Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Kenaikan Tarif Tol, Bukti Komersialisasi Layanan Publik

Oleh : Esnaini Sholikhah, S.Pd (Penulis dan Pengamat Kebijakn Sosial)


Kebijakan Pemerintah dalam menaikkan tarif tol sungguh sangat menyakitkan masyarakat. Diketahui pada tahun 2023, Jasa Marga beberapa kali melakukan penyesuaian tarif tol, dan untuk mengawali tahun 2024 kali ini, sebanyak 13 ruas jalan tol rencananya juga akan mengalami kenaikan tarif. Meskipun ruas-ruas tol yang jadwal penyesuaian tarifnya pada tahun 2023 masih dalam proses, namun pada tahun 2024 tetap akan disesuaikan. Menurut Kepala BPJT, Miftachul Munir menyebutkan ke 13 ruas tol yang akan mengalami penyesuaian tarif pada Kuartal I-2024 diantaranya: Jalan Tol Surabaya-Gresik; Jalan Tol Kertosono-Mojokerto; Jalan Tol Bali-Mandara; Jalan Tol Serpong-Cinere; Jalan Tol Ciawi-Sukabumi; Jalan Tol Pasuruan-Probolinggo; Jalan Tol Makassar Seksi 4; Jalan Tol Dalam Kota Jakarta (Cawang-Tomang-Pluit dan Cawang-Tanjung Priok-Ancol Timur-Jembatan Tiga/Pluit). Jalan Tol Gempol-Pandaan; Jalan Tol Surabaya-Mojokerto; Jalan Tol Cikampek-Palimanan (Cipali); Jalan Tol Cibitung-Cilincing Seksi 1; Jalan Tol Integrasi Jakarta-Tangerang dan Tangerang-Merak (Tomang-TangerangBarat-Cikupa).(kompas.com,15/1/24)



Umumnya infrastruktur jalan dibangun dalam rangka memudahkan transportasi rakyat, hal ini karena transportasi adalah fasilitas yang sangat dibutuhkan oleh rakyat, bukan hanyan sekadar urat nadi ekonomi, melainkan merupakan urat nadi kehidupan. Namun ketika jalan yang digunakan untuk akses transportasi dikenakan biaya, disertai dengan kenaikan tarifnya, maka hal ini tentu menjadi beban bagi rakyat. Sebagaimana dikeluhkan oleh sopir-sopir truk pengangkut logistik, biasanya jika keluar tol Palembang tariff yang dikenakan sebesar Rp525 ribu, sekarang naik menjadi Rp550 ribu. 


Imbas kenaikan tarif tol juga dirasakan masyarakat secara umum, khususnya pada berbagai harga barang yang akan mengalami peningkatan, dapat dipastikan beban rakyat semakin bertambah. Adanya kenaikan tarif jalan tol menunjukkan adanya komersialisasi jalan tol, dengan kenaikan secara berkala dengan alasan penyesuaian. Situasi ini menunjukkan bagaimana hubungan rakyat dan penguasa adalah hubungan jual beli, kondisi ini menunjukkan potret buruk sistem yang menjadi landasan kehidupan di Negeri ini.


Realitasnya, disadari maupun tidak, kenaikan tarif tol adalah sebuah kesengajaan yang dilakukan secara berkala dua tahun sekali mengikuti laju inflasi. Hal ini diatur dalam UU 38/2004 tentang Jalan dan PP 15/2005, tentang Jalan Tol dengan perubahan terakhir pada PP 17/2021. Pemerintah maupun operator jalan tol sama-sama menggunakan diksi penyesuaian tarif. Mereka beralasan bahwa kenaikan tarif tol dilakukan sebagai wujud kepastian pengembalian investasi sesuai dengan business plan. Siapa pun yang akan membangun jalan tol, sudah mengetahui tarif ini dari awal. Selain itu, adanya kepastian kenaikan tarif bagi investor, yakni setiap dua tahun akan ada penyesuaian sesuai inflasi. 


