Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Siapa yang akan menjamin keamanan penggunaan E-sertifkat?

Oleh: Rina Setyaningrum (Ibu Rumah Tangga Ideologis)


Pada tanggal 4 Desember 2023, sekitar 2,5 juta masyarakat dari berbagai daerah telah mendapatkan sertifikat tanah elektronik. Upaya yang dilakukan pemerintah dengan adanya E-sertifikat diharapkan dapat mengurangi konflik tanah, meminimalkan risiko kehilangan, memudahkan pemantauan data, dan menghindari praktik mafia tanah. Tahun 2023 ditargetkan penyelesaian 120 juta sertifikat, sementara sisanya 6 juta sertifikat direncanakan diselesaikan pada tahun 2024.


Dengan berbagai kemudahan yang diberikan pemerintah saat ini, diharapkan dapat meringankan tugas negara dalam mengelola sertifikat tanah. Namun, jika kita telaah fakta yang terjadi, masalah sengketa lahan bukan semata-mata terletak pada adanya atau tidak adanya sertifikat, tetapi lebih pada siapa yang memiliki kepentingan atas lahan yang dipermasalahkan, yang melibatkan pengusaha yang akan mengelola tanah tersebut.


Berbagai kasus seperti yang terjadi di Wadas, Rempang, dan penambangan batu bara merupakan bukti bahwa arogansi kepentingan dapat memicu konflik perebutan lahan, perampasan, dan pengambilan secara paksa atas tanah yang merupakan ruang hidup masyarakat, bahkan mata pencaharian mereka terancam hilang.


Seharusnya, upaya pemerintah dalam mengatasi konflik tanah tidak hanya sebatas pemberian sertifikat tanah, tetapi yang terpenting adalah menyelesaikan akar masalahnya. Sejak pencanangan proyek strategis nasional dan disahkannya UU Cipta Kerja, banyak wilayah yang sebelumnya merupakan area persawahan dan perkebunan beralih fungsi menjadi pabrik dan tambang besar-besaran karena keserakahan perusahaan atas lahan masyarakat yang dengan mudah mereka kuasai karena kedekatannya dengan penguasa.


Alasan ketiadaan sertifikat tidak bisa dijadikan pembenaran untuk mengusir masyarakat secara paksa dari tanah kelahiran mereka, meskipun mereka telah tinggal di sana selama berabad-abad. Ini tidak dapat meluluhkan arogansi penguasa demi memuaskan oligarki. Di dalam sistem kapitalisme, jaminan kepemilikan pada individu hanya dapat diperoleh jika itu menguntungkan korporasi dan penguasa. Berharap negara akan mengurus segala kebutuhan rakyatnya dalam sistem kapitalisme hanyalah sebuah mimpi, karena kebijakan yang dilakukan pemerintah cenderung memudahkan perusahaan untuk menguasai lahan yang diperebutkan. Rakyat yang seharusnya memiliki hak atas lahan hanya bisa pasrah, sehingga konflik lahan semakin meruncing, dan negara yang seharusnya melindungi rakyat justru menciptakan kegaduhan, menyebabkan rasa aman masyarakat semakin terancam.


Masalah konflik lahan yang marak terjadi dapat diatasi jika kita mau kembali pada aturan yang dapat menjaga hak-hak masyarakat, yakni dengan menerapkan aturan yang berasal dari Sang Pencipta Alam Semesta. Islam memiliki solusi untuk menyelesaikan akar masalah sengketa lahan dengan menerapkan aturan pertanahan dan hak milik tanah yang dapat diakui melalui surat jual beli, tanah warisan, tanah hibah, atau hasil dari menghidupkan tanah yang telah mati. Negara harus senantiasa menjaga dan melindungi hak-hak yang seharusnya didapat oleh rakyat. Hutan, padang rumput, dan sumber daya alam yang melimpah tidak boleh dimiliki oleh individu atau perusahaan swasta, karena itu milik umum yang seharusnya dikelola oleh negara demi kepentingan rakyat. Melindungi dan mengurus urusan umat adalah tugas negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Posting Komentar

0 Komentar