Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Perjuangan Melawan TBC: Mengejar Impian Indonesia Bebas Penyakit Tuberkulosis

Oleh: Esnaini Sholikhah, S.Pd (Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial)


Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023, terdapat 7,94% rumah tangga di Indonesia yang menempati rumah kumuh. Artinya, 8 dari 100 rumah tangga di Tanah Air tinggal di rumah kumuh sepanjang tahun lalu. BPS mengkategorikan rumah kumuh jika sebuah hunian tidak memenuhi komponen ketahanan bangunan, kecukupan luas tempat tinggal, serta kepemilikan akses terhadap layanan sumber air minum dan sanitasi yang layak. Hunian yang kumuh biasanya rentan terhadap berbagai penyakit, salah satunya adalah TBC.


Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin telah berupaya mengeliminasi Tuberkulosis (TB) ketika menghadiri Stop TB Partnership (STP) Board Meeting ke-37 di Kota Brasilia, Brazil. Indonesia, sebagai negara dengan beban tertinggi kedua TB secara global, telah melakukan upaya memberantas TB dan berhasil mencatatkan keberhasilan yang signifikan pada 2023. Menkes Budi seperti yang dikutip InfoPublik Senin (12/2/2024) mengatakan, Indonesia sebelumnya hanya bisa mendeteksi kasus TB sebanyak 400-500 ribu, bahkan turun menjadi sekitar 300 ribu selama pandemi Covid-19. “Namun pada 2022, deteksi kasus berhasil naik menjadi 700 ribu dan 800 ribu kasus pada 2023. Indonesia juga masih terus berkomitmen untuk meningkatkan jumlah kasus yang dilaporkan hingga menjadi 900 ribu dari 1 juta perkiraan kasus TB pada 2024,” kata Menkes Budi. Indonesia selalu berkomitmen menyediakan pengobatan TB yang lebih singkat, memperkuat kolaborasi dengan komunitas, serta melakukan inovasi pembiayaan untuk layanan TB. (Infopublik, 12/2/2024)


Kasus TBC masih menjadi ancaman serius di Indonesia, kondisi ini dikarenakan ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap upaya eliminasi TBC. Tentu saja dibutuhkan solusi mendasar atas berbagai faktor yang berpengaruh terhadap penularan penyakit TBC, di antaranya adalah kemiskinan dengan segala dampaknya (rumah tidak sehat, gizi buruk), hygiene dan sanitasi, termasuk riset metode pengobatan dan pencegahan yang efektif. Program vaksinasi BCG merupakan kekuatan vaksin sebagai intervensi kesehatan masyarakat, keistimewaan sebuah vaksin terletak pada kemampuannya untuk mengurangi penularan penyakit ke depan, serta sebanyak kemampuannya untuk melindungi individu yang divaksinasi, kekebalan ini umumnya disebut sebagai ‘kekebalan kelompok’. Walhasil, cakupan imunisasi BCG yang tinggi tidak berkorelasi positif dengan penurunan kasus baru.


Semisal menunjukkan peningkatan cakupan imunisasi BCG dari 84% pada 2021 menjadi 93,4% pada 2022, penambahan kasus baru justru naik 17,61%. Rata-rata, 5-10% mereka yang terinfeksi adalah pengidap TB aktif seumur hidup. Pengidap TB adalah yang menjadi penular kuman TB, di samping pengidap TB laten yang juga berpeluang menjadi TB aktif, artinya, meskipun terdapat peningkatan imunitas dengan program vaksinasi BCG, tetapi juga berlangsung pembiaran penularan TB secara masif oleh ratusan ribu pengidap ke orang-orang sehat di sekitarnya saat menghirup udara berkuman dari droplet (percikan) dahak saat pengidap batuk atau bersin berdahak.


