Oleh: Esnaini Sholikhah, S.Pd (Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial)
Memasuki pekan pertama Ramadhan dan seolah sudah menjadi tradisi, harga pangan akan terus melambung. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan harga komoditas pangan akan mengalami inflasi pada bulan Ramadan mendatang. Hal ini merupakan situasi musiman seperti tahun-tahun sebelumnya. "Biasanya mengacu pada data historis pada momen Ramadhan, harga beberapa komoditas diperkirakan meningkat," kata Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, M. Habibullah dalam konferensi pers Indeks Harga Konsumen di kantornya. Habibullah mengatakan kenaikan harga itu disebabkan permintaan yang meningkat pada bulan Ramadhan. Adapun, beberapa komoditas yang berpotensi naik di antaranya adalah daging ayam, minyak goreng, dan gula pasir. Menurutnya, kenaikan harga-harga komoditas tersebut akan mendorong tingkat inflasi secara umum. Ia juga menyebutkan bahwa komoditas pangan lainnya seperti beras juga berpotensi naik. Kenaikan itu dipicu oleh kemungkinan dimulainya musim kemarau dan penurunan produksi beras di Indonesia. Dia menyebut bahwa jika harga beras naik, maka juga akan mendorong inflasi secara umum. "Apabila beras ikut meningkat akibat penurunan produksi dan masuknya kemarau, maka dapat berpotensi semakin mendorong inflasi secara umum," tutur Habibullah. (CNBCIndonesia, 1/3/2024)
Sepanjang awal tahun ini, harga beras sendiri sudah mengalami kenaikan yang tinggi. BPS menyebut tingkat inflasi secara umum pada Februari 2024 mencapai 2,75% year on year dan 0,37% month to month. Secara bulanan, beras mengalami inflasi sebanyak 5,32% dengan andil 0,21% terhadap inflasi umum. Sementara secara tahunan, beras berkontribusi terhadap inflasi sebesar 0,67%. Kondisi ini tentu memberatkan rakyat, dan mengganggu kekhusyukannya dalam menjalani ibadah di bulan mulia ini.
Tentunya ada sebagian pihak yang menaikan harga pangan, salah satunya dengan memanfaatkan semangat bersedekah dan berbagi pada bulan suci, mereka tidak segan-segan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dan kondisi seperti ini faktanya selalu berulang. Ramadan yang semestinya menjadi momen khusyuk kaum Muslim dalam beribadah, ternyata fokus mereka justru teralihkan pada gejolak kenaikan harga bahan pangan. Ini masih belum termasuk urusan perjalanan mudik ke kampung halaman saat Idul Fitri, yang rata-rata juga membutuhkan biaya besar. Untuk itu, kaum Muslim di Negeri kita membutuhkan banyak aspek pelurusan pemahaman akan syariat Islam di momen Ramadan, selain tetap memosisikannya sebagai bulan mulia.
Meskipun kondisi kita memang masih lebih beruntung dibandingkan kaum Muslim Palestina maupun Negeri Muslim lain yang tengah dilanda konflik. Namun, hendaklah kesyahduan Ramadan tidak diganggu oleh perkara-perkara duniawi yang seharusnya diselesaikan oleh penguasa, mengingat posisinya sebagai urusan publik. Stok, pasokan, serta fluktuasi harga komoditas pangan jelas membutuhkan regulasi sistemis. Hal ini dalam wujud penjagaan ketersediaan sekaligus stabilitas harganya. Meskipun di bulan Ramadan dan Idul Fitri merupakan momen rawan inflasi. Namun demikian, Ramadan yang juga merupakan momen maraknya sedekah dengan memberi makan orang yang berpuasa, janganlah dimanfaatkan untuk semata panen cuan oleh para pengusaha maupun produsen pangan. Sebabnya, orientasi berlebihan pada profit biasanya rawan penipuan dalam berbagai transaksi ekonomi, hal ini jelas mencederai keagungan Ramadan.
