Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Ngalap Berkah Demi Duduk di Kursi Kuasa?

 


Road to 2024 (18): Ngalap Berkah Demi Duduk di Kursi Kuasa? 

Oleh Hanif Kristianto (Analis Politik-Media)


   Pernah menyaksikan jika tahun politik siapa yang paling sering dikunjungi? Terlebih demi mendulang suara rela merubah wajah dan baju kebesarannya. ‘Ngalap berkah’ menjadi istilah untuk mendekatkan diri kepada kyai atau ulama. Kedekatan politisi dengan ulama menjadi modal politik untuk sebuah tak-tik berkuasa. Pengaruh ulama masih dianggap penting dalam pengerahan masa dan dukungan dalam hitungan politik praktis. Kondisi ini diperparah dengan pragmatisme politisi dan sebagian ulama yang mengikuti kemauan umum. Padahal sejatinya, ulama memiliki kedudukan yang berbeda dengan manusia biasa.


   Semenjak tercerabutnya politik Islam dalam kancah kehidupan, pemahaman umat mulai kabur. Ulama terkadang membatasi dari pada pembahasan ibadah ritual. Pembahasan politik malah diwacanakan dilarang di masjid. Seolah politik barang najis yang tak boleh jatuh di lantai masjid. Seyogyanya dilihat dahulu, politik apa yang perlu dibahas di masjid? Jika politik ayng dibahas ialah politik Islam, maka sah-sah saja. Sementara, jika membahas dan bahkan mengampanyekan politik selain Islam maka ini kesalahan.


   Fenomena di tahun politik ini akan terus menggejala, terlebih banyak yang fokus untuk mencari kuasa. Apa saja terkadang dihalalkan. Tanpa peduli mana yang menabrak norma agama dan sosial. Mana yang tak berkesesuaian dengan fitrah manusia dan akal. Konsekuensi logis dari pilihan politik demokrasi liberal yang terkadang tidak masuk akal.


Ngalap Berkah


   Konsep ngalap berkah ini dimaksudkan mengharapkan didoakan orang solih karena keistiqomahan agamanya. Ulama dan kyai dalam pandangan masyarakat dianggap orang yang faqih dan sholih. Ketika keberkahan di dunia yaitu tidak akan tersesat dan keberkahan di akhirat yaitu tidak akan sengsara. Bahkan Rasulullah menyebut orang solih sebagai pewaris para nabi:


إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ

“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi”. (HR. Abu Daud no. 3641, At Tirmidzi no. 2682 dan Ibnu Majah no. 223.


   Politisi demokrasi dalam mengkomunikasikan gagasan kampanyenya biasanya mengikuti jejak untuk anjangsana ke ulama. Ulama masih dianggap penting dan sub-struktur masyarakat Indonesia. Ulama juga dikenal memiliki pergerakan bahkan mampu untuk memimpinnya. Ini tak terlepas dari daya tarik untuk mampu menggerakkan orang lain.


   Bagaimana menganalisis tak-tik dari konsep ngalap berkah yang dilakoni politisi di tahun politik ini?


Pertama, positioning ulama inilah yang menjadi daya tarik politisi mendekat. Biasanya ulama pinunjul yang dipilih. Ulama khos yang dituakan dan dianggap mendekati kewalian. Dahulu almarhum KH Maimoen Zubair menjadi jujugan capres dan tokoh politik nasional. Ke’aliman, kesederhanaan, keistiqomahan, dan kharismanya telah menjadi daya tarik.


Di tengah arus demokrasi liberal ini, ulama juga ada yang terjun langsung mencalonkan diri. Partai politik biasanya memanfaatkan untuk mendulang suara. Seperti, KH Ma’ruf Amin (Wakil Presiden RI pasangan Presiden Joko Widodo), Gus Yasin (Wakil Gubernur Jateng yang berpasangan dengan Ganjar Pranowo), dan lainnya.