Pemerintah Indonesia juga menetapkan bahwa penemuan kasus baru dari Januari 2023-2024 adalah 90%, artinya, akan ada ribuan orang yang dibiarkan jadi penular. Pada saat yang bersamaan, dengan angka kesembuhan cukup 85%, akan bermunculan ribuan pengidap resistan obat. Disamping itu yang tidak kalah serius adalah resistan obat akibat putus obat dan bahaya pengobatan terhadap pengidap. Ini akibat durasi pengobatan program penanggulangan TB di Indonesia sangat panjang, yaitu paling sedikit 9-11 bulan untuk TB reguler dengan banyak macam obat, serta efek samping dari yang ringan hingga berat, seperti anemia, gagal ginjal, dan tuli. Sementara itu, durasi pengobatan TB resistan obat (RO) all-oral regimen (hanya dengan makan obat yang lebih banyak) bisa hingga dua tahun. Efek sampingnya adalah depresi, gagal ginjal, dan hilang pendengaran. Padahal, all-oral regimen berdurasi enam bulan bagi TB RO dengan toksisitas yang minim, belum diadopsi sebagai program. Sejumlah riset telah difokuskan tentang perkara kualitas program DOTS sedikitnya selama satu dekade terakhir. Hasilnya, buruknya kualitas penanganan TB di tengah tercapainya DOTS. Upaya peningkatan kualitas penanganan TB kapitalistik melalui konsep improving quality of tuberculosis care di bawah naungan ISTC, melalui pemanfaatan berbagai kemajuan teknologi juga terbukti gagal. Ini diperburuk oleh konsep pemberian layanan kesehatan kapitalistik Universal Health Coverage atau asuransi kesehatan wajib (di Indonesia berupa program JKN) yang diakui bertanggung jawab atas buruknya kualitas pelayanan kesehatan secara umum.


Tidak hanya itu, penanganan di level kesehatan masyarakat makin jauh dari keberhasilan ketika standar penanganan ISTC, yang rusak berkel


indan dengan buruknya pemenuhan kebutuhan dasar manusia, fisik maupun nonfisik. Ini adalah buah pahit determinan sosial kesehatan kapitalisme, berupa sistem ekonomi kapitalisme, sistem politik demokrasi, dan keseluruhan sistem kehidupan sekularisme sebagai unsur penting peradaban kapitalisme, yang menjadikan aktivitas manusia berputar di sekitar nilai materi. Akibatnya, kehidupan manusia diliputi kemiskinan, kesengsaraan, kerusakan lingkungan, krisis air bersih, dan pencemaran udara. Fakta ini lebih dari cukup sebagai petunjuk kuat berbahayanya The End TB Strategy yang dijadikan politik kesehatan kapitalisme dalam penanggulangan TB.


Politik kesehatan Islam adalah pengurusan kepentingan publik dalam hal kesehatan dengan sudut pandang Islam. Dilakukan secara praktis oleh Negara (Khilafah), berupa upaya promotif,preventif dan kuratif, dengan sistem kesehatan Islam sebagai instrumen praktisnya.  Pada penanganan TB, sebagaimana konsep Islam terhadap penanganan penyakit menular pada umumnya, yaitu haruslah bertujuan untuk memutus segera rantai penularan penyakit secara tuntas, agar tidak ada penambahan angka kesakitan dan kematian (zero). Diantara yang terpenting adalah sebagai berikut : Pertama, penemuan kasus baru dan keberhasilan pengobatan harus 100% dalam waktu sesegera mungkin, yakni sekitar 1-2 bulan atau empat pekan sebagai waktu tersingkat masa inkubasi kuman TB. Ini sebagai upaya pemutusan penularan secara total dan pencegahan terjadinya bahaya bagi pengidap maupun masyarakat luas. Lebih dari itu, Islam mengharamkan segala hal yang berbahaya bagi kesehatan dan kehidupan insan. Rasulullah SAW, bersabda melalui lisannya yang mulia: “Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh membalas bahaya dengan bahaya.” (HR Ahmad).


Kedua, pemisahan segera terhadap para pengidap TB di tempat-tempat perawatan kesehatan. Tidak saja berkualitas tinggi secara medis, tetapi juga nonmedis, termasuk terpenuhinya kebutuhan fisik dan nalurinya sebagaimana ketentuan syariat Islam. Pemisahan ini dilakukan sampai pengidap benar-benar sembuh dan tidak berpotensi sebagai penular. Konsep pemisahan ini sangat rasional bagi pemutusan segera rantai penularan. Namun lebih dari itu, ini merupakan perkara yang disyariatkan Islam. Rasulullah SAW, menegaskan, “Hindarilah orang yang terkena lepra seperti halnya kalian menghindari seekor singa.” (HR Bukhari). 