Sistem kapitalisme yang menerapkan konsep good governance, membuat Pemerintah sebagai regulator wajib memberikan kemudahan regulasi kepada operator jalan tol yang terikat dalam KPS atau KPBU, serta membenarkan kenaikan tarif tol berulang-ulang, sehingga berlanjut mendapatkan keuntungan yang besar secara terus-menerus. Langkah ini diambil dalam rangka memastikan iklim investasi jalan tol yang kondusif, serta menjaga kepercayaan investor dan pelaku pasar terhadap industri jalan tol yang prospektif di Indonesia, juga untuk menjamin level of service. Selama kapitalisme diberlakukan di Negeri ini, selama itu pula tarif tol akan terus naik, dan yang pasti rakyatlah yang terkena dampaknya. Oleh karena itu, kelalaian Negara ini harus segera dihentikan.


Islam memandang jalan raya adalah bagian dari pelayanan Negara dalam memenuhi kebutuhan pokok dan penting, karena kalan adalah milik umum, dan Negara dilarang untuk mengkomersialisasinya. Pembangunan infrastruktur jalan bertujuan untuk kemaslahatan publik sebagai realisasi tanggung jawab penguasa dalam pelayanan kepada publik, sehingga tidak ada biaya yang harus dibebankan kepada publik alias gratis. Tata kelola transportasi publik dalam Islam merupakan tanggung jawab yang Allah bebankan khalifah (kepala Negara). Rasulullah SAW, bersabda: “Seorang imam Khalifah (Kepala Negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).


Khalifah tidak dibenarkan menyerahkan tanggung jawab tata kelola pelayanan publik kepada swasta atau korporasi, termasuk pengelolaan infrastruktur jalan umum. Syekh Abdul Qadim Zallum dalam buku Sistem Keuangan Negara Khilafah menyebutkan bahwa dari sisi kepemilikan, jalan umum dipandang sebagai infrastruktur milik umum, artinya siapa pun boleh melintasinya tanpa dipungut biaya atau gratis. Tujuan utama pembangunan infrastruktur adalah untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk kemaslahatan swasta atau korporasi. Jalan umum tidak boleh dikelola swasta atau korporasi yang mencari keuntungan dengan cara berbayar bagi yang melintasi.


Adapun untuk mengurangi kebutuhan transportasi, Khilafah akan melakukan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang baik, sebelum membangun sebuah kota, seperti saat di kota Baghdad dijadikan sebagai ibu kota. Saat itu dibangun masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Bahkan, tidak ketinggalan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah. Sehingga sebagian besar warga tidak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, ataupun untuk menuntut ilmu dan bekerja, sebab semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar dan memiliki kualitas yang standar.


Khilafah juga akan membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi termutakhir. Teknologi yang ada termasuk teknologi navigasi, telekomunikasi, fisik jalan, hingga alat transportasinya itu sendiri. Pemanfaatan teknologi elektronik dilakukan oleh Khilafah sebagai bentuk pelayanan kepada publik, bukan untuk meraup keuntungan materi dari masyarakat pengguna jalan. Dengan demikian, tidak diperlukan adanya jalan tol, karena pada dasarnya, publik menginginkan jalan yang mudah dan cepat untuk mencapai tujuannya, agar segala aktivitas mereka dapat terlaksana dengan baik tanpa dibebani berbagai pembayaran yang memberatkan. Hal ini tidak mungkin terjadi dalam sistem kapitalisme yang berorientasi mencari keuntungan materi semata, bukan memberi kemudahan dan bukan melayani publik.


Oleh karenanya, Negara harus segera beralih dari sistem kapitalisme ke sistem yang memberikan kemudahan dan kesejahteraan, yaitu sistem kehidupan Islam (Khilafah), dimana Negara dalam Islam akan menjamin kebutuhan rakyat dalam bidang transportasi sehingga umat dapat beraktivitas dengan nyaman. Seperti firman Allah SWT, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d [13]: 11).Wallahu a’lam bisshowab.

Posting Komentar

0 Komentar