Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Tarif PPN Melejit, Rakyat Semakin Sulit

 


Oleh : Esnaini Sholikhah,S.Pd

(Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial)


Wacana PPN akan kembali naik menjadi 12% pada tahun 2025 mengundang tanda tanya bagi rakyat. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian membeberkan seluruh kebijakan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) akan kembali dilanjutkan oleh Presiden selanjutnya. Hal itu juga termasuk kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipastikan naik menjadi 12 persen pada 2025. Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen, yang mulai berlaku pada 1 April 2022. Lalu, kembali dinaikkan menjadi sebesar 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menuturkan, kenaikan tarif ini akan berlanjut karena keputusan masyarakat yang memilih Pemerintahan baru dengan program keberlanjutan dari Presiden Joko Widodo. Sebab itu, kebijakan dan rancangan dari program Jokowi akan dilaksanakan pada Pemerintahan berikutnya. (tirto.id, 8/3/2024)



Sebenarnya penyesuaian tarif pajak yang berlaku pada 2022 dari 10% menjadi 11% sudah memberatkan kehidupan rakyat. Pasalnya, jumlah barang atau jasa yang dikenai PPN di Indonesia ini sangatlah banyak. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pungutan yang dikenakan dalam setiap proses produksi maupun distribusi. Itulah alasan kita sering menemukan dalam transaksi sehari-hari, pihak yang menanggung beban pajak (PPN) adalah konsumen akhir atau pembeli. Jika di tahun ini tarif PPN akan dinaikkan, jelas akan berimbas pada kenaikan harga barang, terutama barang yang biasa dikonsumsi masyarakat, yang tersedia di pasar-pasar modern. Begitu pun dengan layanan kuota dan paket internet yang ada di era digitalisasi saat ini, yang menjadi kebutuhan rakyat. Diketahui berbagai macam layanan publik saat ini tidak terlepas dari akses digital.


Menurut cara pandang kapitalisme, hutang adalah salah satu sumber pendapatan Negara dalam menyusun APBN setiap tahunnya, dan cara untuk mengurangi utang yang sudah segunung itu, adalah dengan cara menaikkan tarif pajak atau mencari apa saja yang bisa dikenai pajak. Alhasil, kenaikan tarif pajak adalah kebijakan yang akan ditetapkan oleh pemimpin Negeri ini, siapa pun pemimpinnya. 


Kenaikan pajak adalah satu keniscayaan dalam sistem ekonomi kapaitalis, hal ini karena salah satu kebijakan pendapatan Negara bersumber dari pajak. Setiap Negara yang menganut ideologi kapitalisme pasti memungut pajak dari rakyatnya. Bahkan, rakyat yang hidup di sistem ini akan terus dikejar pajak agar pemasukan Negara bertambah. Hal ini juga berlaku di Indonesia yang notabene menerapkan sistem kapitalisme. Adapun pajak dan hutang sebagai sumber penerimaannya, Negara dengan ideologi kapitalisme juga memperoleh pemasukan dari retribusi (pungutan semacam pajak yang berlaku di tingkat daerah), keuntungan BUMN, pencetakan uang kertas, dan hadiah (hibah). Secara substansi, pajak dalam sistem kapitalisme diterapkan untuk perorangan, badan usaha, dan lembaga-lembaga masyarakat, tanah dan bangunan, barang produksi, perdagangan dan jasa. Akibatnya rakyat dibebankan pajak secara berganda, semisal pajak penghasilan, pertambahan nilai, pajak bumi bangunan.


Mirisnya pendapatan Negara dari sektor pajak juga rawan dikorupsi, yang mengakibatkan pendapatan Negara tidak tercapai targetnya, dan biasanya kenaikan pajak dianggap menjadi solusi. Pajak sebagai sumber pendapatan Negara merupakan kebijakan yang salah. Banyak kita jumpai Negara yang memiliki utang hingga ribuan triliun seperti Indonesia sulit untuk tidak berutang. Padahal Negeri ini kaya dengan sumber daya alamnya, tetapi tersia-siakan lantaran tidak dimanfaatkan dengan benar, dan malah dikapitalisasi sesuai kepentingan pemilik modal. Maka saat Negara kehilangan pendapatan, pajak pun diberlakukan meski harus menambah beban rakyat.


