Home

Elon Musk membahas soal Khilafah dihadapan ribuan undangan dalam agenda yang besar, agenda yang gak main-main yakni konferensi pemimpin negara-negara pemerintahan dunia atau KTT Pemerintahan Dunia dengan tema "Membentuk Pemerintah-Pemerintah Masa Depan” yang diselenggarakan di Dubai, Uni Emirat Arab, pada 13 dan 14 Februari kemarin. Ia mengatakan bahwa “Jika Anda melihat naik turunnya peradaban sepanjang sejarah, peradaban telah bangkit dan jatuh, tetapi itu tidak berarti malapetaka umat manusia secara keseluruhan, karena mereka telah diberikan semua peradaban terpisah yang dipisahkan oleh jarak yang sangat jauh, Musk juga mencontohkan terkait sejarah jatuhnya Roma sementara umat Islam bangkit dengan ke-Khilafahan-nya sebagai contoh peradaban yang menghasilkan pelestarian pengetahuan dan kemajuan ilmiah. "Ketika Roma runtuh, Islam bangkit, Anda memiliki kekhalifahan yang baik sementara Roma buruk. Dan itu akhirnya menjadi sumber pelestarian pengetahuan dan banyak kemajuan ilmiah," katanya dikutip dari foxbussines.com. CEO Tesla ini berani mengatakan kata 'Khilafah' dihadapan ribuan undangan dari berbagai negara tersebut bahkan memuji kemajuan peradaban ketika khilafah tegak pada masa lalu. Dari sini kita sebagai muslim seharusnya malu, seorang Atheis saja memuji kemajuan peradaban Islam, kenapa malah ada dari segolongan kita justru enggan serta menghadang orang yang memperjuangannya, mempersekusi orang yang mendakwahkannya dan juga menolaknya, dengan alasan takut negaranya nanti berperang, terpecah belah atau alasan yang konyol lainnya, ini justru menampakkan kejumudan kita dan kelemahan kita, kalau kita tidak percaya diri dengan ajaran agama kita berarti memang perlu dibenahi iman kita, agar bisa kembali lagi kejalan yang lurus. www.pojokkota.com

Koruptor Tetap Nyaleg, Bukti Bobroknya Demokrasi



Oleh : Esnaini Sholikhah,S.Pd

(Pendidik dan Pengamat Kebijakan Sosial)


Tahun 2024 akan ada konstelasi pemilu lagi. Dan seperti biasanya, para kontestan dari berbagai parpol unjuk gigi untuk mendapatkan dukungan rakyat. Namun anehnya, masih ada saja beberapa bekas napi koruptor yang mencalonkan diri sebagai bakal calon legislatif (bacaleg). Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan setidaknya ada 15 mantan terpidana korupsi dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bacaleg, yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Agustus 2023. Para bacaleg mantan terpidana kasus korupsi tersebut mencalonkan diri untuk pemilihan umum (pemilu) 2024 di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana, situasi ini membuktikan bahwa partai politik masih memberi karpet merah kepada mantan terpidana korupsi. Namun ICW menyayangkan sikap KPU yang terkesan menutupi karena tidak kunjung mengumumkan status hukum mereka. (voaindonesia.com, Sabtu, 26/8/2023)


Aturan bacaleg untuk melaju dalam pemilu sempat mendapat larangan dari KPU, namun kemudian pada tahun 2018 MA membatalkan dengan alasan HAM. Kebolehan ini di satu sisi seolah menunjukkan tak ada lagi rakyat yang layak mengemban amanah .Tetapi di sisi lain menunjukkan adanya kekuatan modal yang dimiliki oleh bacaleg tersebut, mengingat untuk menjadi caleg membutuhkan modal yang sangat besar. Orang baik, tanpa dukungan modal tak mungkin dapat mencalonkan diri. Inilah realita demokrasi, yang memunculkan kekhawatiran akan resiko terjadinya korupsi kembali, mengingat sistem hukum di Indonesia tidak memberikan sanksi yang berefek jera, serta hukum yang bisa dibeli.


Padahal sejak runtuhnya kekuasaan orde baru, Indonesia telah menggaungkan perang melawan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Atmosfer orde reformasi yang serba bebas, memberi peluang bagi siapa saja untuk bersuara, termasuk dalam membongkar praktik korupsi. Pemerintah pun menggalakkan program antirasuah di berbagai lembaga pemerintahan. Berbagai poster antigratifikasi begitu mudah masyarakat temukan di berbagai lembaga. Zona berintegritas dan kawasan bebas korupsi menggema nyaris di setiap departemen. Sayang, korupsi tetap subur bak jamur pada musim hujan. Bahkan upaya pemberantasan korupsi hanyalah drama untuk menunjukkan eksistensi penguasa. 


