Oleh: Esnaini Sholikhah, S.Pd (Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial)
Jokowi dan menteri-menteri yang tergabung dalam tim kampanye pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka, dinilai semakin masif menggunakan program bantuan sosial sebagai alat kampanye untuk meningkatkan dukungan. Meski telah memberikan himbauan agar kepala Negara tidak keluar jalur, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) diharapkan bersikap lebih tegas. Bantuan sosial (Bansos) yang diberikan Jokowi kepada rakyat berupa 10 kg beras dan bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp200 ribu per bulan. Berdasarkan data BBC Indonesia (30-1-2024), total alokasi anggaran perlindungan sosial untuk tahun 2024 mencapai Rp496,8 triliun. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan anggaran pada tahun 2023 yang sebesar Rp433 triliun. Jumlah tersebut bahkan lebih tinggi daripada masa pandemi Covid-19, yaitu Rp468,2 triliun (2021) dan Rp460,6 triliun (2022) (BBCNewsIndonesia, 30/1/24).
Demokrasi menjadikan kekuasaan sebagai tujuan yang akan diperjuangkan dengan segala cara, sehingga setiap peluang akan dimanfaatkan. Hal ini wajar karena sistem demokrasi meniscayakan kebebasan berperilaku. Apalagi di sistem ini, segala kebijakannya jelas mengabaikan aturan agama dalam kehidupan. Di sisi lain, dengan kesadaran politik yang rendah, rendahnya pendidikan, dan kemiskinan yang melanda masyarakat yang berpikir pragmatis, akan mudah dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mewujudkan kepentingan mereka.
Peneliti ekonomi dan kebijakan, Riskha Tri Budiarti M.Sc., mengungkapkan kepada MNews pada Senin (5/2/2024) bahwa telah terjadi politik "gentong babi" atau pork barrel politics. Maknanya, terdapat penggunaan dana publik, dalam hal ini APBN, sebagai instrumen elektoral untuk kelompok tertentu. Hal ini sama saja dengan money politics, bahkan lebih jahat, karena menggunakan uang rakyat. Menurutnya, kondisi tersebut tampak menjelang puncak kontestasi Pemilu. Pemberian bantuan sosial semakin masif dilakukan pemerintah, yang secara terang-terangan memberikan dukungan pada salah satu paslon capres dan cawapres. Pemilu demokrasi dalam sistem kapitalisme liberal memang memberikan celah yang besar atas penyalahgunaan semacam ini. "Mengingat dalam sistem kapitalisme, yang memiliki kekuatan besar adalah para pemodal yang mendanai kampanye-kampanye," ujarnya.
Terlebih lanjut, pemilihan dalam sistem demokrasi sering kali tidak berpijak pada nilai-nilai, gagasan, bahkan ideologi. "Yang ada adalah kepentingan sesaat untuk melanggengkan kekuasaan demi keberlanjutan bisnis para pemodal. Karena itu, segala cara digunakan untuk mendongkrak elektabilitas, bahkan dengan menyuap rakyat," cetusnya. Publik menduga pemberian bansos ditujukan untuk memengaruhi pilihan publik, terutama para pemilih bimbang yang jumlahnya cukup besar, yaitu mencapai 28,7%. Walhasil, program bansos disalahgunakan untuk panjat sosial (pansos).
Mirisnya, Bawaslu yang bertugas untuk mengawasi adanya pelanggaran justru tidak bertindak tegas. Padahal sebenarnya, ada langkah untuk mencegah para pejabat menggunakan program bansos, yaitu mengharuskan para pejabat tersebut cuti dari tugas negara, namun langkah ini tidak dilakukan. Anggota Bawaslu, Totok Hariyono, menyatakan, "Bawaslu sudah memberikan imbauan kepada Presiden, termasuk pejabat negara, agar tidak melakukan tindakan yang melanggar larangan kampanye atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu. Sebagai negarawan, tentu Presiden sudah sangat memahami tentang etika bernegara," pungkasnya.
Rendahnya kesadaran politik masyarakat sehingga mudah ditipu dengan iming-iming materi merupakan dampak dari buruknya pendidikan di negeri ini, akibat kemiskinan yang mengimpit kehidupan mereka. Inilah kondisi ketika kemiskinan menjadi problem kronis negera. Akhirnya, masyarakat berpikir pragmatis dan mudah dimanfaatkan untuk kepentingan para politisi. Padahal seharusnya, negara menyolusi kemiskinan dengan sungguh-sungguh, bukan justru memanfaatkan kemiskinan rakyat dengan "membeli" suara rakyat melalui pemberian bansos. Kemiskinan yang menjadi problem kronis negera seharusnya dapat dientaskan oleh negara, tetapi kemiskinan yang komprehensif justru tidak diselesaikan dari akarnya, akibatnya, bansos terus berulang menjelang pemilu.
Sungguh berbeda dengan Islam, di mana Islam mewajibkan negara menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu dengan berbagai mekanisme. Islam juga menetapkan kekuasaan sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT, sehingga penguasa akan mengurus rakyat sesuai dengan hukum syara. Islam juga mewujudkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkepribadian Islam, termasuk amanah dan jujur. Mereka tidak akan menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan demi ambisi politik pribadi.
Negara dalam Islam, yaitu Khilafah, akan mewujudkan kesejaht
eraan bagi rakyat dengan mewajibkan bekerja bagi laki-laki dewasa untuk memenuhi nafkah bagi para istri dan anak mereka. Bagi kalangan yang lemah fisiknya dan tidak ada kerabat yang menafkahi, negara akan memberikan santunan rutin sehingga kebutuhan dasarnya terpenuhi.
Selain itu, negara melalui sistem pendidikan, serta informasi dan komunikasi (infokom), akan mengedukasi rakyat dengan nilai-nilai Islam, termasuk kriteria dalam memilih pemimpin. Dengan demikian, umat akan memiliki kesadaran tentang kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin Islam.
Di sisi lain, seorang Muslim yang menjadi pemimpin dalam sistem Islam (Khilafah) jelas terjamin kualitas keimanan dan ketakwaannya kepada Allah, sehingga tidak akan melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Mereka juga memiliki kompetensi yang teruji sehingga tidak perlu melakukan pencitraan semata agar disukai rakyat. Jika seorang pemimpin mendedikasikan dirinya hanya untuk melayani rakyatnya, maka dengan sendirinya rakyat akan mencintainya karena keimanan, ketakwaan, dan kompetensi kepemimpinannya. Wallahualam bissawab.
0 Komentar