Berbeda dengan Islam, Islam memiliki berbagai sumber pendapatan Negara, yang akan cukup untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera untuk rakyatnya. Dalam sistem Islam, sumber penerimaan Negara yang masuk ke baitulmal (kas Negara) diperoleh dari berbagai cara, diantaranya : (1) fai (anfal, ganimah, khumus), (2) jizyah, (3) kharaj, (4) ‘usyur, (5) harta milik umum yang dilindungi Negara, (6) harta haram pejabat dan pegawai Negara, (7) khumus rikaz dan tambang, (8) harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, dan (9) harta orang murtad. Negara Islam juga memiliki berbagai sumber yang dapat dijadikan sebagai sumber penghasilan, diantaranya adalah pengelolaan SDA yang merupakan harta milik umum untuk kepentingan umat, yang juga dapat menjadi salah satu sumber pemasukan harta Negara.


Adapun jika dalam kondisi darurat, kondisi baitulmal tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan rakyat, maka Negara akan menarik pajak (dharibah) dari masyarakat. Pajak yang diberlakukan dalam baitulmal sangat berbeda dengan sistem pajak hari ini, baik ditinjau dari aspek subjek pajak, objek pajak, maupun tata cara pemungutannya. Kalaupun ada kesamaan penggunaaan istilah pajak, ini karena sama-sama dipungut dari Negara semata. Pajak dalam sistem Islam adalah jalan terakhir yang diambil apabila baitulmal benar-benar kosong dan sudah tidak mampu memenuhi kewajibannya. Dalam kondisi ini, pajak diberlakukan atas kaum muslim saja. Pengenaan pajak dilakukan dari sisa nafkah setelah dikurangi kebutuhan hidup, dan harta orang-orang kaya, yaitu dari sisa pemenuhan kebutuhan primer dan sekundernya yang makruf.


Pajak dipungut berdasarkan kebutuhan baitulmal dalam memenuhi kewajibannya. Pajak tidak boleh dipungut melebihi kebutuhan sebagaimana mestinya. Apabila kebutuhan baitulmal sudah terpenuhi dan sudah mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya dari sumber-sumber penerimaan rutin, pungutan pajak harus dihentikan. Dalam Islam, pajak diterapkan atas individu (jizyah dan pajak atas kaum muslim), tanah kharaj, dan cukai atas barang impor dari Negara yang mengenakan cukai terhadap pedagang kaum muslim. Alhasil, tarif pajak dalam Islam tidak memberikan beban ekonomi yang berat bagi masyarakat, artinya pajak dalam Islam hanya diterapkan secara temporal, bukan menjadi agenda rutin sebagaimana yang kita rasakan hari ini. 


Dalam sistem ekonomi Islam, masih ada dua sumber penerimaan Negara, yaitu bagian kepemilikan umum dan sedekah. Syekh An-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan umum itu adalah sebagai berikut : Pertama, fasilitas(sarana umum) yang jika tidak ada pada suatu Negeri akan menyebabkan banyak orang bersengketa untuk mencarinya, seperti air, padang rumput, dan jalan-jalan umum. Kedua, barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas (sangat besar), seperti tambang minyak dan gas bumi, emas dan logam mulia lainnya, timah, besi, uranium, batu bara, dan lain-lainnya. Ketiga, sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki individu, seperti laut, sungai, dan danau.


Sumber penerimaan dari kepemilikan umum inilah yang berpotensi besar memberikan pendapatan terbesar bagi Negara, yang nantinya akan dikelola kepemilikannya secara mandiri. Oleh karenanya, menjadikan pajak sebagai salah satu sumber pemasukan Negara hanya akan memperburuk kondisi ekonomi Negara, dan berpotensi pula terhadap peningkatan angka kemiskinan. Maka sudah saatnya Negeri ini berbenah secara sistemis dengan penerapan sistem Islam secara kaffah. Kebijakan Negara yang mengacu pada hukum-hukum syariat menjadikan Negara tidak akan mencari sumber pendapatan Negara dengan menjerat rakyat dari tarif kenaikan pajak. Wallahualam bisshowab.

Posting Komentar

0 Komentar