Oleh: Esnaini Sholikhah, S.Pd (Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial)
Lebaran adalah peristiwa yang membahagiakan bagi seluruh kaum muslimin, termasuk di Indonesia. Pada hari raya Idul Fitri, seluruh masyarakat mempersiapkan diri untuk pulang kampung ke daerah (tradisi mudik), dan satu hal yang dinanti rakyat adalah THR (Tunjangan Hari Raya), baik pegawai Negeri maupun swasta. Betapa tidak, selama ini rakyat hanya mendapatkan gaji rutin setiap bulan, sedangkan ketika Ramadhan, mereka biasanya mendapatkan THR sebesar satu kali gaji. Alhasil, pada bulan itu rakyat mendapatkan dua kali gaji, maka dengan adanya THR, rakyat sedikit bisa mencicipi kesejahteraan. Mereka akan menggunakan uang THR untuk membeli baju, hidangan lebaran, bingkisan untuk keluarga, hingga ongkos mudik. Meskipun setelah lebaran nantinya uang THR itu akan nyaris habis, setidaknya rakyat bisa merayakan hari raya dengan penuh senyuman. Namun sayangnya, tidak semua rakyat bisa mencicipi kesejahteraan ini, meski ia seorang pegawai Negeri, karena sudah dipastikan pada tahun ini Pemerintah memastikan bahwa perangkat desa dan honorer tidak akan mendapatkan THR dan gaji ke-13.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 2024, THR hanya untuk ASN, sementara para honorer dan perangkat desa tidak mendapatkannya, padahal sejatinya mereka juga bekerja untuk mengabdi pada Negara. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjelaskan bahwa perangkat desa, termasuk kepala desa, bukan termasuk aparatur sipil Negara (ASN), sehingga Pemerintah tidak menganggarkan THR untuk mereka. Tetapi biasanya, para perangkat desa tersebut mendapatkan THR yang anggarannya diambil dari dana desa, namun hal tersebut masih akan dibahas lebih lanjut. Adapun tenaga honorer, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas mengatakan bahwa tenaga honorer tidak mendapatkan THR dan gaji ke-13, kecuali yang telah diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) (Antara, 15-3-2024).
Sungguh memilukan, seharusnya semua pegawai Negara berhak mendapatkan THR tanpa ada pembedaan. Hal ini karena posisi mereka sebagai abdi Negara, sebagaimana ASN dan PPPK, sedangkan anggaran THR berasal dari APBN. Padahal sudah seharusnya semua yang bekerja mengabdi pada Negara mendapatkan THR, bukan dipilih-pilih sehingga tidak merata. Perbedaan tersebut menunjukkan kebijakan Negara yang berat sebelah. Kita bisa membayangkan nasib para tenaga honorer, mereka yang selama ini mendapatkan gaji kecil, di bawah gaji ASN, tentu mengharapkan agar pada momen lebaran mendapatkan THR untuk melengkapi kebahagiaan di hari raya. Namun, harapan itu musnah seiring pengumuman Pemerintah.
Dengan tidak meratanya THR, Pemerintah tampak membeda-bedakan antara satu pegawai dengan pegawai lainnya berdasarkan status ASN atau bukan ASN. Hal ini merupakan suatu kezaliman, padahal jika kita bicara tentang kebutuhan, semua rakyat kebutuhannya hampir sama ketika lebaran. Duka tenaga honorer dan perangkat desa karena tidak mendapat THR ini merupakan keniscayaan dalam sistem kapitalisme yang Indonesia terapkan hari ini. Sistem kapitalisme telah menjadikan kekayaan alam dikuasai oleh segelintir oligarki kapitalis. Akibatnya, hasil kekayaan alam yang semestinya masuk ke APBN dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat justru masuk ke kantong para oligarki kapitalis. Hasilnya, pundi uang para oligarki makin gendut, sedangkan APBN kurus sehingga hanya mengandalkan pada pemasukan dari pajak dan utang. Hal ini satu keniscayaan mengingat sistem ekonomi kapitalisme memiliki keterbatasan sumber pemasukan.
Oleh karenanya, dana yang ada tidak mencukupi untuk semua pegawai, sehingga dipilihlah para pejabat dan ASN. Selain itu, sumber pemasukan Negara di dalam sistem kapitalisme sangat terbatas, yang utama hanyalah pajak. Sedangkan sumber lain tidak ada, akibatnya anggaran menjadi sempit. Anggaran Negara yang cekak ini menjadikan Pemerintah hitung-hitungan ketika hendak memberikan hak rakyat, termasuk THR. Seharusnya semua pegawai, apapun statusnya, berhak mendapatkan THR, akan tetapi realisasinya tidak demikian. Para pejabat yang sudah kaya mendapatkan THR besar, sedangkan tenaga honorer yang kekurangan justru tidak mendapatkannya.
Kondisi ini berbeda dengan sistem Islam. Islam memiliki pos pemasukan dan pengeluaran anggaran belanja Negara yaitu “Baitulmal”. Dalam Daulah Khilafah memiliki 12 pos penerimaan tetap. Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan dalam kitab Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah bahwa terdapat tiga bagian pemasukan Negara. Pertama, bagian fai dan kharaj, meliputi seksi ganimah (mencakup ganimah, fai, dan khumus), seksi kharaj, seksi status tanah, seksi jizyah, seksi fai, dan seksi dharibah (pajak). Kedua, bagian pemilikan umum, meliputi seksi migas, seksi listrik, seksi pertambangan, seksi laut, sungai, perairan, seksi hutan, dan seksi aset-aset yang diproteksi Negara untuk keperluan khusus. Ketiga, bagian sedekah, meliputi seksi zakat uang dan perdagangan, seksi zakat pertanian, dan seksi zakat ternak.
Dengan demikian, total ada 15 seksi pemasukan bagi baitulmal, begitu banyaknya pos pemasukan ini, sehingga wajar pemasukan Daulah Khilafah sangat besar, hingga mampu menyejahterakan rakyatnya dengan kesejahteraan hakiki, yaitu terpenuhinya sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan bagi tiap-tiap individu rakyat secara kontinu, bukan hanya pada momen-momen tertentu seperti hari raya. Negara Khilafah juga menjamin pemenuhan kebutuhan pokok ini bagi tiap-tiap rakyat, bukan hanya pegawai Negara. Setiap warga Negara, baik muslim maupun nonmuslim, pegawai Negara maupun bukan, semuanya berhak mendapatkan jaminan kesejahteraan. Adapun terkait pegawai Negara, Khilafah akan menerapkan syariat Islam terkait pengupahan (ijarah). Allah SWT, berfirman “Berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS Ath-Thalaq: 6).
Para pegawai mendapatkan gaji sesuai dengan akad yang mereka buat dengan Negara. Akad itu mencakup jenis pekerjaan, jam kerja, tempat kerja, juga upah yang disepakati kedua belah pihak, yang besarannya berbeda-beda sesuai besarnya tanggung jawab yang diemban. Islam menetapkan jaminan Negara adalah hak atas semua pegawai. Semuanya mendapatkan akses atas jaminan kesejahteraan dari Negara. Hal itu mudah karena Khilafah Islam memiliki berbagai sumber pemasukan Negara, sehingga mampu menjamin kesejahteraan seluruh pegawai. Demikianlah yang seharusnya umat Islam dapatkan dari penguasanya. Wallahualam bissawab.
0 Komentar