Ketiga, pencegahan orang-orang yang berasal dari area yang terjangkiti wabah TB untuk keluar darinya, Rasulullah SAW bersabda: “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari). 


Keempat, ketika TB dipandang sebagai perkara darurat kesehatan, Khalifah akan menugaskan para pakar dan ahli bagi penanganan intensif, yakni dari segi pembuatan rancangan kekinian dan strategi pelaksanaannya, agar persoalan segera teratasi tanpa menjadikan kehidupan masyarakat terhenti. Ketersediaan SDM akan memadai secara kualitas dan kuantitas dari penerapan sistem pendidikan Islam. Begitu juga konsep pembiayaan kesehatan, berbasis baitul mal dengan anggaran mutlak, disamping konsep politik riset Negara Khilafah dan politik industri berbasis industri berat. Khalifah akan senantiasa mendorong  penemuan teknologi tercepat berlangsung satu atau dua pekan saja, baik bagi penegak diagnosis akurat maupun regimen berkhasiat minim atau bahkan tanpa toksisitas bagi kesembuhan segera. Ini mengingat fakta terkini bahwa regimen bagi TB OR saja sudah bisa enam bulan.


Selain itu, Islam memandang bahwa setiap bahaya toksisitas harus dijauhi dan setiap penyakit ada obatnya. Rasulullah SAW, bersabda: “Setiap penyakit ada obatnya. Apabila ditemukan obat yang tepat untuk suatu penyakit, akan sembuhlah penyakit itu dengan izin Allah ‘Azza Wa Jalla.” (HR Muslim).


Tidak hanya didukung sistem kesehatan Islam, yang berdiri di atas pilar yang kokoh karena didasarkan pada paradigma sahih, tetapi juga didukung sejumlah prinsip istimewa pelayanan kesehatan dalam politik Islam. Diantaranya adalah pertama, Khalifah dan para penguasa sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung dan penuh terhadap lestarinya kesehatan insan, memungkinkan akan menjalankan amanah ini karena energi yang luar biasa hasil ketaatan mereka kepada Allah Taala dalam rangka mencari rida-Nya. Demikian juga para ahli dan pakar yang bekerja dalam proyek ini. Kedua, kesatuan pandangan dalam pemberian pelayanan kesehatan, tidak akan ada celah bagi diskriminasi pelayanan kesehatan. Ketiga, kekuasaan bersifat sentralisasi dan administrasi bersifat desentralisasi. Keempat, jauh dari berbelit-belit, bahkan harus disifati oleh kesederhanaan aturan, kecepatan dalam pelaksanaan, dan dilakukan oleh personal yang kapabel.


Terwujudnya masayarakat sehat adalah tanggung jawab Negara, termasuk eliminasi TBC.  Negara Islam akan mengupayakan secara serius pencegahan dan eliminasi TBC secara komprehensif dan efektif. Islam mewajibkan Negara untuk menjamin kesejahteraan rakyat termasuk penyediaan rumah sehat bagi rakyat. Inilah saatnya Indonesia meninggalkan politik penangg


ulangan TB dengan paradigma kapitalisme. Negara Indonesia harus hadir sebagai penerap politik penanggulangan TB berdasarkan Islam. Indonesia bebas TB adalah niscaya dalam waktu dekat, yakni ketika hadirnya kembali peradaban Islam dalam bingkai Khilafah, sebagai satu-satunya model peradaban dan Negara yang serasi dengan politik kesehatan Islam dengan visinya penyejahtera seluruh alam. Allah SWT berfirman: “Dan tidaklah Kami mengutus engkau, ya Muhammad, melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS Al Anbiya [21]: 107). Wallahualam bisshowab.

Posting Komentar

0 Komentar