Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Anak meninggal karena gagal ginjal, siapa yang pantas disalahkan?

 


Oleh : Esnaini Sholikhah,S.Pd

(Penulis dan Pegamat Kebijakan Sosial)


Puluhan keluarga korban pasien gagal ginjal akut, menuntut Pemerintah tidak lepas tangan dengan tetap menangani perawatan, juga pengobatan anak-anak mereka hingga betul-betul pulih. Pasalnya ada sejumlah anak yang dirawat di rumah sakit dan diduga mengalami kelumpuhan akibat gangguan saraf, yang disebabkan oleh keracunan obat sirup. Kasus gagal ginjal akut pada anak mengalami lonjakan pada Agustus hingga Oktober 2022. Kasus ini diduga berkaitan dengan tingginya cemaran dari pelarut obat sirup yang menyebabkan pembentukan kristal tajam di dalam ginjal. Dalam perkembangannya, setidaknya per 5 Februari 2023, sudah terdapat 326 kasus gagal ginjal anak dan satu suspek yang tersebar di 27 provinsi di Indonesia. Dari kasus tersebut, saat itu dilaporkan total 204 anak meninggal dunia, sedangkan sisanya sembuh, tetapi dilaporkan masih terdapat pasien yang menjalani perawatan di RSCM Jakarta pada awal 2023. (BBCNewsIndonesia, 21/12/223)


Kasus kematian anak penderita gagal ginjal akut berbuntut pada, tuntutan atas BPOM yang dianggap tidak sesuai standar dalam menetapkan prosedur penerbitan izin edar obat. Diketahui korban mengonsumsi obat sirop merek Praxion sebelum menderita gagal ginjal akut dan kemudian meninggal dunia. Merek tersebut sudah dinyatakan aman oleh BPOM, menyusul rentetan kasus gagal ginjal akut pada anak (GGAPA) Desember lalu. Pengujian terbaru yang dilakukan terhadap tujuh sampel obat tersebut pada Februari menunjukkan, semua sampel memenuhi ambang batas kandungan etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG), cemaran yang diduga menyebabkan gagal ginjal akut, menurut BPOM. Aturan yang kurang menyeluruh menjadikan tidak diterapkannya standar mutu tinggi, untuk menjaga keamanan obat dan makanan yang akan menjamin keselamatan rakyat. (BBCNewsIndonesia, 8/2/2023)


Pakar Teknologi Farmasi di Universitas Gadjah Mada, Teuku Nanda Saifullah Sulaiman mengatakan, bahwa dalam masalah terkait produk obat, tanggung jawab ada pada pabrik yang memproduksi. Adapun soal pengawasan, menurut Saifullah tidak mungkin BPOM mengecek satu per satu produk dari setiap pabrik, yang setiap hari memproduksi sirup sekian banyak. “Jadi based on data yang dilaporkan, kemudian diputuskan bahwa itu aman karena tidak mengandung cemaran atau mengandung dalam batas yang aman, ada bukti pengujiannya. Bagaimanapun, ia menegaskan bahwa masih banyak yang belum diketahui dalam kasus terbaru ini. Rahmad Handoyo, anggota Komisi IX DPR RI yang membawahi bidang kesehatan mengatakan, tanggung jawab pengujian mutu obat tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada produsen.


Sikap saling melempar tanggung jawab pada kasus meningkatnya gagal ginjal akut pada anak, menunjukkan lalainya Negara dalam menjamin keamanan obat dan makanan, termasuk upaya Negara dalam mencerdaskan rakyat akan pentingnya keamanan obat dan makanan.


Sangat berbeda dengan Islam, Islam menetapkan Negara sebagai pengurus dan pelindung rakyat dalam semua aspek kehidupan, termasuk keamanan makanan dan obat. Dalam Islam, kesehatan, pendidikan, sandang, pangan, dan papan adalah kebutuhan dasar masyarakat, Negara wajib memenuhinya tanpa kompensasi. Kebutuhan pokok ini akan menjadi perhatian utama, karena kesehatan merupakan salah satu layanan yang wajib dipenuhi Negara kepada rakyatnya. 


Ada lima prinsip jaminan kesehatan dalam Islam. Pertama, Negara wajib menjamin kesehatan rakyat. Artinya Negara bertanggung jawab penuh memberi jaminan seluruhnya untuk rakyat. Negara tidak akan memungut biaya pada perkara yang sudah disebut dengan “jaminan”. Kedua, kesehatan adalah kebutuhan dasar bagi rakyat. Oleh karenanya, layanan yang diberikan haruslah semaksimal dan seoptimal mungkin, karena hal itu merupakan kewajiban Negara sebagai raa’in (pengurus rakyat) dan hak warga negara mendapat kesehatan layak. Ketiga, Negara wajib memberi pelayanan, ketersediaan alat, hingga sistem gaji yang memadai pada tenaga kesehatan. Ini karena sejatinya Negaralah yang memiliki kendali penuh atas pelayanan dan penyediaan fasilitas kesehatan rakyat. 


Keempat, pembiayaan sektor kesehatan. Semua pembiayaan di sektor ini bersumber dari pos-pos pendapatan negara, seperti hasil hutan, barang tambang, harta ganimah, fai, kharaj, jizyah, ‘usyur, dan pengelolaan harta milik negara lainnya. Sehingga masyarakat mudah mengakses layanan kesehatan tanpa terhalangi kondisi geografis atau lokasi pelayanan kesehatan yang jauh, bebas biaya, yang berarti setiap warga berhak mendapat layanan kesehatan secara gratis tanpa dipungut biaya. Kelima, kendali mutu sistem kesehatan berpedoman pada tiga strategi, yakni administrasi yang sederhana, segera dalam pelaksanaan, dan dilaksanakan oleh individu yang kapabel. 


Rasulullah ﷺ pernah menerapkan layanan kesehatan gratis ketika rombongan dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam, mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah ﷺ selaku kepala Negara meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul mal di dekat Quba’. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh. Saat Umar menjabat sebagai Khalifah, ia juga telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikit pun imbalan dari rakyatnya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, 2/143).


Untuk itu kesehatan gratis dan berkualitas memang hanya mampu terwujud dalam sistem Khilafah. Negara benar benar menetapkan standar kualitas tinggi untuk rakyat, sehingga rakyat benar-benar terlindungi, pun Negara juga menyiapkan SDM professional dan amanah dalam berbagai hal lain yang dibutuhkan, agar menghasilkan sistem kewaspadaan yang cermat dan berkualitas bagi rakyat. Wallahu a’lam bisshowab

Posting Komentar

0 Komentar