Pasca Pilpres 14 Februari 2024, masyarakat dihebohkan dengan temuan kecurangan yang mengemuka. Protes dan ungkapan kasar meluas di media sosial, dengan hasil quick count menjadi sorotan utama. Film dokumenter "Dirty Vote" sebelumnya juga memanaskan suasana, menggambarkan demokrasi, pemilu, dan kecurangan seakan menjadi pasangan tak terpisahkan.
Pemilu sering dianggap sebagai jalan menuju demokrasi, meskipun kadang hanya sebagai formalitas. Sebagian negara hanya memenuhi syarat formal sebagai negara demokrasi, tanpa mencerminkan esensi demokrasi. Kecurangan senantiasa mengiringi proses demokrasi, seperti terlihat dalam sejarah pemilu Indonesia.
Dari pemilu pertama 1955 hingga hari ini, pemilu dan kecurangan menjadi pasangan yang sulit dipisahkan. Meski era reformasi membawa pemilu 1999 dengan banyak partai politik, kecurangan tetap menjadi isu. Kekhawatiran terus muncul di pemilu 2004, 2009, 2014, 2019, dan 2024.
Sejarah pemilu pasca-kemerdekaan hingga kini menunjukkan bahwa pemilu dan kecurangan adalah pasangan yang melekat. Kemenangan dikejar dengan uang dan kecurangan, karena kekuasaan menjadi fokus utama. Demokrasi tidak memandang baik atau buruk, halal atau haram; yang penting adalah menang. Fenomena ini tidak terbatas pada Indonesia, bahkan negara demokrasi seperti Amerika Serikat pun terdapat kecurangan pemilu.
Bukti ini menguatkan pandangan bahwa demokrasi, pemilu, dan kecurangan terjalin erat. Apakah masih relevan meyakini demokrasi sebagai sistem terbaik, ataukah Islam sebagai sistem terbaik yang telah diturunkan oleh Allah swt sebagai Dzat Yang Maha Baik?
Sejarah para pendahulu menunjukkan kehebatan Islam dan sistemnya. Rasulullah saw mendirikan negara Islam pertama dengan aturan Allah swt. Namun, setelah runtuhnya Khilafah 1924, umat Islam mengalami kelemahan dan penindasan. Kembali menerapkan Islam secara kaffah dianggap sebagai satu-satunya jalan menuju kemulyaan dan ketaqwaan.
0 Komentar