Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Berulangnya Bencana Banjir Di Indonesia, Butuh Mitigasi Komprehensif

 

Oleh : Esnaini Sholikhah,S.Pd

(Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial)


Banjir bandang yang terjadi di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, dilaporkan mengakibatkan 15 orang meninggal dunia. Pencarian korban dilakukan petugas gabungan di tiga kecamatan terdampak hingga hari ini, Minggu (12/5/2024). Berdasarkan data yang dirilis Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Agam, dari total belasan korban tersebut, 11 orang ditemukan di wilayah Kecamatan Canduang dan empat orang di Kecamatan Sungai Pua. "Petugas gabungan yang dikoordinasikan oleh BPBD Kabupaten Agam, masih melakukan upaya-upaya penanganan darurat bencana," kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari dalam keterangan tertulis, Minggu. (CNN Indonesia, 12/5/2024)


Selain itu, banjir bandang dan lahar dingin Gunung Marapi di Sumatra Barat telah menerjang tiga wilayah, yaitu Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar, dan Kota Padang Panjang. Akibatnya, 47 orang meninggal dunia per Senin (13/5/2024), dan 193 rumah di Kabupaten Agam dan 84 rumah di Tanah Datar mengalami kerusakan. Sejumlah infrastruktur, seperti jembatan dan masjid, juga rusak. Lalu lintas dari Kabupaten Tanah Datar menuju Padang dan Solok pun lumpuh total. (BBC Indonesia, 13/5/2024).


Konon, ini adalah “bencana terparah” yang pernah terjadi di Kabupaten Agam selama 150 tahun terakhir. Selain itu, bencana di sekitar Gunung Marapi tidak terjadi saat ini saja, tetapi beruntun sejak enam bulan terakhir. Banjir parah juga terjadi di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara sejak 3 Mei 2024. Curah hujan yang tinggi menyebabkan air Sungai Lalindu meluap dan berakhir di Jalan Trans Sulawesi. Akibatnya, jalan Trans Sulawesi lumpuh total dan 300 kendaraan terjebak banjir. Tujuh kecamatan terdampak dan 3.121 warga mengungsi. Selain itu, dua desa terisolasi, sebanyak 729 unit rumah dan 327,7 hektare lahan pertanian dan perkebunan terendam. Beberapa prasarana umum seperti dua tempat ibadah, satu jembatan, dan satu sekolah dasar terendam banjir.


Bencana banjir parah di Sumatra Barat dan Konawe Utara terjadi selain karena faktor alam, juga akibat ulah tangan manusia yang berbuat kerusakan (penggundulan hutan). Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Barat menyatakan, bahwa bencana di Sumatra Barat terjadi berulang dan merupakan bencana ekologis yang terjadi karena salah sistem pengurusan alam.


Telah terjadi eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan serta pembangunan yang tidak berbasis mitigasi bencana. Misalnya pembalakan hutan dan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di dalam dan sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), juga penambangan emas di kawasan penyangga TNKS. Data Auriga Nusantara menunjukkan bahwa tutupan sawit dalam kawasan hutan di bentang alam Seblat meningkat dari 2.657 hektare menjadi 9.884 hektare pada periode 2000-2020. Bisa dibayangkan betapa luasnya hutan yang digunduli. Salah satu hal yang memperparah bencana adalah pembangunan ilegal di Lembah Anai, Kabupaten Tanah Datar. Daerah ini telah menjadi tempat wisata yang ramai, padahal Lembah Anai merupakan kawasan hutan lindung dan cagar alam, karena daerah tersebut rawan bencana, akibatnya banjir besar yang terjadi pada Sabtu (12/5/2024), telah menyapu bersih kafe dan pemandian. (CNBC, 13/5/2024)


Berulangnya bencana sehingga memakan korban yang banyak, menunjukkan masih dibutuhkan adanya upaya mitigasi secara komprehensif, hal ini dilakukan supaya pencegahan dapat optimal, demikian pula upaya menyelamatkan masyarakat. Kita harus melihat persoalan banjir ini bukan hanya pada aspek hilir, yaitu penyelesaian setelah bencana terjadi. Namun, kita perlu merunut ke aspek hulu (penyebab bencana) sehingga kita mendapatkan solusi preventif yang efektif. Sejatinya, terjadinya bencana bukan hanya karena faktor alam berupa curah hujan yang tinggi, tetapi berkaitan erat dengan kebijakan pembangunan Negara selama ini yang destruktif. Misalnya, ketika Negara membiarkan penebangan hutan secara berlebihan, tentu akibatnya adalah bencana banjir, juga penggunaan kawasan hutan yang rawan bencana untuk aktivitas wisata, tentu membahayakan banyak nyawa.


Lain halnya pembangunan dalam Islam, Islam menetapkan pembangunan dengan memperhatikan kebutuhan rakyat dan menjaga kelestariaan alam. Pembangunan di sistem Islam ditetapkan dengan memperhatikan kebutuhan rakyat dan penjagaan kelestarian alam. Negara Islam menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat di aspek ekonomi dan sekaligus penjagaan lingkungan, karena keduanya sama-sama bagian dari riayah (pengurusan) Negara terhadap rakyat. Kebijakan pembangunan dalam Islam tidak eksploitatif ataupun deksturuktif, karena berdasarkan pada panduan Ilahi. Sebagaimana Allah SWT berfirman:

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya.” (QS Al-A’raf: 48).


Khilafah (pemimpin Islam) akan mewujudkan mitigasi yang komprehensif sehingga mampu mendorong langkah antisipasif. Dengan demikian akan mencegah jatuhnya banyak korban dan memperkecil dampak kerusakan. Beberapa hal yang dilakukan Khilafah diantaranya : Pertama, mengatur pengambilan hasil hutan agar sesuai dengan rasio yang memperhatikan kelestarian lingkungan. Kedua, mengoptimalkan pengawasan hutan oleh polisi agar tidak terjadi penebangan berlebihan. Ketiga, menggalakkan penanaman pohon untuk menjaga kelestarian hutan. Keempat, mengawasi kondisi sungai sehingga bisa mencegah hal-hal yang menurunkan fungsi sungai. Kelima, Negara tidak menjadikan sektor pariwisata sebagai andalan pemasukan kas negara. Fasilitas wisata dibangun sebagai bagian dari layanan Negara kepada rakyat. Pembangunan tempat wisata dilakukan berdasarkan pengkajian yang melibatkan pakar lintas bidang, termasuk lingkungan. Keenam, memberi sanksi tegas kepada pelanggar aturan pelestarian hutan, baik pelaku lapangan, pengusaha, maupun oknum aparat yang menjadi beking.


Demikianlah keseriusan Khilafah dalam melakukan mitigasi komprehensif sejak aspek hulu, sehingga bisa mencegah terjadinya bencana dan meminimalkan jumlah korban. Mitigasi komprehensif akan mampu mendorong langkah antisipasif, sehingga mencegah jatuhnya banyak korban dan memperkecil dampak kerusakan. Inilah sistem yang layak kita terapkan dan perjuangkan. Wallahu a'lam bisshowab.

Posting Komentar

0 Komentar