga perlu didorong untuk memahami hakikat demokrasi yang sejatinya tidak Islami. Tidak ada dalil satu pun di al-quran dan hadits terkait demokrasi. Maka demokrasi menjadi tertolak. Ulama perlu memandu politik dengan politik Islam yang sahih. Politik yang bermakna mengurusi urusan umat dan melayani rakyat. Ulama pun berada di garda terdepan dalam amar ma’ruf nahi munkar. Meluruskan penguasa jika melenceng dari syariah.


  Sering pula muncul kampanye manut Kyai. Sebagian caleg, capres, dan politisi memanfaatkan ini dengan memajang foto sang Kyai. Harapannya mendulang suara dari jalur ini. Perlu diingat manutlah pada Kyai yang menunjukkan jalan politik yang sahih. Sebagaimana politik yang diwariskan oleh baginda Nabi Muhammad SAW. Boleh manut kyai, asalkan tidak taklid buta. Biar tidak salah arah. Inilah yang menjadikan Jawa Timur sebagai medan tempur. Perlu banyak hal yang ditaklukkan. Kepada siapapun yang akan mencalonkan, ingatlah Anda sebagai hamba Allah. Jangan semena-mena dengan rakyat. Awas kualat!!

Posting Komentar

0 Komentar