Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Refleksi Hari Ibu: Benarkah Perempuan Berdaya, Indonesia Maju?

 


Oleh : Esnaini Sholikhah,S.Pd

(Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial)


Menyongsong peringatan Hari Ibu Nasional, yang diperingati setiap tanggal 22 Desember, maka untuk peringatan tahun ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KemenPPPA) telah merilis tema Hari Ibu ke- 95 tahun 2023 ini, yaitu dengan tema 'Perempuan Berdaya, Indonesia Maju. (CNNIndonesia, 17/12/2023)


Dalam setiap seremoni yang berhubungan dengan perempuan, entah itu Hari Ibu, Hari Kartini, Hari Perempuan International, atau Hari Keluarga Nasional, maka peran kaum hawa di ranah domestik dan publik selalu mendapat sorotan. Di negara Indonesia perempuan senantiasa diminta untuk menjadi pejuang bagi keluarga, masyarakat, dan Negaranya. Sudah hal yang umum jika perempuan harus berdaya dan setara, tidak terkungkung di bawah laki-laki, serta tidak harus melulu menunggu nafkah dari suaminya. Inilah ide yang digaungkan oleh Barat, yang disebut sebagai pemberdayaan ekonomi perempuan. Barat memandang bahwa populasi kaum perempuan yang jumlahnya lebih banyak dari kaum laki-laki, sehingga menjadikan para perempuan merupakan pangsa pasar yang besar, yang pada akhirnya menggiring perempuan untuk memperluas akses berpartisipasi di segala bidang pembangunan. Harapannya, kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dapat terlaksana dan pembangunan bisa berjalan. 


Laporan UNESCO 2015 menyebutkan hanya 30% perempuan yang berkiprah di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics), sektor ini adalah sektor yang sangat menjanjikan secara finansial bagi kaum perempuan. Inilah sebab upaya pemberdayaan perempuan di era digital menjadi fokus masyarakat dunia beberapa tahun belakangan ini, termasuk Indonesia yang pelaku ekonominya didominasi perempuan. Dengan banyaknya perempuan yang berkiprah di dunia kerja, pada akhirnya Negara mendorong perempuan menjadi motor penggerak perekonomian. 


Sungguh, jubah moderasi telah menggerus nilai-nilai agama terkait peran utama perempuan. Jelas terlihat bahwa Barat berusaha menjauhkan muslimah dari Islam dengan dalih kesetaraan gender, kebebasan, dan keadilan. Semua ini tidak lepas dari masifnya pengaruh materialisme yang mengukur segala keberhasilan dalam bentuk materi. Istri berhak mengatur suami manakala penghasilannya lebih tinggi daripada suami. Tidak heran jika perempuan merasa kekuasaannya lebih rendah di dalam ikatan pernikahan ketika tidak menghasilkan materi. Inilah ide feminisme yang lahir dari sistem kapitalisme, yang menjadikan perempuan berkuasa dalam hubungan pernikahan. Pada akhirnya, yang paling banyak membawa materi ke dalam keluargalah yang berkuasa.


Profesi ibu rumah tangga dalam sistem kapitalisme sepenuhnya dipandang sebelah mata. Apalagi jika perempuan bergelar akademik, kaum feminis menganggapnya sebagai kesia-siaan. Mereka menganggap perempuan dengan tugas reproduksi dan domestiknya seolah-olah tidak berkontribusi apa-apa dalam pembangunan. Definisi Ibu berdaya dimaknai ibu menghasilkan materi atau uang, dan juga berpolitik praktis. Disinilah akhirnya peran ibu mengalami pembajakan, karena seharusnya ibu sebagai pendidik generasi yang kelak dari tangan para ibulah generasi generasi hebat dapat dihasilkan. Mirisnya hari ini marak problem generasi dari segala aspek, salah satunya karena kurangnya peran ibu dalam mendidik mereka, seperti kasus seks bebas, kecanduan narkoba, bullying, dan lain lain.


Sangat berbeda dalam Islam, persoalan mencari nafkah dan perlindungan terbebankan pada suami atau wali, bukan pada perempuan dalam kapasitasnya sebagai anak, istri, ataupun ibu. Itu semua agar si ibu bisa optimal menjalankan tugasnya mengasuh dan mendidik anak. Jika sudah tidak ada suami atau wali, urusan nafkah dan perlindungan terhadap perempuan beralih pada Negara.

Dalam mukadimah kitab Dustur Nizham al-Ijtima’i karya syaikh Taqiyudin An Nabhani dinyatakan bahwa, hukum asal seorang perempuan dalam Islam adalah ummu wa rabbatul bayt, sebagai ibu bagi anak-anaknya dan pengelola rumah bagi suaminya, ibu juga merupakan kehormatan yang wajib terjaga. Artinya, dalam sektor domestik, Islam menetapkan dua peran penting bagi seorang perempuan, yaitu sebagai ibu dan pengelola rumah tangga.


Karena itu, berbahagialah bagi seorang perempuan yang dengan peran domestik tadi, Allah SWT, muliakan dirinya. Diriwayatkan bahwa Jahimah As-Salami pernah memohon izin kepada Rasulullah SAW, untuk berjihad. Rasul bertanya kepadanya apakah ia masih memiliki ibu. Saat Nabi saw. mengetahui bahwa ia meninggalkan seorang ibu, beliau bersabda, “Hendaklah engkau tetap berbakti kepada dia karena surga ada di bawah telapak kakinya.” (HR ath-Thabrani dan an-Nasa’i).


Adapun peran muslimah di sektor publik, mereka tidak boleh menjadi mesin penghasil uang atau komoditas ekonomi atas nama pemberdayaan. Ini karena Islam memuliakan perempuan dan menjaganya dari segala sesuatu yang buruk dengan menetapkan rambu-rambu bagi kehidupan khusus dan kehidupan umumnya. Bekerja, bagi perempuan, hukumnya mubah, boleh-boleh saja selama sesuai bidang keilmuan yang ia kuasai, mendapat izin suami atau wali, menutup aurat, dan menjaga interaksi dengan lawan jenis. Terpenting, status bekerja tadi bagi si perempuan bukan karena tekanan ekonomi dan sosial, serta peran ganda sebagai pencari nafkah sekaligus pengurus rumah tangga untuk keluarganya. Sungguh, Islam sangat menjaga dan memuliakan wanita.


Melalui peringatan Hari Ibu ini, marilah kita merenungkan bahwa pemberdayaan ekonomi perempuan dalam pusaran kapitalisme tidak lebih dari eksploitasi belaka. Terlebih dalam ekonomi digital, peran perempuan dibidik sebagai target global. Dengan demikian, para ibu seyogyanya merenungi ulang perannya dalam ranah domestik dan publik, sesuai tuntunan syariat, bukan pada aturan buatan Barat. Maka sungguh perlu adanya revitalisasi peran ibu sebagai pendidik generasi. Dan sudah seharusnya mengembalikan peran ibu sesuai dengan perintah Allah demi mewujudkan generasi berkepribadian mulia. Hal itu membutuhkan tegaknya sistem Islam bernama Khilafah. Wallahu a’lam bisshowab.

Posting Komentar

0 Komentar