Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

"Krisis Hutan di Indonesia: Menggali Akar Deforestasi dan Mencari Solusi"


Oleh: Esnaini Sholikhah, S.Pd (Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial)


Perkembangan deforestasi di Indonesia semakin masif, dipicu oleh alih fungsi hutan yang terus terjadi, kondisi ini menyebabkan bencana dan kesulitan hidup bagi rakyat. Menurut World Population Review, lembaga yang menyediakan data populasi dan demografi global, berdasarkan luas deforestasi sejak 1990, Indonesia menjadi negara kedua di dunia dengan tingkat deforestasi terparah pada 2024, setelah Brasil. Dalam laporan deforestasi tahunan mereka, disebutkan ada 10 negara yang menjadi tersangka utama, karena sebagian besar deforestasi terjadi di hutan hujan dan hutan.


Mengutip situs Liputan6.com pada Senin (22/1/2024), deforestasi mencakup hutan hujan Amazon di Brasil dan sebagian wilayah Amerika Selatan, serta kumpulan hutan hujan di Asia, terutama di dekat Myanmar. Meskipun banyak inisiatif telah dimulai untuk mengurangi dampak deforestasi, kondisi sosioekonomi negara-negara tersebut telah mempersulit upaya menghentikan perburuan liar dan aktivitas ilegal, seperti pengambilan kayu dan hewan liar dari habitatnya.


Saat ini, banyak negara maju yang jarang muncul dalam daftar tersebut, ini karena dua alasan. Pertama, negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara bekas persemakmuran tidak memiliki hutan yang luas di wilayah mereka. Kedua, negara-negara maju dapat berinvestasi dalam program-program tertentu yang mendiversifikasi pendapatan mereka, sehingga kurang tergantung pada eksploitasi sumber daya alam atau investasi eksternal yang dapat mempengaruhi keberlanjutan.


Berdasarkan data Badan Informasi Geospasial (BIG), luas hutan Indonesia pada tahun 2022 mencapai 102,53 juta hektare. Angka itu berkurang sekitar 1,33 juta hektare atau turun 0,7% dibandingkan dengan tahun 2018. Selama periode 2018-2022, hutan yang paling banyak hilang terletak di Pulau Kalimantan. Dalam periode tersebut, pengurangan luas hutan di Kalimantan mencapai 526,81 ribu hektare. Alasan yang diungkapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi Indonesia 2018-2022 adalah berbagai faktor, termasuk peristiwa alam, penebangan hutan, dan reklasifikasi area hutan (databoks, 29/12/23).


Padahal, alasan utama berkurangnya hutan Indonesia adalah akibat sistem kapitalis yang diterapkan oleh negara ini. Sistem ini menimbulkan kesenjangan antara kelestarian lingkungan dan pembangunan, terutama karena keuntungan dianggap sebagai hal yang sangat dominan dalam sistem ini. Keserakahan para kapitalis dalam melakukan deforestasi mengakibatkan banyak bencana menimpa negara ini, terutama bencana hidrometeorologi yang sebelumnya telah diperingatkan oleh Walhi. Lembaga ini mencatat dalam enam tahun terakhir (2015-2021) intensitas kejadian bencana terus meningkat akibat dominasi bencana hidrometeorologi. Bencana hidrometeorologi terjadi karena hilangnya fungsi ekologi hutan akibat deforestasi.


Masifnya deforestasi disebabkan oleh banyaknya hutan yang dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan dan area konsesi tambang. Saat ini, sekitar 33 juta hektare hutan Indonesia telah diberi izin di sektor kehutanan. Sementara itu, sekitar 4,5 juta hektare wilayah izin usaha pertambangan berada di wilayah tutupan hutan, dan ada 3,3 juta hektare kelapa sawit dalam kawasan hutan. Ini belum termasuk proyek-proyek lumbung pangan (food estate) di kawasan hutan. Tidak hanya itu, hingga Juni 2022, sekitar 8,5 juta hektare hutan tropis Indonesia telah dilepaskan, 71 persennya atau 6 juta hektare untuk perkebunan monokultur kelapa sawit (walhi.or.id).


