Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Wabah DBD Menghantui, Butuh Solusi Komprehensif

Oleh: Esnaini Sholikhah, S.Pd

(Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial)


Pada bulan Maret ini, Indonesia mengalami transisi dari musim hujan menuju musim kemarau. Perubahan musim ini, yang disebut juga sebagai pancaroba, menyebabkan kasus demam berdarah (DBD) meningkat di beberapa wilayah Indonesia, terutama di Jawa Barat. Data yang dikumpulkan sejak Januari 2024 oleh Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa kasus DBD telah mencapai angka 11.058 kasus, dengan 96 kasus yang berakhir dengan kematian. Menyikapi hal ini, Pj Gubernur Jawa Barat, Bey Machmudin, memerintahkan Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk menyediakan obat dan menambah stok infus di Puskesmas. Bey juga mengimbau Puskesmas untuk menyediakan obat DBD dan meningkatkan persediaan infus. Di sisi lain, Bey juga mengingatkan masyarakat untuk cepat tanggap terhadap gejala demam berdarah. Bagi orang tua, apabila anak mereka menunjukkan gejala, sebaiknya segera membawa mereka ke Puskesmas. (sumber: kumparannews.com, 21/3/2024)


Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Vini Adiani Dewi, mengatakan bahwa kasus demam berdarah cenderung meningkat saat memasuki musim pancaroba, seiring dengan masa berkembangbiaknya nyamuk. Dia juga memperingatkan masyarakat untuk waspada selama rentang bulan Januari hingga April. Di Jakarta sendiri, terdapat 1.729 kasus DBD pada periode 18 Maret 2024. "Total kasus DBD DKI per 18 Maret 2024, mencapai 1.729 kasus," ujar Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Ani Ruspitawati, saat dikonfirmasi pada Jumat (22/3/2024). Jumlah orang yang terjangkit juga meningkat menjadi 1.102 orang, dibandingkan dengan 627 kasus pada 19 Februari 2024. (sumber: kompas.com, 22/3/2024)


Pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dilakukan secara gencar oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, Jawa Barat, setelah empat warga meninggal dunia akibat terinfeksi demam berdarah dengue (DBD). Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Kabupaten Bogor, Adang Mulyana, menyatakan bahwa upaya tersebut meliputi penyuluhan, penggunaan larvasida, dan fogging. Adang juga mengimbau warga di daerahnya untuk menerapkan pola 3M plus, yang mencakup menguras bak mandi, menutup tempat penampungan air, mengubur dan mendaur ulang barang bekas yang menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. (sumber: liputan6.com, 25/3/2024)


Dampak dari kasus DBD membuat Indonesia masuk ke dalam salah satu dari 30 negara endemik dengue dengan kasus tertinggi. Data Kementerian Kesehatan RI hingga pekan ke-52 tahun 2023 mencatat 98.071 kasus dengan 764 kematian. Pada tahun 2024, jumlahnya diperkirakan akan semakin tinggi. Menurut data Kemenkes, total kasus DBD meningkat dari 73.518 pada tahun 2021 menjadi 131.265 kasus pada tahun 2022. Angka kematian juga meningkat dari 705 pada tahun 2021 menjadi 1.183 pada tahun 2022. Dari jumlah kematian tersebut, 73% adalah anak-anak berusia 0-14 tahun. Misalnya di Kalimantan Selatan, per 27 Januari 2024, terdapat 1.062 orang yang terjangkit DBD, dengan 8 di antaranya meninggal dunia. Sebagian besar pasien yang dirawat adalah anak-anak usia 5-13 tahun. Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan mengatakan bahwa kasus DBD bulan ini mengalami peningkatan signifikan dibandingkan dengan bulan yang sama tahun lalu. (sumber: Kompas, 3/2/2024 dan Kompas, 1/2/2024)


Berbagai upaya telah dilakukan mulai dari penyuluhan mengenai pentingnya PSN 3M hingga fogging. Namun, mengapa tren wabah DBD malah semakin meningkat? Setidaknya ada tiga alasan. Pertama, kondisi hunian yang memprihatinkan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia tidak memiliki akses terhadap rumah layak huni. Kedua, mayoritas masyarakat Indonesia memiliki pendapatan rendah atau berada dalam kondisi miskin. Kebutuhan pokok, termasuk asupan bergizi untuk menjaga imunitas tubuh agar terhindar dari DBD, sulit dipenuhi. Ketiga, kurangnya jaminan kesehatan yang memadai. Meskipun ada BPJS, masih banyak masyarakat yang tidak mampu mengakses layanan kesehatan yang memadai. Sebagai akibatnya, banyak yang tidak mendapatkan penanganan yang tepat untuk DBD.


