Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Investasi China Meningkat, Mengokohkan Penjajahan China

Oleh: Esnaini Sholikhah, S.Pd (Pendidik dan Pengamat Kebijakan Sosial)


Kepulangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dari China ke tanah air rupanya membuahkan hasil. Hal tersebut menyusul komitmen investasi yang didapatkan dari perusahaan asal China, Xinyi International Investment Limited senilai US$ 11,5 miliar atau setara Rp 175 triliun (asumsi kurs Rp 15.107 per US$). Jokowi mengungkapkan Tiongkok merupakan mitra strategis bagi Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia mengapresiasi dan menyambut baik rencana investasi yang akan dilakukan Xinyi Group (CNBC Indonesia, 29/7/2023).



Sementara itu, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menjelaskan rencana investasi Xinyi Group senilai US$ 11,6 miliar tersebut, meliputi pengembangan ekosistem rantai pasok industri kaca serta industri kaca panel surya di Kawasan Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Menurut Bahlil investasi Xinyi Group ini merupakan bukti tingginya kepercayaan investor kepada pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Mengingat, Xinyi Group merupakan perusahaan pemain kaca terbesar di dunia.


Menyusul komitmen investasi Indonesia dengan China, Erwin menyebutkan ada beberapa nilai minus bahkan berbahaya diantaranya, pertama terdapat syarat-syarat dalam dana investasi yang menguntungkan Cina, yaitu kewajiban menggunakan material dan TKA dari Cina. Jika investasi Cina meningkat 70% dengan jumlah TKA nya meningkat 125%, maka jumlah TKA di Indonesia akan meningkat. Jadi jumlah tenaga kerjanya lebih banyak daripada uang yang diinvestasikan. Kedua, berpotensi pada hilangnya kedaulatan ekonomi dan politik dari negara debitur, seperti Indonesia. “Pada akhirnya, kebijakan ekonomi dan politik kita akan disetir Cina, bukan tidak mungkin dalam waktu dekat, mata uang Indonesia akan bersandar pada yuan.” Ketiga, terdapat potensi mudarat atau dharar (berbahaya), seperti bahaya ideologi komunisme yang dianut Cina. Jika paham komunisme/ateis atau anti ketuhanan disebarkan di Indonesia, maka akan berbahaya bagi ajaran agama rakyat Indonesia, padahal Indonesia merupakan negara mayoritas muslim yang sangat berketuhanan. Jika mereka sebagai investor, maka kita akan disetir.


Pernah suatu parpol mengusulkan UU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang sangat kental dengan komunisme karena ada track record hubungan antara partai ini dengan Cina. Akibatnya, kepentingan Cina disusupkan melalui parpol, birokrat, aparat kepolisian, bahkan tentara. Keempat, bahaya selanjutnya adalah bahaya ekonomi, yaitu defisit neraca perdagangan. Saat berdagang dengan Cina, kita tidak mungkin untung karena harga barang di Cina jauh lebih murah. Yang terjadi adalah defisit perdagangan dan barang Cina membanjiri Indonesi. Kelima, bahaya budaya, seperti seks bebas. Di Cina, budaya seks bebasnya luar biasa. Ketika pertukaran pelajar, misalnya, akan terjadi akulturasi budaya, salah satunya seks bebas. Keenam, bahaya kerusakan lingkungan atau ancaman bencana pada lokasi infrastruktur, sebagaimana tercantum dalam UU Omnibus Law. Dalam perspektif kapitalisme, AMDAL dianggap menghalangi investasi, sehingga harus dihilangkan. Ketujuh, bahaya konflik sosial pada lokasi pembangunan infrastruktur, seperti konflik saat pembebasan lahan. Apa hebatnya melakukan pembangunan, tetapi mengusir warga tanpa kejelasan, bahkan sampai meninggal. Ini jelas adalah bentuk kedzaliman. 



