Problem Haji Akibat Penerapan Sistem Kapitalisme
Oleh : Rey Fitriyani
Setiap muslim pasti ingin menyempurnakan rukun Islam kelima dengan melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Namun, perjuangan para jemaah calon haji ini tidaklah mudah. Sebab, ada beberapa persoalan yang dialami para calon jemaah haji. Beberapa permasalahan tersebut diantaranya pemberangkatan jemaah haji dari Muzdalifah ke Mina, yang sempat mengalami keterlambatan sehingga jemaah terlantar. Kemudian masalah makanan jemaah haji yang tidak terdistribusi dengan baik. Masalah lainnya juga terjadi pada potensi ketersediaan kasur yang tidak sesuai jumlah jemaah. Dan masih banyak lagi permasalahan yang terjadi terkait penyelenggaraan ibadah haji di tahun ini.
Laporan ini muncul berawal dari video yang memperlihatkan jemaah haji di kloter tertentu tidak mendapatkan distribusi makanan. Viral juga sebuah video yang menarasikan jemaah haji Indonesia terlantar di Mina hingga siang hari. Bahkan, banyak jemaah yang kehausan dan kelaparan, sampai ada yang dilaporkan pingsan. Akibat berbagai persoalan ini, Kementerian Agama (Kemenag) melayangkan protes ke penyedia layanan di Arafah-Mina-Muzdalifah (Armina), Mashariq. Melalui Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag, Hilman Latief menyesalkan kelambanan Mashariq dalam menyiapkan layanan jemaah haji di Muzdalifah dan Mina.
"Kita sudah sampaikan protes keras ke Mashariq terkait persoalan yang terjadi di Muzdalifah. Kita akan terus kawal ini, agar Mashariq bergerak lebih cepat dalam penyiapan layanan bagi jemaah haji," kata Hilman di Mekkah, dikutip dalam siaran pers, Kompas.com, Jumat (30/6/2023).
Selain berbagai insiden yang mewarnai jamaah calon haji di Mekkah. Beberapa masalah terkait penyelenggaraan haji di Indonesia juga mengalami kekacauan, mulai dari pendaftaran, keberangkatan, hingga persoalan fasilitas di asrama haji. Menurut Anggota Ombudsman Indraza Marzuki Rais, ia mengungkapkan beberapa masalah fasilitas di asrama haji, dan makanan yang dikonsumsi jemaah selama di asrama Bekasi, Pondok Gede dan Indramayu tidak higienis, sehingga menimbulkan masalah kesehatan pada jemaah. Indra juga membeberkan pemberian living cost untuk jemaah juga bermasalah. Jemaah diberi uang saku dalam bentuk rupiah, bukan riyal. Indra mengaku ada pihak swasta masuk dan menyediakan jasa tukar mata uang di dalam asrama haji sebelum keberangkatan. Praktik ini diduga bagian dari bisnis di asrama haji. Belum lagi masalah penerbangan untuk keberangkatan jemaah haji yang sempat tertunda, akibat pesawat yang digunakan kapasitasnya kurang dari semestinya. (metronews.com, 30/06/2023)
Sebenarnya pelaksaaan haji adalah agenda rutin tahunan, pun bukan hal yang baru bagi pemerintah kita, terkait banyaknya kesulitan yang dihadapi berbagai pihak penyelenggaraan haji. Seharusnya, pemerintah mampu mengatasi berbagai kesulitan yang ada untuk memudahkan urusan haji. Pengurusan haji mulai dari pendaftaran, persiapan pemberangkatan baik dari asrama haji hingga ke Tanah Suci, seyogyanya bukan dipandang sebagai persoalan teknis biasa. Lebih dari itu, pelayanan prima jemaah calon haji merupakan langkah pemerintah untuk memfasilitasi warganya yang akan beribadah. Hal ini bertujuan agar mereka khusyuk menjalankannya tanpa dibebankan permasalahan teknis yang ada.