Melihat kondisi ini, seharusnya Pemerintah sebagai pihak yang berwenang mengelola negeri, harus memberikan aturan yang memberikan efek jera kepada pelaku korupsi, bukan malah membiarkan mereka berlaga dalam konstelasi pemilu. Tindakan tegas yang diberikan bertujuan, agar negeri ini terbebas dan tidak terus-terusan dalam kubangan praktik korupsi . Tidakkah para pejabat yang melakukan korupsi menyadari dan bertanya pada diri sendiri, betapa kemewahan yang mereka dapat dari hasil korupsi amat berat pertanggung jawabannya. Lantas, pertanyaan kritisnya adalah, mengapa korupsi terus saja terjadi dan para koruptor bisa tetap eksis tanpa rasa malu?


Sejatinya permasalahan korupsi ini bersumber dari diterapkannya sistem sekuler di negri ini. Sistem hidup sekuler telah menjauhkan manusia dari kesadaran bahwa seluruh aktivitasnya berada di bawah pengawasan Allah Taala. Dalam sistem ini, manusia merasa bebas dan menjadikan harta, tahta, dan jabatan sebagai standar kebahagiaan hidup. Sistem sekuler yang menafikan pengawasan Allah dalam kehidupan sehari-hari, membuat pejabat tidak sulit mengambil harta yang bukan haknya. 


Masyarakat dalam sistem sekuler juga berperan dalam menyuburkan tindak korupsi. Semisal mereka yang bermental instan, akan cenderung menempuh jalan pintas untuk mendapatkan pelayanan cepat dengan melakukan suap atau iming-iming tertentu. Dengan jargon “Ada fulus, urusan mulus. Tidak ada fulus, urusan mampus.” Motto ini menandakan sulitnya pelayanan jika tanpa pelicin berupa imbalan. Hal ini, menunjukkan bahwa justru mereka sendirilah yang berperan menyuburkan tindak korupsi dan penyelewengan dikalangan pejabat. 


Sungguh berbeda jika negri ini diatur dengan sistem Islam. Sistem Islam, menjadikan para pejabat menyadari pentingnya meraih ridho Sang Khalik. Kesadaran ini membuat mereka menjaga sikap wara’ dan menjadikannya sebagai tameng dari segala harta haram. Pun dengan prinsip adanya pengawasan Allah dalam setiap aktivitasnya, membuat para pejabat begitu berhati-hati menjalankan amanah. Baginya kekuasaan bukanlah ladang untuk meraup harta. Sebaliknya, amanah yang diberikan adalah aktivitas untuk menuai pahala. Ini karena amanah untuk mengurus rakyat dan merealisasikan kemaslahatan bukanlah perkara mudah. Inilah realisasi keimanan, hingga jabatan dapat berbuah surga. Selain itu pejabat yang takut dosa tidak akan berani menerima suap dan hadiah. Karena Rasulullah SAW. bersabda, “Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap.” (HR Abu Dawud) 


Masyarakat dalam sistem Islam juga menjadi pribadi yang turut serta mengawasi kinerja para pejabat, mengoreksi, seraya mengingatkan mereka akan pengawasan Allah Yang Maha Mengetahui segala perbuatan manusia. Mereka menjadi pribadi yang siap memberikan muhasabah jika ada pejabat yang melakukan tindakan riswah(suap). Inilah suasana yang tercipta jika rakyat dan pejabatnya berada dalam naungan negara Islam (khilafah).


Dalam hal penyelidikan tindak korupsi oleh pejabat, Khalifah (pemimpin Islam) melakukan penghitungan harta para pejabat sebelum dan sesudah menjabat. Jika ada penambahan harta, negara akan melakukan verifikasi untuk mengetahui penambahan harta itu bersifat syar’i atau tidak. Sanksi dalam Islam juga menjadikan pejabatnya menjauhi segala praktik korupsi. Diantaranya bisa berbentuk publikasi tindak korupsi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati sesuai pertimbangan harta yang dikorupsi. Maka, hanya wakil umat dalam sistem Islam sajalah yang akan kita dapati sanggup menjalankan amanah dan perannya dalam menjauhi tindakan korupsi.


Dengan demikian, jika seluruh elemen berperan aktif dalam upaya pencegahan korupsi maka akan terwujud negara yang bebas dari praktik korupsi dan tidak akan kita jumpai pejabat negara yang berani berbuat perkara yang mendatangkan laknat dari Allah. Wallahu a’lam bisshowab

Posting Komentar

0 Komentar