Kedua, doa ulama’ dalam konsep ngalap berkah politisi dianggap maqbul. Salah satu ciri doa yang mudah dikabulkan ialah hamba yang dekat dengan Allah dengan taqarubbnya. Image masyarakat memandang jika ulama memiliki kedekatan yang lebih dengan Allah. Tak mengherankan banyak ulama yang sampai pada tahap ‘wali’. Alhasil ketika haul seorang ulama diperingati ribuan hingga jutaan orang tumplek blek hadir.


Ketiga, bagi politisi ini menjadi kunci dikesankan dekat dengan ulama. Ketika difoto, berkunjung, dan dekat dengan ulama menjadi legitimasi publik sebagai layak dipilih. Gelombang arus ini akan tersalur ke santri, muhibbin, dan alumni. Ulama bagi umat Islam di Indonesia menjadi orang yang paling dihormati, dimuliakan, dan wajib dilindungi. Dahulu dikenal ketika ada pemakzulan Gus Dur dari kursi kepresidenan ada ‘pasukan berani mati’.


Keempat, foto kunjungan ulama bisa dipasang dalam banner dan kampanye di jalan. Ditambah lagi yang akan diviralkan di media sosial dalam pemberitaan, konten, dan meme. Apalagi jika politisi mau menyumbang dan donasi untuk pembangunan pesantren dan memfasilitasi agenda ulama’ tadi.


   Hal penting yang perlu dikonfirmasi kepada politisi demokrasi ialah apakah nanti ketika menjabat mau meminta fatwa dari ulama? Atau malah ulama ditinggalkan dan memberikan keputusan tanpa melibatkan ulama? Bahkan seringnya keputusan pun melukai hati nurani umat?


Ngalap yang Tulus Jangan Modus


   Rakyat sebagai obyek pemilih terkadang masih silau dengan komunikasi politik yang dibangun politisi demokrasi. Dekat dengan ulama jadi modal. Padahal esensi dekat dengan ulama ialah dengan mengaji bersama, berdizikir bersama, berjuang untuk agama bersama, serta menjaga syariah Allah yang utama. Kedekatan prematur yang dibangun tak akan memberikan makna jika tujuan sekadar mendulang suara di kursi kuasa.


   Demokrasi telah mengajarkan siapapun yang turut serta di dalamnya untuk bisa merubah wajah sesuai waktu, tempat, dan kondisinya. Tujuannya politisi dianggap sama dan tak ada perbedaan yang jauh dengan rakyat. Sejatinya, kamuflase ini dibangun agar rakyat silau dari modus. Rakyat juga perlu memahami hakikat demokrasi yang dibangun hanya untuk memalingkan umat dari Islam kaffah.


   Ngalap berkah untuk kuasa ini akan terus berulang dan jadi momentum di setiap tahun politik. Sudah berulang kali pesta demokrasi di gelar. Sudah banyak ulama yang dijadikan foto pajangan untuk dukungan. Rakyat pun sudah merasakan bagaimana dahulu politisi demokrasi itu dekat dengan ulama, ketika jadi malah lupa. Marak pula kriminalisasi kepada ulama dan orang-orang sholih. Belum lagi kebijakan dan Undang-undang yang kerap dihasilkan jauh dari ilmu dan pelajaran dalam kitab-kitab ulama. Lantas, inikah tujuan sesungguhnya?


   Oleh karena itu, kepada politisi demokrasi ‘ngalap berkah’ yang tulus jangan modus. Kekuasaan yang ingin Anda raih jadikan sebagai wasilah memuliakan ulama, melindungi rakyat, menyejahterahkan rakyat, dan menjadikan Anda mendapat naungan kelak di yaumil kiamat. Kekuasaan bisa saja menghinakan jika mengaturnya jauh dari nilai syariah Islam. Rakyat pun tak boleh diam untuk terus mengoreksi penguasa jika melenceng dari syariah. Inilah bagian dari sebaik-baik jihad yang wajib dipimpin oleh ulama dan umat pun melakukan hal yang sama.

Posting Komentar

0 Komentar