Investasi China di Indonesia terus meningkat dan pemerintah pun menyediakan berbagai macam kemudahan. Di sisi lain, hal ini berpotensi menambah ‘utang’ Indonesia dan terjerumus dalam jebakan utang Investasi asing tanpa perhitungan berpotensi menjadi bentuk penjajahan terselubung yang makin kuat negara pemberi hutang, apalagi dalam skema riba. Investasi asing semestinya tidak dipandang sebagai sesuatu yang mampu memeratakan pembangunan di Indonesia, pun dengan utang yang kian menumpuk dan bejibun. Indonesia juga seharusnya tidak merasa baik-baik saja. Meski rasio utang terhadap PDB masih lebih rendah dari batas aman ketentuan, yakni sebesar 60%, Indonesia harusnya berada di zona waspada. 


Berbagai macam bahaya yang mengancam negri ini diakibatkan sistem kapitalisme yang diterapkan oleh Indonesia. Dalam ekonomi kapitalisme, hanya mengenal kebebasan kepemilikan. Dengan prinsip ini, siapa pun yang bermodal berhak memiliki apapun yang bisa diperjualbelikan. Tidak terkecuali aset-aset yang menjadi milik publik, seperti barang tambang, sungai, laut, bandara, pelabuhan, tol, jalan raya, dan lainnya. Dalam sistem ini, untuk membangun dan memajukan negara, pendapatannya bergantung pada investasi dan utang. Dan dalam tata kelola SDA nya juga masih dikendalikan para pengusaha. Akibatnya negara yang ketergantungan dan kecanduan utang akan menjual aset- aset pentingnya jika terbukti tidak bisa melunasi utang kepada negara pemberi utang. 


Namun akan berbeda jika negara ini menerapkan sistem Islam. Islam dengan sistem ekonomi dan politiknya mampu menyediakan modal yang sangat besar untuk pembangunan negara tanpa utang. Dalam membangun dan memajukan negara. Negara Islam (Khilafah) tidak akan bergantung pada investasi dan utang. Dalam pandangan Islam, utang luar negeri adalah alat penjajahan asing untuk menjerat negeri-negeri Islam. Kegiatan investasi yang dilakukan wajib terikat syariat Islam. Negara akan mengatur sebuah regulasi bahwa siapapun yang ingin terlibat dalam investasi wajib memahami syariat dengan seksama, sehingga bisa terhindar dari investasi yang diharamkan dalam Islam. Dalam hal permodalan, harta yang dijadikan modal haruslah diperoleh secara halal, baik milik pribadi ataupun dari sumber lain yang halal. 


Dalam Islam, kepemilikan harta dikelompokkan dalam tiga aspek, yaitu individu, umum, dan negara. Dalam hal kepemilikan umumum, negara dilarang memperjualbelikannya kepada individu atau swasta. Satu-satunya pihak yang berhak mengelola harta milik umum adalah negara. Hasil pengelolaannya wajib dikembalikan kepada rakyat karena pemilik kekayaan milik umum sejatinya adalah rakyat.


Dalam aspek pembangunan dan infrastruktur, Khilafah memiliki sumber pendapatan yang besar tanpa harus berutang. Sumber pendapatan tersebut berupa pos-pos pemasukan yang dikelola baitulmal, seperti fai, kharaj, jizyah, ganimah, usyur, pengelolaan SDA, dan harta milik negara. Pengelolaan SDA dengan cara Islam akan menjadikan negara memiliki sumber pemasukan yang besar, termasuk Indonesia dengan kekayaan SDA-nya. Dengan sistem Islam, Indonesia dan negeri muslim lainnya bisa menjadi negara yang kuat dan mandiri.


Kutipan dalam buku Negara Gagal karya ekonom asal Turki-Amerika, Daron Acemoglu, mungkin patut kita renungi bersama, “Kemajuan atau kemunduran suatu negara ditentukan oleh desain institusi politik dan ekonominya. Suatu negara dapat terus berjalan dan mencapai titik kemakmuran apabila dikelola dengan cara yang tepat. Oleh karenanya, cara yang tepat untuk membangun institusi politik dan ekonomi yang mampu membuat negara berdikari adalah dengan sistem Islam kaffah. Jadi hanya dengan sistem Islam sajalah Indonesia akan menjadi negara adidaya.Wallahu a’lam bisshowab.

Posting Komentar

0 Komentar