Oleh : Esnaini Sholikhah,S.Pd
(Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial)
Bocah laki – laki berinisial MA (6 tahun) asal Sukabumi menjadi korban pembunuhan, bahkan tidak hanya dibunuh, anak yang baru duduk di sekolah dasar ini juga menjadi korban kekerasan seksual sodomi. Pengungkapan tersebut dilakukan Polres Sukabumi Kota usai melakukan serangkaian penyelidikan terhadap kematian korban yang mayatnya ditemukan tewas di jurang perkebunan dekat rumah neneknya, di wilayah Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi beberapa waktu lalu. Dalam pengunkapan itu, terbukti korban pelajar berusia 14 tahun yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP), menjadi pelaku utama pembunuhan dan sodomi terhadap korban. Polisi pun kini menetapkan pelaku sebagai tersangka dan bersatus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH).
Kapolres Sukabumi Kota AKBP Ari Setyawan Wibowo mengatakan, MA tewas dibunuh oleh tersangka di perkebunan. Sebelum dibunuh, awalnya korban dengan pelaku bermain dan nonton TV di rumah temannya, di Kadudampit pada Sabtu 16 Maret 2024 sekitar pukul 07.00 WIB, kemudian pukul 08.30 WIB, korban pamit untuk mengambil buah pala di perkebunan dekat rumah neneknya, di saat itu pelaku membuntuti korban hingga melumpuhkan korban, dan melakukan pelecehan seksual sodomi terhadapnya. “Pada saat ke kebun mengambil buah pala, bahwa si pelaku mengikuti daripada korban ke kebun pala tersebut, pada saat sepi pelaku langsung melorotkan celana daripada korban dari belakang, kemudian pada saat itu korban sempat meronta melawan hingga lari. Namun sama pelaku dikejar,” ujar Ari, Kamis 2 Mei 2024. (Sukabumiku.id, 2/5/2024)
Tindakan kejahatan terhadap anak juga terjadi di Provinsi Jambi, seorang santri (13) sebuah pondok pesantren menjadi korban pembunuhan. Pelakunya ialah senior korban sendiri. (metro.tempo.co, 23/3/2024). Bagaimana mungkin seorang anak menjadi pelaku kejahatan? Ini baru dua kasus anak yang bermasalah dengan hukum.
Kasus anak yang berkonflik dengan hukum, menurut data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, menunjukkan tren peningkatan pada periode 2020 hingga 2023. Per 26 Agustus 2023, tercatat hampir 2.000 anak berkonflik dengan hukum. Sebanyak 1.467 anak di antaranya berstatus tahanan dan masih menjalani proses peradilan, sementara 526 anak sedang menjalani hukuman sebagai narapidana. Anak-anak yang menjalani masa tahanan ditempatkan pada beragam fasilitas pemasyarakatan. Saat ini tahanan anak ditampung di lembaga pembinaan khusus anak (LPKA) sebanyak 1190. Ada juga yang bertempat di lembaga pemasyarakatan (lapas) 234 orang, rumah tahanan Negara (rutan) 53 orang, dan lembaga pemasyarakatan perempuan (LPP) sejumlah 7 orang. Tahun 2023 masih menyisakan empat bulan hingga akhir tahun, artinya angka tersebut kemungkinan masih akan bergerak naik. (kompas,id, 29/8/2023)
Maraknya kriminalitas oleh anak-anak merupakan gambaran buruknya output dalam sistem pendidikan kapitalisme. Data diatas menambah panjang pekerjaan rumah seluruh pihak, terutama keluarga. Pendidikan keluarga di sistem ini akhirnya “kena mental”, akibat sistem sekularisme yang mendegradasi moral dan kepribadian generasi. Akibatnya anak tidak terdidik dengan benar, lantaran kurangnya perhatian orang tua terhadap pendidikan mereka. Ada beberapa faktor yang memengaruhi kurangnya perhatian dan peran orang tua dalam mendidik anak, diantaranya: Pertama, orang tua terlalu sibuk bekerja. Ada anggapan bahwa peran ayah adalah mencari nafkah, sedangkan peran ibu adalah mengasuh anak. Anggapan ini bisa benar dan juga salah, tergantung paradigma yang dibangun. Jika dibangun dengan paradigma kapitalisme, orang tua hanya memenuhi kebutuhan materi anak. Alhasil, ayah bertugas mencari nafkah sebanyak-banyaknya untuk memenuhi kebutuhan materi anak. Sementara ibu mendidik dengan menjejali anak dengan segala yang berbau materi tanpa diimbangi pendidikan agama sejak dini.