Melihat ketiga faktor di atas, pencegahan DBD tidak cukup hanya dengan penyuluhan, tetapi juga memerlukan penguatan ekonomi. Bagaimana masyarakat bisa hidup sehat dan menjaga kebersihan lingkungan serta asupan makanan jika kondisi ekonomi mereka lemah? Bahkan akses terhadap air bersih pun masih menjadi tantangan. 


Jika kita mengamati, akar persoalan wabah DBD tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang kapitalistik. Kebijakan ekonomi ini membuat masyarakat sulit memenuhi kebutuhan dasarn


ya, termasuk rumah layak huni. Hal ini disebabkan karena negara menyerahkan pengadaan perumahan kepada sektor swasta. Kebijakan pro pengusaha, seperti kebijakan upah dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja, menyebabkan upah buruh semakin rendah, sementara kebutuhan pokok semakin tinggi. Akibat kebijakan ekonomi kapitalistik ini, masyarakat semakin miskin dan jauh dari asupan bergizi yang cukup. Begitu pula dengan kebijakan kesehatan yang kapitalistik, membuat akses kesehatan hanya tersedia bagi segelintir orang, sementara fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan cenderung terpusat di perkotaan dan minim di pedesaan, karena sistem kesehatan juga dikelola oleh sektor swasta.


Berbeda dengan Islam, Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin telah memiliki sejumlah mekanisme yang komprehensif untuk mengatasi wabah. Islam menetapkan negara sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas seluruh kebutuhan rakyatnya, termasuk kesehatan. Semua kebutuhan pokok, mulai dari sandang, pangan, papan, hingga kesehatan, akan dijamin oleh negara. Pembangunan perumahan diatur oleh negara, dengan peran swasta yang hanya membantu, bukan untuk mencari keuntungan. Baitul Mal Negara akan mengelola pembangunan perumahan layak huni bagi seluruh rakyatnya. Demikian pula, kebutuhan asupan bergizi akan dijamin oleh negara, termasuk dengan memastikan pekerjaan tersedia bagi semua laki-laki pencari nafkah. Jika ada kepala rumah tangga yang tidak mampu mencari nafkah karena sakit atau cacat, negara akan memberikan santunan kepada keluarga tersebut.


Sistem kesehatan yang dipegang oleh negara, menjadikan akses kesehatan tersedia bagi seluruh warga. Fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan tersebar merata di seluruh wilayah, sehingga penanganan pasien yang terkena DBD dapat dilakukan dengan mudah dan cepat. Islam menjadikan layanan kesehatan sebagai tanggung jawab negara, dengan menyediakan layanan yang murah bahkan gratis, mudah diakses, dan sebagainya. Negara dalam Islam akan mengambil berbagai langkah secara komprehensif dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam upaya kesehatan, baik preventif maupun kuratif, serta penelitian dan penerapannya di masyarakat. 


Begitu pun sistem kesehatan yang dipegang langsung oleh Negara, menjadikan akses kesehatan dapat dirasakan oleh semua warga. Fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan tersebar merata di seluruh wilayah. Alhasil, penanganan pasien yang terkena DBD akan dengan mudah dan cepat tertangani. Oleh karenanya, jika kebijakan berfokus pada kemaslahatan umat, kebutuhan pokok rakyat akan terpenuhi, termasuk kesehatan. Ditambah dengan edukasi bahwa menjaga kesehatan adalah bagian dari perintah Allah Taala. Atas dorongan taqwa, rakyat dengan ringan menjaga lingkungannya agar tetap bersih dan sehat. Inilah jaminan Islam untuk memberantas wabah dengan tuntas. Islam menjadikan layanan kesehatan tanggung jawab Negara (murah bahkan gratis, mudah diakses, dan lain-lain). Negara dalam Islam akan memaksimalkan berbagai upaya secara komprehensif dalam berbagai aspek kehidupan, juga dalam berbagai upaya kesehatan (preventif dan kuratif) termasuk riset dan penerapan hasilnya di tengah masyarakat (teknologi terbaru, vaksinasi dan lain-lain). Wallahu a’lam bisshowab

Posting Komentar

0 Komentar