Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Kekerasan Terhadap Anak Kembali Terulang, Bagaimana Fungsi Negara Mengatasinya?

 


Oleh : Esnaini Sholikhah,S.Pd

(Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial)


Dalam atmosfer kehidupan sekuler kapitalisme, kasus kekerasan pada anak bukanlah peristiwa baru, kasusnya selalu sama, hanya pelaku dan motifnya saja yang berbeda. Kasus terbaru yang masih hangat diperbincangkan yaitu meninggalnya bayi 16 bulan yang ditinggal sendirian oleh ibunya selama 10 hari di Ohio, AS pada 24 Maret 2024. Sedangkan di dalam Negeri sendiri, terjadinya tindak kekerasan yang dialami anak selebgram Aghnia Punjabi menyita atensi publik. Sang ibu langsung bertindak cepat, setelah mendapat laporan bahwa anaknya terjatuh dan wajahnya lebam. Setelah mengusut kejadian tersebut, diketahui sang anak mengalami kekerasan oleh pengasuhnya sendiri. Sungguh miris, kasus kekerasan terhadap anak masih marak terjadi dan terus berulang di Negeri ini.


Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melaporkan setidaknya ada 16.854 anak, yang menjadi korban kekerasan pada 2023. Bahkan, anak korban kekerasan tersebut dapat mengalami lebih dari satu jenis kekerasan. Tercatat, ada 20.205 kejadian kekerasan yang terjadi di Negeri ini pada 2023. Berbagai kekerasan tersebut tak hanya secara fisik, tapi juga psikis, seksual, penelantaran, perdagangan orang, hingga eksploitasi. Jenis kekerasan yang paling banyak terjadi di tanah air sepanjang tahun lalu yakni kekerasan seksual, jumlahnya mencapai 8.838 kejadian. Berulangnya kasus kekerasan terhadap anak menjadi bukti bahwa anak tidak mendapat jaminan keamanan bahkan dalam keluarga. Kasus ini merupakan fenomena gunung es, yang berarti lemahnya jaminan perlindungan atas anak di Negeri ini, bahkan di tingkat keluarga. (DataIndonesia.id, 24/2/2024) 


Dalam sistem kapitalis, keluarga dan Negara sudah mengalami pergeseran peran. Perlindungan anak seharusnya menjadi tanggung jawab semua pihak, baik keluarga, masyarakat maupun Negara, tapi mirisnya hari ini tidak berfungsi dengan baik. Ketika keluarga tidak menerapkan pola asuh sesuai Islam, seperti penanaman akidah Islam pada anak sejak dini, maka anak akan kehilangan identitas dirinya sebagai hamba Allah yang taat. Alhasil, anak yang tidak terbentuk ketaatan pada Tuhannya cenderung permisif dan rentan berbuat maksiat. Survei Nasional Media dan Agama yang dilakukan UIN Jakarta menyatakan, bahwa milenial dan Gen Z adalah generasi yang tingkat religiositasnya paling rendah secara berurutan, padahal religiositas sangat erat kaitannya terhadap pemahaman agama. Ini semua terjadi karena sistem sekularisme yang makin mengakar dalam kehidupan, pun sekularisme telah memandulkan peran Negara dalam aspek ini. 


Hukum yang lahir dari sistem kapitalis, juga tidak memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan terhadap anak. Hal ini dikarenakan regulasi yang ada, seperti UU Perlindungan Anak, faktanya belum mampu mengurangi jumlah kasus kekerasan pada anak yang terus meningkat. Kondisi ini menunjukkan peran Negara lemah dalam menjamin dan melindungi anak dari kekerasan. Sekalipun di tiap kota atau kabupaten telah diterapkan kota atau sekolah ramah anak, namun jika sistem sekuler masih bernaung, maka dampak positifnya tidak akan terlihat. Begitu pula dengan program edukasi anti kekerasan atau sejenisnya, juga tidak mampu mencegah kekerasan pada anak, manakala paradigma sekuler masih mengakar dalam kehidupan hari ini. 


Sekularisme membuat orang tua lengah dalam memberikan konsep keimanan dan ketaatan pada Allah Taala. Sekularisme juga membuat aktivitas amar makruf nahi mungkar hilang dalam kehidupan masyarakat. Sekularisme menjadikan peran Negara sangat minimalis dalam melindungi anak dari berbagai kejahatan dan kekerasan. Bahkan gerakan “Zero Kekerasan pada Anak” yang digagas juga tidak akan terwujud dengan baik selama roda kehidupan ini masih berparadigma sekuler. Kehidupan dalam naungan kapitalisme sekulerisme juga membuat beban hidup makin berat, termasuk meningkatkan stres, sehingga mengakibatkan mudahnya seseorang melakukan tindakan kekerasan. Di sisi lain mandulnya regulasi menjadi bukti, bahwa UU P-KDRT maupun UU Perlindungan anak yang ada bahkan sudah mengalami revisi tidak menjadikan kasus kekerasakan semakin berkurang. Oleh karenanya semua pihak harus menyadari bahwa biang keladi maraknya kekerasan pada anak adalah ideologi kapitalisme beserta akidah sekularismenya.


Berbeda dengan sistem Islam, Islam mewajibkan setiap orang memahami pentingnya perlindungan anak, dan berperan serta mewujudkannya dalam semua lapisan masyarakat, baik keluarga, masyarakat maupun Negara. Perlindungan dalam Islam meliputi fisik, psikis, intelektual, moral, ekonomi, dan lainnya. Hal ini dijabarkan dalam bentuk memenuhi semua hak-haknya, menjamin kebutuhan sandang dan pangannya, menjaga nama baik dan martabatnya, menjaga kesehatannya, memilihkan teman bergaul yang baik, menghindarkan dari kekerasan, dan lain-lain. 


Dalam Islam, terdapat tiga pihak yang berkewajiban menjaga dan menjamin kebutuhan anak-anak. Pertama, keluarga sebagai madrasah utama dan pertama. Kedua, masyarakat dalam Islam berperan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak. Masyarakat adalah pengontrol perilaku anak dari kejahatan dan kemaksiatan. Dengan penerapan sistem sosial Islam, masyarakat akan terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar kepada siapapun. Budaya amar makruf inilah yang tidak ada dalam sistem sekuler kapitalisme. Ketiga, Negara sebagai peran kunci mewujudkan sistem pendidikan, sosial, dan keamanan dalam melindungi generasi. Dalam hal ini, fungsi Negara adalah memberikan pemenuhan kebutuhan berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan setiap anak. Negara juga menerapkan sistem sanksi yang tegas dan menjerakan semua pihak yang melakukan kekerasan terhadap anak. Sepanjang sistem Islam ditegakkan, kriminalitas jarang terjadi, ini dikarenakan sanksi dalam Islam memberi efek jera bagi pelaku, sehingga tidak ada cerita kasus kejahatan atau kekerasan yang terus berulang terjadi.


Islam menjadikan anak adalah amanah dan titipan dari Allah Taala. Sehingga sudah semestinya semua pihak, mulai dari keluarga, masyarakat dan Negara bersinergi mendidik dan mengasuh mereka sesuai syariat Islam. Tiga pilar pelindung generasi, yaitu keluarga, masyarakat, dan Negara, tidak akan berjalan optimal tanpa penerapan syariat Islam secara kaffah. Penerapan Islam secara menyeluruh ini hanya bisa dilakukan dalam wujud sistem Khilafah yang mengikuti metode kenabian. Wallahu a’lam.

Posting Komentar

0 Komentar