Kedua, keluarga broken home. Memang, tidak semua anak-anak yang berada dalam kondisi kedua orang tua bercerai memiliki perangai buruk. Akan tetapi, jika kita telusuri, kebanyakan anak-anak yang bermasalah dengan hukum berasal dari keluarga yang tidak utuh. Mereka cenderung berulah dan bertingkah untuk menarik perhatian kedua orang tuanya yang telah berpisah. Ketiga, keterbatasan ekonomi menjadi salah satu faktor orang tua kurang memperhatikan pola asuh dan pendidikan anak. Keterbatasan ekonomi juga kerap menjadi alasan kesibukan orang tua mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Keempat, kurangnya kesadaran orang tua dalam pendidikan. Minimnya literasi dan pengetahuan seputar pola asuh dalam mendidik anak menjadi salah satu faktor mengapa pendidikan keluarga mandul. Bisa juga karena kurangnya pendidikan parenting secara Islami pada para orang tua, sehingga para orang tua pun minim ilmu dalam mendidik anak.
Namun, satu hal yang juga menjadi penyebab maraknya kriminalitas adalah lemahnya penegakan hukum. Sanksi tidak menjerakan apalagi jika pelaku anak-anak (usia kurang dari 18 tahun) mereka dikategorikan dalam peradilan anak. Sementara dalam sistem Islam definisi anak sangat jelas, yaitu seseorang yang belum baligh (dibawah 9 tahun), sedangkan usia sekitar 9-15 tahun dan jika ditemukan tanda-tanda pubertas maka dihukumi sebagai orang dewasa dan atasnya diberlakukan hukum sebagaimana orang dewasa. Dua hal tersebut adalah solusi dalam menyelesaikan kriminalitas pada aspek preventif. Adapun pada aspek kuratif, Negara menerapkan sistem sanksi yang tegas dan adil. Sanksi dalam sistem Islam berfungsi sebagai jawabir (penebus dosa pelaku) dan zawajir (pencegah orang lain berbuat yang serupa).
Sanksi bagi pelaku kriminal dalam sistem Islam tidak selalu penjara sebagaimana dalam sistem sekuler, melainkan disesuaikan dengan jenis kejahatannya. Misalnya, kisas adalah hukuman untuk pembunuhan yang disengaja atau dengan sadar. Firman Allah SWT, dalam TQS Al-Baqarah: 178
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) kisas berkenaan dengan orang yang dibunuh.”
Jenis sanksi dalam Islam ada empat, yaitu hudud, jinayah, takdir, dan mukhalafat. Hudud adalah sanksi atas kemaksiatan yang kadarnya telah ditetapkan oleh syariat dan menjadi hak Allah Taala. Jinayah adalah penganiayaan atas badan dan mewajibkan kisas. Takzir adalah sanksi atas kemaksiatan yang tidak ada had dan kafarat. Sedangkan mukhalafat adalah sanksi atas pelanggaran aturan yang ditetapkan Negara. Dalam Khilafah memang tetap ada penjara, tetapi realitasnya berbeda dengan penjara dalam sistem sekuler. Penjara dalam sistem Islam, selain memberikan hukuman untuk mewujudkan efek jera, juga berisi pembinaan kepribadian dengan pemahaman Islam sehingga orang yang ada di dalamnya terdorong untuk tobat nasuhah, hal ini mencegah pelaku mengulangi kejahatannya.
Sistem pendidikan Islam pun juga berdasarkan akidah Islam, dan akan menghasilkan peserta didik berkepribadian Islam bukan kriminal. Negara menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam, akan mengutus para dai ke berbagai penjuru Negeri untuk mengajarkan akidah dan syariat Islam di tengah masyarakat. Ketakwaan menjadi pencegah individu berbuat kriminal.
Pada tataran masyarakat, Negara menyejahterakan penduduknya dengan memenuhi kebutuhan dasarnya berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Dengan demikian, dorongan berbuat kriminal akan tercegah. Peran orang tua dalam pendidikan anak sangat besar, Ibu adalah sekolah pertama dan pendidik pertama. Dengan peran yang harmonis dari ketaqwaan individu, masyarakat dan peran Negara yang tegas menerapkan sanksi pada pelaku kriminalitas, maka keamanan dan perlindungan jiwa akan lebih terjamin. Wallahu a’lam bisshowab.
0 Komentar