Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Kekerasan Terhadap Anak, Bukti Rusaknya Tatanan Keluarga

 


Oleh : Afiynoor, S.Kom

(Aktivis Dakwah Surabaya)


Kasus kekerasan bahkan pembunuhan terhadap anak tak kunjung usai. Terbaru, muncul kasus seorang anak bernama Rauf (13 tahun) yang meninggal usai dianiaya dan dibuang ke sungai oleh tiga anggota keluarganya yaitu ibu, paman dan kakeknya (tribunnews.com, 07/10/2023). Alasannya kesal karena Rauf sering mencuri. 


Ada beberapa fakta yang berkaitan dengan kasus ini. Pertama, kedua orang tuanya berpisah dan Rauf tinggal dengan neneknya. Kedua, Rauf lebih sering tinggal di pos ronda dan tempat umum lainnya. Ketiga, untuk makan Rauf sering meminta-minta dan mencuri di sekitar tempat tinggalnya. Hal terakhir inilah yang membuat ibunya kesal sehingga memicu penganiayaan yang berujung pembunuhan.


Anak menjadi korban ketika terjadi perpisahan kedua orang tua. Kehidupan keluarga yang tidak tampak didalamnya kasih sayang diantara anggota keluarga juga akan membentuk karakter anak. Keluarga yang didera kemiskinan juga dapat memicu tekanan bagi anggota keluarga, apalagi banyak tuntutan kehidupan yang harus dipenuhi, yang masih termasuk tuntutan yang mendasar atau pokok seperti makan, minum, air, listrik, bayar kontrakan, dll. Hal ini dapat memicu stress yang berkepanjangan pada keluarga. Akhirnya, rusaklah tatanan keluarga karena rentan terjadi kekerasan, pertengkaran, eksploitasi, penelantaran anak, dsb.


Persoalan Rauf bukan terfokus hanya pada kekesalan sesaat seorang ibu kepada anaknya. Lebih jauh dari itu, terlihat betapa kacaunya kehidupan keluarga mereka. Dan kekacauan ini menunjukkan lemahnya tatanan keluarga yang terbentuk. Bukan hanya pada keluarga Rauf, tetapi juga pada keluarga-keluarga yang lain di masyarakat. 


Berdasarkan laporan Statistik Indonesia 2023, kasus perceraian di Indonesia mencapai 516.334 kasus pada tahun 2022. Angkanya meningkat 15% dibandingkan 2021 yang mencapai 447.743 kasus (data.goodstats.id, 22/05/2023). Faktor perselisihan dan pertengkaran mendominasi penyebab perceraian. Jumlahnya sebanyak 284.169 kasus atau sama dengan 63,41%. Diluar itu, terdapat beragam penyebab seperti kemiskinan, perselingkuhan dll. Bisa dibayangkan, terdapat 500-an ribu keluarga yang lemah tak berdaya diterjang badai perceraian. Bukan angka yang sedikit.


Sedangkan untuk kasus kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan yang cukup besar pada tahun 2022, yakni mencapai 16.106 kasus dari yang sebelumnya 14.517 kasus pada 2021. Dari belasan ribu kasus itu didominasi oleh kekerasan seksual yang mencapai 9.588 kasus. Artinya, sejumlah itu pula keluarga yang tidak mampu melindungi anak dari kekerasan. Ini sangat memprihatinkan karena keluarga seharusnya menjadi benteng perlindungan terakhir bagi anak. 

Hal ini perlu diperhatikan secara serius, bagaimana bahayanya ketika keluarga sudah tidak mampu lagi melindungi anak atau anggota keluarga yang ada didalamnya. Lebih berbahaya lagi jika pemerintah pun tidak mampu menciptakan ketahanan keluarga yang kuat. Apalagi sampai negara tidak lagi mampu melindungi anak yang menjadi tanggung jawabnya. Kemana anak-anak bangsa ini akan mencari perlindungan dari kekerasan yang mengintai mereka setiap saat? 


Benteng perlindungan yang utama adalah negara, karena negara yang memiliki kekuatan dan kemampuan dalam menyediakan perlindungan bagi rakyatnya. Negara dalam hal ini seharusnya memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, menjauhkan mereka dari kemiskinan. Sehingga keluarga yang terbentuk di masyarakat adalah keluarga yang sejahtera, mampu terpenuhi hak-hak hidupnya yang mendasar. Negara juga seharusnya memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi rakyatnya jika terjadi pelanggaran, kejahatan, kekerasan, dll. Sehingga tercipta keadilan di masyarakat, tanpa tebang pilih.


Benteng kedua adalah masyarakat, dimana dalam masyarakat ada penjagaan kolektif seperti yang disebutkan dalam sebuah hadis perumpamaan seperti penumpang dalam sebuah perahu. Jika tidak ada yang mencegah kemungkaran maka perahu akan tenggelam. Begitu juga masyarakat, jika tidak ada yang menjaga dari keburukan niscaya akan terjadi kerusakan yang meluas. Membangun kebiasaan saling menasehati, saling menghormati, berbuat baik satu sama lain akan terbangun masyarakat yang terjaga dari keburukan. 


Benteng terakhir adalah keluarga. Dalam keluarga yang dipimpin oleh ayah yang sholih dan pendidikan utama dari seorang ibu yang sholihah akan menjaga anak-anak dan anggota keluarga yang lain dari kemaksiatan. Nilai yang dibangun bukan berdasarkan materi tetapi berdasarkan keimanan dan ketakwaan. Sehingga mampu melewati masa-masa sulit kehidupan dengan saling menguatkan satu dengan yang lain, bukan malah saling menyalahkan atau bahkan saling menyakiti. Fitrah seorang ibu pastilah melindungi dan menjaga anak-anaknya, bukan malah menyiksa. Fitrah seorang ayah pastilah memastikan keamanan bagi keluarganya. Tatanan keluarga akan menjadi kuat dibawah kepemimpinan ayah. 


Masing-masing memiliki tugas dan wewenang yang berbeda. Asalkan berjalan sesuai dengan kewenangannya, niscaya terwujud sebuah sistem kehidupan yang saling menjaga. Sayang, yang terjadi saat ini tidaklah demikian. Negara yang abai terhadap kesejahteraan dan kebutuhan rakyatnya hanya akan menciptakan masyarakat yang rusak. Wajar jika yang tercipta adalah tatanan keluarga yang rentan terhadap kekerasan.

Posting Komentar

0 Komentar