Permasalahan teknis yang kerap terjadi pada penyelenggaraan ibadah haji ini bermula dari pengelolaan prinsip kapitalisme yang digunakan oleh Negara ini. Dalam sistem kapitalisme Negara menjadikan semua yang bisa bernilai bisnis adalah peluang, termasuk penyelenggaraan ibadah haji, sehingga umat muslim yang ingin beribadah pun turut dimanfaatkan. Negara yang menerapkan sistem kapitalisme akan hitung-hitungan untung dan rugi, dalam melakukan pelayanan dan pelaksanaan ibadah haji kepada warganya. Bahkan di sistem kapitalisme pemerintah hanya berfungsi sebagai regulator semata. Sehingga dalam penyelenggaraannya, pemerintah menyerahkan pada pihak lain yaitu swasta. Walhasil, dalam sistem ini ibadah haji adalah ladang bisnis dan pasar yang kemudian dieksploitasi, mulai dari bisnis transportasi, perhotelan, katering, sampai jasa perizinan, termasuk jasa pembimbingan, dan lainnya yang serba komersil. Inilah salah satu dampak jika penyelenggaraan urusan ibadah haji umat Islam terwarnai oleh sistem kapitalisme.
Namun berbeda penyelenggaraan haji dalam sistem Islam (Khilafah). Betapa besar perhatian dan pelayanan Khalifah (Kepala Negara) kepada jemaah haji dari berbagai negara. Mereka dilayani sebaik-baiknya sebagai tamu-tamu Allah tanpa ada unsur bisnis. Jauh dari konteks investasi atau mengambil keuntungan dari ibadah haji. Semua merupakan kewajiban yang harus dijalankankan Negara.
Adapun beberapa langkah yang dilakukan Khalifah dalam melayani jemaah haji. Pertama, Khalifah menunjuk pejabat khusus untuk memimpin dan mengelola pelaksanaan haji dengan sebaik-baiknya. Mereka dipilh dari orang-orang bertakwa dan cakap dalam memimpin. Kedua, negara menetapkan biaya penyelenggaraan haji, sesuai dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jamaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Makkah-Madinah, serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari Tanah Suci. Khilafah juga membuka pilihan, yakni rute darat, laut dan udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang berbeda. Ketiga, Khilafah mengatur kuota haji dan umroh. Dalam hal ini, Khalifah harus memperhatikan, kewajiban haji hanya berlaku sekali seumur hidup, dan hanya berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Bagi calon jamaah yang belum pernah haji, sedangkan sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, maka mereka akan diprioritaskan.
Keempat, khilafah akan menghapus visa haji dan umrah, pasalnya di sistem ini kaum Muslim hakikatnya berada dalam satu kesatuan wilayah. Tidak tersekat-sekat oleh batas daerah dan Negara. Seluruh jamaah haji yang berasal dari berbagai penjuru dunia Islam bisa bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas, bisa KTP atau paspor. Kelima, khalifah akan membangun berbagai sarana dan prasarana untuk kelancaran, ketertiban, keamanan dan kenyamanan para jamaah haji. Dengan begitu faktor-faktor teknis yang dapat mengganggu dan menghalangi pelaksanaan ibadah haji dapat diatasi.
Oleh karenanya, penjagaan terhadap rukun Islam dan aturan lainnya secara sempurna, niscaya terjadi hanya jika Negara menerapkan sistem Islam. Pun semua aktivitas yang dilakukan mulai dari penyelenggaraan hingga selesainya ibadah haji, hanya menggunakan prinsip ri’ayah (pelayanan), bukan bersifat komersil atau mengambil keuntungan dari jamaah. Sehingga tidak akan muncul konflik kepentingan dan kesulitan, semisal pembagian kuota, komersialisasi hotel, tiket, katering, dan lainnya. Wallahu a’lam bisshowab.
0 Komentar