Islam mendorong setiap Muslim bersiap memasuki Ramadan dengan memperbaiki amal dan banyak ibadah. Ramadan pada masa Rasulullah SAW, sungguh penuh dengan suasana ibadah, perjuangan, dan taqarub kepada Allah SWT. Sebab, Ramadan adalah bulan ketika Allah SWT, melipat gandakan pahala ibadah dan amal saleh kaum Muslim, baik itu berupa ibadah mahdhah (salat tarawih, membaca Al-Quran, sedekah, dan zikir), dakwah, maupun aktivitas jihad untuk memerangi orang-orang kafir.
Negara juga memudahkan rakyat dalam menjalani ibadah Ramadhan, yaitu dengan mempersiapkan segala sesuatunya demi meraih Ridha Allah dan nyaman menjalankan ibadah puasa. Islam memiliki paradigma yang berbeda dalam mengatur pangan, sehingga mampu mewujudkan pemenuhan pangan bagi seluruh rakyat, termasuk di dalamnya jaminan stabilitas harga. Adanya jaminan di dalam Islam ini disebabkan politik ekonomi Islam, yang memang menegaskan bahwa tujuannya adalah untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok bagi seluruh individu rakyat, pelaksanaannya pun wajib berada di pundak Negara. Secara terperinci, pengaturan Islam tegak pada dua pilar sistemnya, yaitu politik dan ekonomi, yang keduanya sangat berbeda dengan kapitalisme neoliberal. Dalam Islam, tanggung jawab pengaturan pangan berada sepenuhnya di pundak Negara (Khilafah).
Rasulullah SAW, telah menegaskan dalam sabdanya, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Dalam hadis lainnya, Rasulullah SAW, menegaskan “Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim). Oleh karena itu, Islam mengharamkan menyerahkan penguasaan kepada korporasi untuk pengaturan pangan. Politik pangan Islam untuk menstabilkan harga juga sangat terkait dengan penerapan pada aspek produksi. Kemampuan Negara dalam mengendalikan harga ditentukan penguasaannya terkait pasokan. Oleh karena itu, Khilafah wajib hadir mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi.
Pada aspek produksi, Khilafah menjamin tersedianya pasokan dengan produksi dalam Negeri untuk konsumsi dan cadangan pangan Negara. Kebijakan pertaniannya dijalankan dengan dua strategi, yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, termasuk penerapan hukum pertanahan yang akan menjamin seluruh lahan pertanian berproduksi secara optimal dan kepemilikan juga mudah didapatkan. Terkait penguasaan pasokan, dipastikan Negara akan memiliki data yang lebih presisi. Sedangkan pada aspek distribusi, Negara akan hadir mengawasi para penjual dan pembeli agar terwujud sistem distribusi dan pembentukan harga yang wajar. Negara pun melarang dan mencegah terjadinya penimbunan, melarang riba, melarang praktik tengkulak, kartel dan sebagainya. Disertai penegakan hukum secara tegas sesuai sanksi Islam. Pengawasan ini betul-betul serius dilakukan, sehingga Negara akan mengangkat sejumlah Qadi Hisbah untuk melaksanakannya.
Dengan sistem politik ekonomi Islam, ketahanan pangan akan terwujud karena Khilafah benar-benar berperan sebagai penjamin dan penanggung jawab melalui penerapan aturan Islam. Semua praktik distorsi harga akan tereliminasi karena pengawasan Negara berjalan sehingga harga tidak mudah bergejolak. Kondisi perekonomian para petani juga akan terangkat karena Negara hadir mengurusi mereka, Negara juga memberikan pendidikan terbaik sehingga umat memiliki pemahaman yang benar atas ibadah Ramadhan, termasuk pola konsumsinya. Khilafah mendorong umatnya untuk bersegera dalam kebaikan sesuai tuntunan Allah dan RasulNya.
“Jikalau sekiranya penduduk Negeri-Negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raaf: 96). Wallahualam.
0 Komentar