Sistem kapitalis membuat perizinan pembukaan hutan oleh pemerintah menjadi masif, menunjukkan keberpihakan pemerintah pada pengusaha. Pemerintah dalam sistem ini juga telah dikendalikan oleh pengusaha, untuk menghasilkan kebijakan yang memudahkan bisnis mereka. Hubungan antara penguasa dan pengusaha dalam sistem ini telah melahirkan politik oligarki. Politik oligarki memunculkan masalah perampasan lahan yang tidak dapat diselesaikan dengan cara pragmatis, kecuali dengan perubahan mendasar dari sistem yang ada.


Tidak dapat dipungkiri bahwa akibat diterapkannya sistem kapitalis, kehidupan rakyat semakin terpuruk, mereka terusir dari tempat tinggal yang telah mereka huni bertahun-tahun. Oleh karena itu, rakyat membutuhkan kepemimpinan yang mampu melindungi tanah dan ruang hidup mereka dari bahaya yang datang, serta mendukung daya dukung lingkungan ekologi akibat kerusakan hutan. Dalam hal ini, Islam menawarkan konsepsi sistem dengan kepemimpinan yang berfungsi sebagai pelindung (junnah) bagi rakyatnya.


Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya seorang imam itu seperti perisai. Ia akan dijadikan perisai dan orang-orang akan berperang di belakangnya. Jika ia memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, maka dengannya ia akan mendapatkan pahala. Akan tetapi, jika ia memerintahkan yang lain, ia juga yang akan mendapatkan dosa karenanya." (HR Bukhari dan Muslim)


Dalam konteks melindungi rakyat dari potensi bencana, seorang pemimpin dalam Islam (Khilafah) wajib berpegang pada ketentuan syariat sebagaimana hadis Rasulullah SAW: "Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain." (HR Ibnu Majah)


Dalam sistem Islam, bahaya ekologi akibat kerusakan alam mengharuskan adanya kebijakan mitigasi terkait dengan konservasi (penjagaan hutan). Secara alamiah, hutan memiliki fungsi menyerap air, mengeluarkan oksigen dalam jumlah besar, dan menahan tanah untuk mencegah erosi. Negara dalam Islam memiliki program konservasi alam, khususnya hutan. Ini karena beberapa ayat di Al-Qur'an dan hadis menunjukkan pentingnya merawat alam yang telah diberikan Allah. Ada peringatan yang akan menimpa manusia jika lalai dalam melestarikan alam. Misalnya, dalam QS Ar-Rum ayat 41, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagai akibat dari perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar."


Selain ayat di atas, dalam QS Al-A'raf ayat 56 Allah berfirman: "Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi yang diciptakan dengan baik, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya, rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan."


Selain itu, Allah juga memerintahkan umat Muslim untuk mempelajari berbagai fenomena yang terjadi agar bisa mengelola alam lebih baik. Dalam pelestarian lingkungan, Islam mengenal konservasi yang disebut sebagai "hima." Hima adalah tanah milik umum untuk kepentingan umat yang harus dikukuhkan dan disebut sebagai milik umum. Nabi Muhammad SAW pernah menyebutkan tentang hima sebagai tempat yang harus dijaga. Pada masanya, tempat ini adalah padang rumput yang tidak boleh seorang pun menjadikannya sebagai tempat menggembala ternak. Nabi Muhammad SAW bahkan menunjuk beberapa tempat yang dijadikan sebagai hima di dekat Madinah. Peneliti bidang kajian Islam, Syauqi Abu Khalil dalam Atlas Hadits menyebutkan bahwa di lokasi hima diterapkan, ada larangan berburu binatang dan merusak tanaman demi menjaga ekosistem. Bahkan, manusia dilarang memanfaatkannya kecuali untuk kepentingan bersama.


Oleh karena itu, keberadaan hutan yang luas, seperti yang ada di Indonesia, harus dijaga melalui kebijakan konservasi. Haram menyerahkan pengelolaannya kepada individu tertentu dengan alasan apapun, karena hutan dalam Islam adalah milik umum yang pengelolaannya diserahkan kepada negara sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Dengan menerapkan sistem Islam, hutan akan terjaga kelestariannya dan dapat memberikan manfaat bagi seluruh umat. Wallahu a'lam bisshowab.


Posting Komentar

0 Komentar