Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Jika Pungli Sudah Terjadi di Lembaga KPK, Begini Cara Menyelesaikannya!

 


Oleh: Indha Tri Permatasari (Aktifitas Muslimah)


Jika kita ingin membersihkan lantai yang kotor, maka seharusnya tidak menggunakan sapu yang sudah tercemar. Perumpamaan ini tampaknya pantas untuk menggambarkan lembaga antikorupsi saat ini yang terjerat dalam berbagai skandal. Salah satu skandal terbesar adalah terungkapnya keterlibatan 93 pegawai rumah tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam praktik pungutan liar. Meskipun kasus ini sudah lama terjadi, namun baru-baru ini terungkap setelah Dewan Pengawas KPK melakukan penyelidikan terhadap 190 saksi yang telah diperiksa. Hasilnya, 93 pegawai rutan KPK akan menjalani sidang etik oleh Majelis Etik Dewas KPK.


Tidak hanya pegawai yang terlibat dalam pungli, bahkan pimpinan tertinggi lembaga ini juga terjerumus dalam kasus pemerasan. Ironisnya, lembaga yang seharusnya bersih dari korupsi malah mengotori dirinya sendiri dengan adanya pegawai yang tidak memiliki integritas. Seperti lantai yang ingin dibersihkan, KPK dihadapkan pada oknum pegawai yang malah terlibat dalam praktik pungli dan rasuah. Oleh karena itu, tidak heran banyak pihak yang mendesak agar KPK "di-restart" untuk melakukan perbaikan menyeluruh terhadap kinerjanya.


KPK memiliki sejumlah catatan negatif dalam upayanya memberantas korupsi. Pertama, revisi Undang-Undang KPK yang menuai kontroversi. Setelah revisi tersebut, semangat dan efektivitas KPK dalam memberantas korupsi menurun. Semua ini dimulai dari kepemimpinan KPK yang bermasalah sejak awal penunjukkannya.


Sosok Firli Bahuli, yang diangkat sebagai ketua KPK, memicu kontroversi sejak awal. Berbagai kontroversi mulai dari naik helikopter mewah, Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai KPK, himne KPK, pemberhentian Brigjen Endar, pembocoran dokumen penanganan kasus korupsi di Kementerian ESDM, hingga dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Beberapa pelanggaran dan sanksi etik berhasil dihindari oleh Firli Bahuli.


Kedua, TWK pegawai KPK. Beberapa waktu lalu, 75 pegawai KPK diberhentikan dengan alasan tidak lulus TWK. Publik menilai TWK sebagai upaya untuk melemahkan KPK dengan cara menghilangkan orang-orang yang berintegritas terhadap pemberantasan korupsi. Bahkan, beberapa pengamat korupsi dan Amnesty Internasional menyebut TWK di KPK—yang berimbas pada pemberhentian puluhan pegawai yang tidak lulus tes—sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia.


Ketiga, keterlibatan puluhan pegawai KPK, termasuk kepala rutan secara berjemaah dalam kasus pungutan liar. Dengan terungkapnya kasus ini, mungkin menjelaskan mengapa ada sel mewah dengan fasilitas luar biasa di dalam penjara koruptor, seperti di Lapas Sukamiskin. Perilaku napi korupsi yang masih bisa bebas keluar, padahal seharusnya mereka sebagai terpidana yang tidak bebas keluar masuk penjara semaunya, juga menjadi pertanda serius.


Kasus pungutan liar kembali menguji sejauh mana KPK mampu memberantas korupsi hingga akar masalah. Mereset ulang KPK dengan pembenahan menyeluruh tidak akan efektif selama sistem yang berjalan justru menyuburkan perilaku korupsi.


Pemberantasan korupsi tidak akan terselesaikan hanya dengan penangkapan koruptor atau operasi tangkap tangan (OTT). Korupsi telah menjadi bagian budaya dalam sistem demokrasi. Jika korupsi telah menjadi budaya dan tradisi, upaya memberantas kejahatan ini akan menjadi sangat sulit.


Sistem demokrasi berdiri di atas asas sekularisme, yang berarti menjauhkan agama (Islam) dari kehidupan. Dengan asas ini, pemimpin dan pejabat negara tidak menggunakan agama (Islam) sebagai pedoman perbuatan. Halal dan haram bukan lagi standar dalam beramal. Akibatnya, mereka rela menggunakan segala cara untuk memperkaya diri. Korupsi atau pungutan liar menjadi salah satu cara tercepat untuk mencapai tujuan tersebut.


Sistem demokrasi juga menghasilkan hukum dan peraturan yang dapat diubah sesuai kepentingan. Sistem ini gagal memberlakukan sanksi hukum yang memberikan efek jera. Faktanya, kebanyakan sanksi bagi pelaku korupsi masih tergolong ringan, bahkan tidak jarang koruptor mendapatkan keringanan hukuman. 


Bagaimana bisa ada efek jera jika hukuman yang dijatuhkan tidak cukup tajam dan pelaku korupsi dapat memanipulasi hukum sesuai keinginan mereka? Hakim yang bisa dipengaruhi, hukum yang dapat dimanipulasi, serta pengawasan yang kurang ketat menunjukkan kelemahan penuh peran negara.


Permasalahan korupsi adalah masalah sistemik yang memerlukan solusi yang sepadan. Di sinilah Islam dapat memberikan jawaban yang tepat. Dalam sistem Islam, salah satu titik kunci dalam penanganan korupsi adalah melalui pengawasan. Sebelum tindakan penindakan, Islam menawarkan solusi pencegahan melalui pengawasan individu, masyarakat, dan negara.


Pertama, pengawasan individu. Kesadaran spiritual yang ditanamkan dalam kehidupan Islam menciptakan rasa takut setiap individu kepada Allah Taala. Dengan menyadari bahwa setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban, individu akan lebih waspada dan bertanggung jawab.


Kedua, pengawasan m


asyarakat. Dengan diterapkannya aturan Islam, masyarakat akan membentuk norma-norma positif di tengah mereka. Masyarakat sendiri menjadi pengontrol dan korektor terhadap perilaku para pejabat negara, sehingga celah untuk melakukan korupsi semakin kecil.


Ketiga, pengawasan negara. Tanpa peran negara, pengawasan individu dan masyarakat tidak akan berarti. Negara memiliki peran penting dalam menetapkan kebijakan, memberlakukan hukum syariat, dan memberikan sanksi yang dapat memberikan efek jera kepada para pelaku korupsi. Mereka akan berpikir ulang sebelum mencoba untuk melakukan tindakan korupsi.


Islam juga memberikan perhatian besar pada kesejahteraan para pejabat negara. Sistem penggajian yang adil, pemenuhan kebutuhan dasar, dan larangan terhadap penerimaan hadiah merupakan langkah-langkah pencegahan agar tidak terjadi praktik suap.


Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), terdapat lembaga yang bertugas memeriksa dan mengawasi kekayaan para pejabat, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan. Ini adalah langkah yang diambil Khalifah Umar bin Khaththab ra. pada masanya, di mana Muhammad bin Maslamah diangkat sebagai pengawas keuangan untuk mengawasi kekayaan para pejabat negara.


Demikianlah, sistem Islam memberikan pendekatan menyeluruh untuk memberantas korupsi. Penerapan sistem Islam yang komprehensif dapat mengatasi korupsi tanpa cela dan memberikan efek jera. Tidak ada sistem yang lebih efektif dalam menyelesaikan masalah ini selain sistem yang berasal dari Sang Pencipta manusia, yaitu Allah Taala.

Posting Komentar

0 Komentar